3 Pelajaran Penting Mundurnya Uskup Ruteng Terkait Isu Skandal Wanita dan Uang

Uskup Ruteng

Ngelmu.co – Publikasi pengunduran diri Uskup Ruteng Nusa Tenggara Timur (NTT) Mgr. Hubertus Leteng muncul pada pengumuman Vatikan tanggal 11 Oktober kemarin.

Seperti dikutip dari BBC Indonesia, dalam surat itu, Vatikan menyebut Paus Fransiskus telah menunjuk Mgr Sylvester San untuk menggantikan posisi Hubertus sebagai Uskup Ruteng. Sebelumnya, Syvester berstatus sebagai Uskup Denpasar.

Vatikan menyebut Paus Fransiskus telah menunjuk Mgr Sylvester San untuk menggantikan posisi Hubertus di Ruteng. Sebelumnya, Syvester berstatus sebagai Uskup Denpasar.

Paus Fransiskus telah menerima pengunduran diri seorang uskup Indonesia yang diduga menjalin hubungan intim dengan seorang perempuan dan mengambil dana gereja.

Di sisi lain, Uskup Ruteng, Hubertus Leteng, sebelumnya telah membantah melakukan apa yang dituduhkan kepadanya. Dan tanpa menjelaskan alasannya dia akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pemimpin pastoral di Keuskupan Ruteng, Rabu (11/10).

Di usianya yang menginjak 58 tahun, Uskup Ruteng, Leteng mengakhiri posisi keuskupannya lebih cepat 17 tahun sebelum masa pensiunnya tiba.

Gereja Katolik Roma memiliki 37 keuskupan di seluruh Indonesia, terdiri dari 10 provinsi gerejawi dan satu ordinariat militer. Merujuk penuturan Mgr Ignatius Suharyo, penunjukkan uskup ditentukan oleh Paus di Vatikan.

Keuskupan Ruteng masuk dalam wilayah administratif Keuskupan Agung Ende, bersama Denpasar, Larantuka, dan Maumere.

Melihat fenomena di atas, setidaknya ada tiga pelajaran berharga yang bisa diambil oleh masyarakat Indonesia dari pengambilan keputusan yang diambil para petinggi agama katolik.

1. Menjaga Aib Koleganya

Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr Ignatius Suharyo, enggan memaparkan duduk perkara di balik pengunduran diri Hubertus. Ia juga mengaku tidak mengetahui tindak lanjut Vatikan atas dugaan penyelewengan dana oleh Hubertus.

“Ini adalah urusan rahasia antara pimpinan tertinggi Gereja Katolik Roma dan yang mereka utus untuk memverifivikasi perkara itu. Yang seperti itu, kami-kami ini tidak tahu,” kata Ignatius.

Saat berita ini diturunkan, BBC Indonesia telah berulang kali menghubungi Hubertus sebagai upaya konfirmasi namun dia tidak mengangkat telepon yang telah tersambung.

Seperti tertuang dalam struktur kepengurusan KWI, selain menjabat Uskup Agung Ruteng, Mgr Hubertus Leteng juga memegang jabatan Delegatus Karya Kesehatan Katolik di organisasi itu.

Terkait tertutupnya gereja soal pengunduran diri Hubertus, Ignatius Suharyo menyebut kepentingan umat Katolik sebagai salah satu pertimbangan.

“Semuanya demi kebaikan. Gereja tidak mau merugikan nama baik siapapun, sehingga dibuat sangat rahasia, tidak seperti politik yang melengserkan atau memfitnah. Itu bukan cara gereja menghadapi masalah,” ujarnya.

 

2. Hindari Isu Berhubungan dekat dengan Wanita Tanpa Status yang Jelas

Sebanyak 69 pendeta di keuskupan Ruteng memilih mundur pada Juni lalu sebagai bentuk protes. Mereka mengundurkan diri dari berbagai jabatan mereka – dari vikar episkopal dan pastor paroki – karena dugaan skandal tersebut.

Mereka juga menuding Hubertus memiliki istri gelap. Alhasil, karena kemelut itulah Vatikan akhirnya turun tangan menyelidiki.

Namun Leteng juga menanggapinya dengan bantahan, ia mengatakan bahwa tuduhan dirinya memiliki hubungan intim dengan seorang perempuan merupakan “fitnah”.

