25 Tahun di Rumah Sakit

Ilustrasi gambar

Ngelmu.co – Saya pernah dirawat di sebuah rumah sakit. Dipisahkan oleh satu ranjang dengan ranjang yang lain, ada seorang bapak sekitar umur 60 tahunan yang sudah 25 tahun di rumah sakit itu, ia dirawat di sana, selama 25 tahun!

25 Tahun, Ia Dirawat di Rumah Sakit

Ya, gak salah tulis kok. Ia tinggal dan dirawat di rumah sakit tersebut selama 25 tahun!

Kok bisa?

Ternyata, bapak itu seorang mantan tentara yang terluka sewaktu ikut bertempur di Timor Timur. Ada asuransi kesehatan milik negara yang menanggung bapak tersebut seumur hidup.

Lukanya, menyebabkan bapak tersebut tidak bisa berjalan dan juga tidak bisa berbaring sempurna.

Jika dipaksakan berbaring, maka yang muncul rasa sakit tak tertahankan, sehingga bapak tersebut hanya bisa tidur menyamping atau duduk saja.

Bayangkan, selama 25 tahun tidak bisa tidur berbaring! Sungguh dibutuhkan ketabahan luar biasa.

Istri dan Anak Tak Pernah Menjenguknya Lagi

Setelah saya mengobrol dengannya, ternyata istri dan anaknya sudah lama tidak pernah menjenguknya lagi, bahkan tahu kabarnya pun tidak.

Praktis, bapak tersebut hidup sebatang kara. Hanya ditemani oleh dokter dan perawat serta pasien-pasien baru yang datang silih berganti.

Yang saya salut dengan bapak tersebut adalah pembawaannya yang periang dan suka bercanda. Tidak nampak kesedihan di wajahnya.

Dia berusaha akrab dan menghibur pasien-pasien baru di sekitarnya, termasuk saya yang waktu itu masuk rumah sakit, karena demam berdarah.

Selama sepekan saya di rumah sakit tersebut, keceriaan dan candanya tak pernah berhenti, sehingga pasien di sekitarnya pun ikut tertawa (mungkin sambil meringis kesakitan).

Dokter dan perawat pun diajak bercanda oleh bapak tersebut, sehingga ia disenangi oleh dokter dan perawat di sana.

Dia pernah ngomong sama saya, “Hidup hanya sekali, Dik, buat apa dibawa sedih. Nikmati sajalah, buat menjadi bahagia, walau saya gak bisa jalan dan tidak bisa berbaring,”.

Pribadi yang Mengagumkan

Satu lagi yang membuat saya kagum dengan bapak tersebut, yakni ibadahnya yang luar biasa.

Sholat fardhunya tepat waktu, bahkan kadang kala, dia adzan sendiri, lalu sholat dengan posisi duduk di ranjangnya.

Sering saya lihat dia sedang membaca Alquran, dengan tertatih-tatih. Bahkan sholat tahajjud dan sholat dhuha, tak pernah ditinggalkannya, selama sepekan saya di sana.

Saya jadi malu melihat bapak tersebut, yang tetap tabah dan kokoh di tengah-tengah kesendirian dan kecacatannya.

Walau fisiknya lemah, tapi hatinya dan pikirannya jauh lebih normal daripada umumnya manusia normal, yang cepat kalah dan putus asa atas cobaan dalam hidupnya.

Saya tidak tahu kabar bapak tersebut setelah saya keluar dari rumah sakit.

Tapi tiba-tiba, sekarang ini, saya teringat dengan bapak tersebut di tengah-tengah banyaknya masalah yang sedang melanda Indonesia akhir-akhir ini.

Oleh: Satria Hadi Lubis