Opini  

#2019GantiPresiden: Karena Mitos sudah Jadi Makhluk Sejarah

GANTI PRESIDEN 2019

 

Dalam imajinasi liar sekalipun, bisa jadi kita tak pernah membayangkan akan lahirnya gerakan #2019GantiPresiden. Publik meresponsnya dengan luar biasa. Penguasa pun panik. Bagaimana kita menjelaskan fenomena ini?

Sekjen PKS Mustafa Kamal mengatakan, #2019GantiPresiden lahir dari proses alamiah dan kultural.

“Saudara-saudara kita dari Gerakan #2019Ganti Presiden tentu saja merupakan proses yang alamiah dan kultural dari masyarakat yang berkembang. Kita hormati, kita hargai. Dan kita berharap semuanya dalam suasana demokrasi yang sehat, menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Mustafa di Jakarta, Senin (27/8/2018).

Jika menggunakan bahasa berbeda dari Mustafa, gerakan #2019GantiPresiden lahir karena sudah berubahnya sosok mitos jadi makhluk sejarah. Joko Widodo yang dulu dicitrakan pemimpin sempurna bagai ‘nabi’ ternyata hanya sebuah mitos dalam perjalanan sejarahnya memimpin Indonesia.

Mitos memang kerap dimunculkan dalam panggung politik, terutama jelang pilpres. Dulu ada Megawati dan KH Abdurrahman Wahid. Lalu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Saya masih ingat betul, menjelang pemilu 2004, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) banjir pujian dari hampir semua orang di negeri ini. SBY menjadi anak emas seluruh media massa: dari cetak hingga elektronik. SBY menjadi media darling. Setiap gerak-gerik yang dilakukan SBY menjadi santapan media dengan cita rasa positif. Setiap tindak tanduknya menjadi berita utama. Singkat kata: SBY bak malaikat yang diyakini bisa menyelesaikan persoalan di Tanah Air.

Sisi human interest pun tak luput diberitakan untuk menambah dramatisasi suasana psikologis publik. Karena itu, ketika Taufik Kiemas menyebut SBY sebagai “Jenderal kok kayak anak kecil”– untuk menjawab pertanyaan watawan seputar pengunduran diri SBY sebagai menkopolhukam—serta merta media pun menjadikan ini sebagai headline. Jadilah SBY sosok yang dizalimi sehingga menarik simpati luar biasa dari masyarakat.

Pencitraan tersebut akhirnya berujung pada kesuksesan SBY meraih posisi RI 1 dengan Jusuf Kalla sebagai pendampingnya. Suasana gegap gempita meruak. Metro TV yang kini kerap menjelekkan SBY, kala itu secara langsung menayangkan euphoria detik-detik kemenangan SBY.

Fenomena tersebut terulang jelang Pilpres 2014. Jokowi menjadi SBY baru. Jokowi menjadi media darling. Apapun tentang Jokowi diberitakan positif oleh seluruh media. Jokowi mendadak menjadi ikon perubahan yang dicitrakan mampu menyelesaikan persoalan di Indonesia. Gaya kepemimpinanya, kesederhanaannya, kepolosannya dan blusukannya terus diberitakan dan dianggap sesuai dengan kebutuhan bangsa ini.

Mitos adalah sesuatu yang belum tentu benar tapi telah terlanjur dianggap kebenaran oleh masyarakat. Dan media memiliki peran sangat luar biasa besar dalam melakukan mitosisasi tersebut.

Media dengan semangat mencitrakan bahwa Jokowi adalah sosok yang mampu membawa perubahan. Pencitraan ini belum tentu benar namun karena setiap hari media massa memborbardir publik dengan berita positif dan Jokowi, maka masyarakat akhirnya terpengaruh dan terbentuk opininya.

Publik baru tersadar jika Jokowi selama ini hanyalah mitos ketika melihat kinerjanya sebagai presiden. Ternyata, Jokowi tak seluar biasa yang diberitakan. Tak segemerlap yang diinformasikan. Tak sebaik yang dikatakan media.

Rakyat mencatat, sedikitnya ada 66 janji Jokowi saat kampanye dalam pilpres 2014 silam. Di antaranya membeli kembali Indosat, tidak impor pangan, menyediakan 3 juta lapangan kerja, menolak utang luar negeri dan masih banyak lagi.

Ironisnya, janji-janji tersebut hanya rangkaian kalimat indah yang menyihir publik. Utang saat ini melonjak, rupiah anjlok, lapangan kerja sulit, tenaga kerja asing begitu mudah masuk ke Indonesia dan Indosat tak kunjung terbeli.

Janji-janji yang tak tertunaikan ini akhirnya mengubah mitos Jokowi jadi makhluk sejarah. Sehingga tak heran jika publik ramai-ramai publik menyuarakan #2019GantiPresiden.

Mitosisasi sangat berbahaya karena subeyktif, tak ada ruang untuk bersikap kritis dan terkesan memaksa publik untuk memilih orang sesuai dengan selera media.

Sebagai makhluk sejarah, kita bisa mengukur kemampuan Jokowi: kinerjanya, prestasinya, kebijakannya, sikapnya, dan sebagainya. Dan ketika semua itu tak berbanding lurus dengan mitos yang dicitrakan secara massif, maka hujatan pun akan datang bertubi-tubi.

Pada titik inilah #2019GantiPresiden bisa ditempatkan. Sayangnya, gerakan ini mendapat perlakuan zalim meski di awal-awal tagar ini muncul, sempat terucap dari penguasa bahwa mana bisa kaus mengganti presiden.

Tapi, penghadangan Neno Warisman sebagai salah satu inisiator gerakan ini, juga pelarangan deklarasi di berbagai tempat, mencerminkan respons berlebihan penguasa.

“Gerakan ini saya rasa tidak perlu dilebih-lebihkan, biasa saja. Ini jadi berlebihan dan masyarakat justru diganggu dengan kegenitan aktor politik di pusat. Lihat saja sampai ini, sering ketegangan terjadi bukan dari aktor lokal tapi aktor pusat. Mereka genit,” kata Rocky di Banten pada Senin, 27 Agustus 2018.

Rocky benar. Sebab #2019GantiPresiden, meminjam istilah Mustafa Kamal adalah gerakan alamiah dan kultural. Karena sosok mitos sudah jadi makhluk sejarah.

 

Erwyn Kurniawan

Penulis dan Jurnalis