Benar atau tidaknya tuduhan itu, urusan isu yang terkait hubungan dengan wanita di luar hubungan resmi, sulit dihindari sebagai sebuah label aib, apalagi dalam dunia politik terlebih lagi agama.

 

3. Tertib masalah Keuangan

masalah uang jua sangat sensitif, apalagi jika dalam pemanfaatannya tidak sesuai prosedur atau melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan.

Dalam kasus ini, meskipun Monsinyur (Mgr) Hubertus Leteng telah mundur dari jabatannya sebagai pemimpin Keuskupan Ruteng di Nusa Tenggara Timur, ia tetap diminta agar mengembalikan dana gereja sebesar Rp1,6 miliar yang diduga diselewengkannya untuk kepentingan pribadi.

Kewajiban pengembalian dana gereja itu diutarakan Romo Robert Pelita, yang sejak Juni lalu bersama 68 pastor lain mendesak agar Hubertus meletakkan jabatan.

Robert mendasarkan ucapannya pada pernyataan perwakilan Vatikan yang datang ke Ruteng.

“Ada penegasan dari utusan Vatikan. Prinsipnya uang itu harus dikembalikan,” kata Robert yang berstatus wakil Keuskupan Ruteng di Labuan Bajo, seperti dilansir BBC Indonesia.

Namun, kata Robert, utusan Vatikan tidak memberikan jangka waktu pengembalian uang kepada Hubertus. “Hanya ditegaskan bahwa uang harus dikembalikan, entah berapa lama,” ujarnya.

Romo Robert Pelita menuturkan, isu Hubertus mengambil dana gereja tanpa izin telah berkembang sejak 2014 setelah sekelompok imam dan umat menduga Hubertus mengambil Rp1,25 miliar dari common funds milik KWI dan sekitar 425 juta dari kas Keuskupan Ruteng.

“Keuskupan sesungguhnya sudah punya statuta mengatur keuangan. Selama ini, itu semua dilangkahi Monsinyur Hubertus,” ujar Robert.

Hubertus, kata Robert, sudah pernah mempertanggungjawabkan nominal uang yang hilang itu kepada Dewan Imam dan Dewan Konsul. Pada forum itu, Hubertus mengaku menggunakan uang tersebut untuk membiayai pendidikan seorang remaja ke akademi penerbangan di Amerika Serikat.

“Tapi nama anak, keluarga anak, dan sekolah disebutnya dengan inisial. Dia bilang anak itu dari keluarga miskin,” ujar Robert.

“Apakah pengakuan itu betul, masih disangsikan. Kesangsian yang lahir dari pernyataan dia yang menggunakan inisial.”

Dalam menampik fitnah itu, Hubertus berdalih bahwa dana tersebut digunakan untuk mendidik kaum muda yang miskin. Dalam laporannya pada Juni lalu, The Catholic Herald mengungkapkan bahwa sebagian uang tersebut digunakan Leteng untuk membiayai seorang pemuda dari keluarga miskin yang tengah sekolah pilot di Amerika Serikat.

 

Upaya Meredam Gejolak

Romo Robert Pelita berharap pengunduran diri Hubertus tidak memicu gejolak baru di antara para pastor maupun komunitas umat Katolik di kabupaten itu.

Sekretaris Jenderal Keuskupan Ruteng, Romo Munfred Huber menyebut institusinya akan mengadakan pertemuan dengan para pastor di daerah itu pada 20 Oktober mendatang. Ia berkata, para imam memegang peran vital untuk menjaga hubungan baik antara pemeluk Katolik di Ruteng.

“Imam diminta untuk menyejukkan umat dan memupuk persaudaraan agar semua tetap bersatu. Semuanya akan didekati melalui para imam,” ucap Munfred.

Adapun, Ketua Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia cabang Ruteng, Upartus Agat, meminta keuskupan memberikan klarifikasi atas beragam isu negatif yang mengiringi pengunduran diri Hubertus.

“Keputusan uskup mundur menguatkan opini yang selama ini berkembang bahwa dia melakukan penggelapan. Dari kemarin, sejak dikeluarkan berita pengunduran diri, belum ada konfirmasi soal itu,” kata Upartus.

