Nasdem: Pelantikan Komjen Iriawan Langgar 3 Undang-undang

komjen Iriawan

Ngelmu.co – Penunjukan dan pelantikan Jenderal Polisi sebagai Penjabat Gubenur Jawa Barat menuai polemik. Adalah politisi Nasdem, Luthfi Andi Mutty menilai bahwa ada beberapa aturan yang telah dilanggar oleh Kementerian Dalam Negeri sebagai pihak yang melakukan penunjukan Komjen Iriawan menggantikan Ahmad Heryawan.

“Dilantiknya jenderal polisi aktif sebagai penjabat gubernur, paling tidak ada tiga undang-undang yang dilanggar,” kata Luthfi Andi Mutty, Senin(18/6.//2018), dikutip dari Kabar24.

Luthfi Andi Mutty mengungkapkan hal tersebut dalam rangka menanggapi pelantikan Komjen Iriawan menjadi Penjabat Gubernur Jawa Barat di Gedung Merdeka, Bandung, hari ini, Senin (18/6/2016).

Baca juga: Iriawan Jadi Plt Gubernur Jabar Karena Permintaan Mendagri

Luthfi menyesalkan bahwa pro kontra yang sudah mencuat sejak rencana ini muncul beberapa bulan lalu nyatanya tak menyurutkan niat Mendagri, Tjahjo Kumolo untuk memilih Pj Gubernur dari Jenderal Polri.

Seperti diketahui, hari ini, Senin, 18 Juni 2018, Komjen Iriawan yang juga mantan Kapolda Jabar dilantik sebagai Pj Gubernur Jabar menggantikan Ahmad Heryawan.

Lutfi menyebutkan bahwa dengan penunjukkan Komjen Iriawan telah melanggar UU. Adapun yang dilanggar di antaranya UU No.3 Tahun 2002 tentang Polri. Luthfi mengatakan bahwa pada Pasal 28 ayat 3 menyebutkan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

“Penjelasannya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “jabatan di luar kepolisian” adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari kapolri. Jika ditafsirkan secara a contrario, ketentuan itu berarti seorang anggota polri yang masih aktif dilarang menduduki jabatan di luar kepolisian,” papar Luthfi, dikutip dari Pikiran Rakyat.

Selain UU No.3 Tahun 2002 tentang Polri, Penunjukan Komjen Iriawan tersebut juga melanggar UU No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal 210 ayat 10 yang juga mengatur untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, maka yang diangkat sebagai penjabat gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai pelantikan gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan UU No.5 Tahun 2014 tentang ASN, jabatan pimpinan tinggi madya merupakan salah satu jabatan dalam rumpun ASN yang terdiri dari PNS dan PPPK.

“Prajurit TNI dan anggota polri pada dasarnya bisa menduduki jabatan pimpinan tinggi madya. Namun ketentuan pasal 104 ayat 2 UU No.5 Tahun 2015 menentukan bahwa jabatan pimpinan tinggi dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif,” kata Luthfi.

Selain melanggar beberapa UU, Luthfi juga menilai bahwa mendagri melakukan tindakan yang dapat dianggap sebagai penyelundupan hukum lewat Permendagri No.1 Tahun 2018. Dalam pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa penjabat gubernur berasal dari penjabat pimpinan tinggi madya /setingkat di lingkup pemerintahan pusat/provinsi.

Frasa “setingkat” yang digunakan Permendagri No.1 Tahun 2018 sangat jelas bertentangan dgn UU karena UU sendiri tidak menyebutkan itu.

Sebenarnya, usulan menunjuk Pj Gubernur dari Polri muncul pertama kali pada akhir Januari 2018 lalu.Kemudian, menjawab berbagai pertentangan itu, Tjahjo Kumolo memastikan penunjukkan dua perwira tinggi Polri untuk menjadi penjabat gubernur di Sumatera Utara dan Jawa Barat tak ada unsur politik.