Opini  

21 Tahun PKS: Perjuangan Merawat Akal Sehat di Dunia yang Bergetah

 

Dua hari setelah Pemilu 2019, saya bercakap dengan tetangga. Usai mengucapkan terimakasih sudah memilih 02 dan PKS, saya memintanya untuk terus mendoakan agar PKS istiqomah. Juga mengabarkan raihan suara yang melejit.

“Ya, karena PKS punya visi dan misi yang bisa diterima akal sehat,” katanya via pesan WhatsApp.

Terminologi ‘Akal Sehat’ belakangan ini memang semakin moncer paska dilontarkan oleh Rocky Gerung. Akal sehat gambaran dari cara berpikir yang tetap lurus meski banyak pihak yang berusaha membelokkannya. Dia juga cerminan dari kedalaman wawasan sehingga tetap berpikir jernih, objektif tanpa membabi-buta membela salah satu pihak.

Lebih dari itu, akal sehat adalah sikap dan tindakan yang berani berbeda, mendobrak kejumudan dan pakem yang selama ini dianggap jadi tradisi atau kebenaran. Akal sehat sebuah anomali yang berlandaskan data dan fakta dengan tujuan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Anda boleh setuju atau tidak. Tapi melihat bagaimana perjalanan PKS selama 21 tahun, harus diakui partai dakwah ini berusaha merawat akal sehat publik. Apa buktinya?

Pertama, PKS lahir nir tokoh besar dan terkenal. Pada 1998, ketika PK didirikan, siapa yang mengenal Ustadz Rahmat Abdullah, Hidayat Nur Wahid dan Nurmahmudi Ismail? Dipastikan tidak ada kecuali kadernya sendiri.

Sementara itu, di saat yang sama berdiri PAN dengan figur Amien Rais, PKB dengan Gus Durnya dan lain sebagainya. Pada titik ini, kita bisa melihat ada upaya menjaga akal sehat bahwa mendirikan parpol tak melulu bergantung pada ketokohan.

Kedua, Presiden PK Nurmahmudi Ismail mengundurkan diri setelah diangkat oleh Presiden Abdurrahman Wahid jadi menteri kehutanan. Ini dilakukan agar tidak rangkap jabatan dan bisa fokus. AD/ART partai mengatutr hal ini secara eksplisit.

Di saat fenomena rangkap jabatan ketua umum parpol yang secara bersamaan juga jadi menteri, ini adalah anomali. Sebuah cara merawat akal sehat publik bahwa cara-cara semacam itu tak boleh dilakukan karena bisa memunculkan vested interest.

Ketiga, saat pergantian kepemimpinan dari tingkat pusat hingga ranting, hampir tidak ada gejolak yang berarti. Yang terjadi justru saling mempersilakan untuk tampil sebagai pemimpin.

Ini langka. Di saat kursi pimpinan partai jadi rebutan karena dapat membawa keuntungan politik dan melakukan mobilitas vertikal, PKS justru kebalikannya. Ada ikhtiar merawat akal sehat masyarakat bahwa jabatan politik itu bukan untuk kekuasaan semata.

Keempat, caleg minim artis. Padahal, parpol lain justru berlomba-lomba menjadikan artis sebagai vote getter. PKS seperti ingin mengingatkan akal sehat kita bahwa tak cukup hanya ketenaran untuk menjadi politisi. Tapi ada bekal lain yang harus dimiliki.

Kelima, terus bergerak meski pemilu dan pilkada tidak ada. Dan ini sudah berlangsung sejak partai ini berdiri. Ketika ada bencana, kader-kadernya langsung terjun membantu.

PKS ingin merawat akal sehat kita bahwa partai itu bukan semata-mata buat kekuasaan, mengejar kursi presiden, menteri, gubernur, walikota dan bupati. Tapi juga berkhidmat untuk rakyat sepanjang waktu.

Keenam, konsisten menjadi partai oposisi meski tawaran dari Penguasa datang menggoda. Itu bisa dilihat paska Pilpres 2014. PKS istiqomah walau bujukan dan rayuan diberikan. Di saat yang sama, justru ada partai yang semula berseberangan kemudian balik badan dan duduk bersama pemerintah.

Ketujuh, menawarkan politik gagasan dan keceriaan di saat wacana publik dipadati dengan saling memaki dengan diksi buta, tuli, sontoloyo, genderuwo hingga libas dan lawan. Mengerikan.

Dalam pemilu 2019, perhatikan baik-baik. Adakah partai yang menawarkan program nyata buat masyarakat? Sejauh ini baru PKS dengan tawaran empat janji kampanyenya: UU Perlindungan Tokoh Agama, SIM Seumur Hidup, Penghapusan Pajak Motor dan Bebas Pajak Penghasilan dibawah Rp 8 juta.

Di sisi lain, PKS juga menawarkan politik yang ceria dan gembira. Mereka melakukan flash mob di seluruh Indonesia bahkan luar negeri.

Ini semacam usaha PKS menjaga akal sehat publik bahwa politik itu tidak seseram yang dibayangkan. Ada keceriaan dan kegembiraan. Juga ada ide dan gagasan untuk kesejahteraan masyarakat.

Kedelapan, menyiapkan dan mengelola saksi. Pekerjaan ini tak bisa dilakukan partai lain. Karena biayanya sangat tinggi dan butuh orang banyak. Tapi PKS nyatanya bisa.

Saksi dalam hajatan pemilu sangat penting. Kualitas demokrasi akan sangat bergantung dari ada atau tidaknya saksi di TPS. Sebab dengan itu kecurangan akan bisa dihindari.

Keseriusan PKS mengelola saksi sejatinya ingin merawat akal sehat kita. Pada saat partai lain mungkin melakukan jalan pintas untuk menang, tapi PKS memilih sabar dengan menyediakan saksi. Semata-mata bukan untuk kepentingan PKS tapi juga partai lain dan demokrasi itu sendiri. Sebab di lapangan, data yang dimiliki saksi PKS kerap jadi rujukan.

Begitu sempurnakah PKS? Saya pastikan tidak. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diperbaiki agar PKS dapat menjadi partai papan atas dan jadi pemenang suatu saat nanti.

Namun, seperti jalan demokrasi yang menitinya harus penuh kesabaran, begitu pula ikhtiar merawat akal sehat. Perlu nafas panjang dan stamina berlimpah di medan politik yang meminjam istilah Dahlan Iskan sebagai ” dunia yang bergetah”.

Dan lonjakan suara PKS pada pemilu kali ini buah awal dari kesabaran tersebut tanpa harus beruforia berlebihan. Agar orang-orang seperti tetangga saya yang melihat PKS sebagai partai akal sehat semakin banyak.

Selamat Milad ke-21 PKS

Erwyn Kurniawan
Presiden Reli