 

Empat Uskup yang Pernah Pimpin Keuskupan Ruteng

Penyebaran agama Katolik di tanah Manggarai (Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat) berawal pada tahun 1910-1911 di mana sejumlah misionaris Serikat Jesuit datang ke wilayah ini.

Pembatisan pertama terjadi pada 17 Mei 1912 di Jengkalang Reo. Saat itu ada lima orang dibabtis menjadi Katolik. Momen bersejarah ini  dianggap sebagai penanda awal benih iman Katolik menyebar di Manggarai.

Benih iman Katolik ini kemudian tumbuh subur berkat kerja keras para misionaris SVD yang mulai berkarya di Manggarai pada 1914.  Saat merayakan usia seabad pada 1912 lalu, jumlah umat Keuskupan Ruteng yang meliputi Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur adalah 755.208 jiwa yang tersebar di 80 paroki, dan terbagi dalam 2.500 Komunitas Umat Basis (KUB). Umat tersebut dilayani  227 imam dari pelbagia ordo dan tarekat.

Sejak resmi menjadi sebuah keuskupan pada 3 Januari 1961, Keuskupan Ruteng sudah dipimpin oleh empat uskup.  Berikut adalah riwayat singkat para uskup tersebut.

Mgr. Wilhelmus van Bekkum, SVD (1961-1972)

Mgr. Wilhelmus van Bekkum, SVD lahir di Achterveld Provinsi Utrcth Belanda pada 13 maret 1910. Orang tuanya bernama Gerrit Van Bekkum  dan Hendrika Van de Wetering.

Ia bergabung dengan Serikat Sabda Allah atau SVD pada  1929 dan ditabiskan menjadi imam pada 18 Agustus 1935 di Teteringen Belanda. Ia kemudian diutus menjadi misionaris di Ende Flores pada 1936. Lalu, kemudian ditugaskan di Manggarai sebagai pastor pembantu pada 1937 hingga 1940.

Ia diangkat menjadi uskup Ruteng pada 3 Januari 1961 bersamaan dengan peningkatan status Vikariat Apostolik Ruteng menjadi Keuskupan Ruteng. Mgr  Van Bekkum diemerituskan pada 1972 saat usinya masih 62 tahun. Ia wafat  di Rumah Sakit St Rafael Cancar pada 11 Februari 1998 dan dikuburkan di samping gereja Katedral baru Ruteng.

Baca Juga : Ustadz Abdul Somad LC akan Dipolisikan

 

Mgr Vitalis Jebarus, SVD (1973-1981)

Mgr Vitalis Jebarus, SVD lahir Wangkung,Manggarai pada 26 Februari 1929. Ia ditabiskan menjadi imam pada 14 Januari 1959 di Ledalero dan kemudian berkarya di Ledalero selama 12 tahun. Tahta Suci menunjuknya sebagai uskup Ruteng pada 17 Maret 1973 dan ditabiskan menjadi uskup pada 5 Mei 1973. Pada 4 September 1980, ia ditunjuk menjadi uskup Denpasar. Mgr Vitalis wafat pada 22 September 1998 di Jarkata.

 

Mgr. Eduardus Sangsun, SVD (1985-2008)

Mgr. Eduardus Sangsun, SVD lahir di Karot-Ruteng pada 14 Juni 1943. Ia ditabiskan menjadi imam pada 12 Juli 1972. Pada 3 Desember 1984, ia ditunjuk sebagai Uskup Ruteng yang ketiga. Ia ditahbiskan menjadi uskup pada 25 Maret 1985. Mgr Edu meninggal dunia di Jakarta pada 13 Oktober 2008.

 

Mgr. Hubertus Leteng Pr (2010-2017)

Mgr. Hubertus Leteng Pr lahir di Taga-Ruteng pada 1 Januari 1959.Ia ditabiskan menjadi imam diosesan Keuskupan Ruteng pada 29 Juli 1988 di Gelora Samador, Maumere. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Teresianum Roma pada tahun 1992 hingga 1996.

Setelah itu kembali ke Indonesia dan menjadi staf pengajar di STF Ledalero Maumere. Sejak 2009, ia menjadi Praeses di Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret. Ia ditunjuk Vatikan menjadi Uskup Ruteng pada 7 November 2009 dan kemudian ditabiskan menjadi uskup pada 14 April 2010.

 

NEXT