Politik Utang-Piutang Ridwan Kamil

Oleh: Radhar Tribaskoro

Ridwan Kamil mengatakan bahwa ia telah membayar budi baik Prabowo kepada dirinya. Katanya, ia telah menjadi Ketua Tim Sukses Prabowo ketika pilpres 2014 dan pada saat itu Prabowo menang di 29 dari 30 kecamatan di Bandung.

Ridwan juga bilang bahwa ia telah membela Prabowo ketika diterpa isu mahar. Dengan demikian Ridwan mengkalkulasi bahwa hutang budinya sudah lunas. Ia sekarang merasa pantas mendukung Jokowi yang akan bertarung lagi melawan Prabowo pada pilpres 2019 nanti. Begitulah adab dan akal sehat berpolitik, kata Ridwan Kamil. (Sumber: Detik.com)

Saya tidak paham bagaimana Ridwan Kamil menghitung nilai dari budi kebaikan. Kira-kira berapa milyar nilai budi orangtuanya membesarkan dirinya? Berapa nilai budi seorang guru? Seorang sahabat?

Tetapi kalau ia mengklaim bahwa kemenangan Prabowo dalam pilpres 2014 di Kota Bandung adalah karena dirinya, saya jadi ingin bertanya. Sekalipun benar Ridwan didapuk menjadi ketua timses, tetapi apa kontribusi dia dalam pemenangan?

Apakah sebagai Ketua Timses ia pernah bikin rapat? Apakah ia pernah menjabarkan strategi pemenangan dan memberi pengarahan? Apakah pernah mengorganisasikan rapat terbuka untuk kampanye? Apakah ia berkontribusi dalam biaya pemenangan? Berapa banyak dan berapa signifikan? Sejauh yang saya tahu, jawaban atas semua pertanyaan itu adalah Zero alias Nihil.

Ridwan Kamil juga mengatakan bahwa ia telah membela Prabowo dengan bersaksi bahwa “ia tidak membayar sesenpun ketika Prabowo mencalonkan dirinya dalam pilkada Kota Bandung”. Saya sungguh heran atas klaim ini. Bung Ridwan, apakah menyampaikan fakta (kebenaran), kayak gitu aja, kamu pikir kamu sudah memberi privilege luar biasa untuk Prabowo? Who do you think you are, Ridwan Kamil?

Bagi saya apa yang anda sampaikan itu cuma info sederhana, tidak berbeda dengan info “Soemitro adalah ayah Prabowo”. Info sederhana yang semua orang juga tahu. Jangan lupa, saya tahu lebih dari siapapun tentang bagaimana anda memperoleh restu Prabowo untuk diusung menjadi calon walikota Bandung. Saya jadi meragukan apakah Ridwan Kamil benar-benar mengerti tentang apa yang disebut dengan adab.

Adab Ridwan Kamil

Adab, menurut Ridwan Kamil, adalah hasil kalkulasi matematis hubungan “take and give” di antara dua pihak. Persisnya adab itu mengatakan “dukunglah orang yang memberimu utang, dan lawan dia kalau hutang sudah terbayar.”

Adab seperti itu tidak saja oportunistik (melihat segala hal dari sisi keuntungan pribadi) namun juga tidak bermoral.

Coba kita bandingkan dengan adab Prabowo. Apakah Prabowo mencari keuntungan dari Ridwan Kamil? Seperti ditulis di laman facebooknya Prabowo hanya menitipkan “perubahan untuk Kota Bandung”. Tidak lebih.

Hubungan yang dijalin Prabowo dengan kader-kader dan para sahabatnya bukan hubungan utang-piutang. Hubungan yang dibangun adalah kecintaan kepada rakyat, bangsa dan negara. Ia tidak merasa merugi walau hartanya habis karena cinta yang tercipta tidak bisa dinilai dengan harta. Orang-orang yang mengkhianati dia, seperti Jokowi, Ahok dan Ridwan Kamil, tidak pernah ia cela. “Biarkan saja rakyat yang menilai,” katanya suatu ketika.

Budaya bangsa kita tidak mengenal adab oportunistik. Orang-orang tua kita mengajarkan agar senantiasa mengingat dan menghargai budi baik seseorang. Budi baik itu tidak ternilai harganya, tidak mungkin bisa terbayar sekalipun dicicil sampai mati. Itulah makna yang terkandung dalam peribahasa, “hutang emas dapat dibayar, hutang budi dibawa mati.”

Jadi, saya pikir Ridwan Kamil tidak mengerti adab. Dan ia salah dalam menerapkan adab dan akal sehat. Ridwan Kamil  mendegradasi pengertian hubungan politik sebagai semata transaksional dan oportunistik. Kalau Ridwan mau bertanya kepada diri sendiri alias berkaca, dia akan tahu bahwa “akal sehat”nya itu sama sekali keliru. Bagaimana mungkin ada politikus oportunistik mau bertransaksi dengan seorang dosen tidak beruang?

Kenyataannya, Ridwan Kamil memperoleh restu Prabowo. Hal ini menunjukkan ada konsep politik lain daripada yang dianut oleh Ridwan Kamil. Seperti telah sedikit saya sampaikan di atas Prabowo mendasarkan politiknya kepada trust (kepercayaan) dan cinta. Politik Prabowo ini tidak populer.

Ia sering dilukai oleh para penganut politik oportunis, bukan cuma oleh Jokowi, Ahok dan sekarang Ridwan Kamil saja. Tetapi Prabowo bergeming. Ia tetap berkeyakinan bahwa Indonesia hanya bisa tegak berdiri dan jaya bila berdasar kepada trust dan cinta.

Bagi saya menyebrangnya Ridwan Kamil dan kekerasan narasinya kepada Sandiaga hanya membuktikan satu hal: air  dan minyak tidak mungkin bersatu. Pada saatnya masing-masing akan berkumpul dengan sejenisnya.

Kepada khalayak yang masih percaya bahwa Indonesia harus dan bisa dibangun berbasis kepada cinta dan trust, marilah kita syukuri semua yang telah ditunjukkan Allah SWT kepada kita. Kita bersyukur karena kita semakin paham siapa diri kita dan siapa lawan kita. Jalan lebih terang membentang di hadapan kita.