Berita  

9 Alasan Buruh Tegas Menolak RUU Ciptaker

Buruh Menolak RUU Ciptaker

Ngelmu.co – Sedikitnya, ada sembilan alasan yang membuat para buruh tegas menolak draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker), dijadikan undang-undang. Sebagaimana disampaikan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan jika RUU tersebut telah menghilangkan prinsip kesejahteraan buruh.

Seperti tak adanya jaminan pekerjaan, perlindungan mengenai pendapatan bagi pekerja, hingga hilangnya jaminan sosial.

“Setelah kita pelajari dari draf resmi yang diterima, RUU Ciptaker itu merugikan kaum buruh, karena semua isi UU 13 Tahun 2003 yang bersifat perlindungan itu diturunkan,” tutur Said.

“Bahkan ada yang hilang. Itu kenapa, kami menolak RUU Omnibus Law Ciptaker dijadikan undang-undang,” imbuhnya, seperti dilansir CNBC Indonesia, Ahad (16/2).

Berdasarkan isi pasal demi pasal RUU Ciptaker, lanjut Said, terdapat sedikitnya sembilan alasan, mengapa para buruh tegas menolak, di antaranya:

1. Lenyapnya Pesangon

Dalam Pasal 56, pemerintah membolehkan pekerja kontrak untuk bisa diterapkan di semua jenis pekerjaan, tanpa batasan waktu, sehingga bisa dilakukan seumur hidup.

“Pekerja tetap akan semakin langka. Dengan demikian juga tidak adanya pesangon, karena pesangon hanya untuk pekerja tetap,” kata Said.

Meski dalam RUU tersebut, pemerintah telah memberikan skema uang pemanis bagi para pekerja aktif dengan threshold upah maksimal Rp20 juta, menurutnya, buruh tak butuh itu.

“Kita gak butuh sweetener, yang kita butuhkan adalah pesangon,” tegas Said.

Dalam RUU Ciptaker, penurunan juga akan berlaku pada uang penghargaan masa kerja, sementara penggantian hak pun dihapus.

2. Hilangnya Upah Minimum

Dalam Pasal 88, pemerintah menggunakan terminologi Upah Minimum Provinsi (UMP), di mana menurut Said, terminologi itu tak dibutuhkan.

Sebenarnya, yang dibutuhkan adalah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK).

Dalam draf RUU Omnibus Law Ciptaker, UMP memang akan diberlakukan, dan ditetapkan oleh kepala daerah setempat, berdasarkan pertumbuhan ekonomi tiap-tiap provinsi, di tahun tersebut

“Misalnya Jawa Barat UMP-nya Rp1,8 juta, sementara UMK di Kabupaten-Kota Bekasi [saat ini] UMK-nya Rp4 juta, dan Kabupaten Karawang UMK-nya Rp4,5 juta. Berlakunya RUU ini, maka turun upah,” beber Said.

3. Bebasnya Outsourcing

Pemerintah juga menghapus pasal mengenai pekerjaan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Artinya, lanjut Said, sama saja dengan pemerintah membolehkan perusahaan menggunakan tenaga kerja rombongan [outsourcing] secara bebas, tanpa batas [seumur hidup].

“Ini artinya pemerintah melegalkan memperdagangkan manusia dalam tenaga kerja manusia,” tuturnya.

Pasalnya, pekerja outsourcing merupakan karyawan yang berasal dari agen pekerja (dalam hal ini memperdagangkan tenaga buruh).

4. Kontrak Seumur Hidup

Berbeda dengan pekerja outsourcing, pekerja kontrak langsung dipekerjakan oleh satu perusahaan dengan batas waktu tertentu.

Namun, dalam RUU Ciptaker, tak ada batasan waktu pekerja kontrak—bisa diberlakukaan seumur hidup—yang artinya membuat pekerja bisa di PHK kapanpun.

5. Hilangnya Jaminan Sosial

Hilangnya jaminan sosial—kesehatan dan pensiun—pada pekerja kontrak dan outsourcing seumur hidup.

“Kan gak mungkin agen tenaga kerja pensiun, apalagi dengan upah sistem kerja per satuan waktu. Itu gak akan mungkin memasukkan jaminan kesehatan dan jaminan pensiun,” kata Said.

6. Pemutusan Hak Kerja (PHK) Tanpa Kesepakatan

Dalam Pasal 61, perjanjian kerja berakhir jika suatu pekerjaan tertentu selesai.

Akibatnya, pengusaha bisa dengan mudah melakukan PHK dengan atau efisiensi, karena pekerjaan sudah habis.

Sedangkan pekerja kontrak yang di PHK, karena selesainya suatu pekerjaan (meski masa kontraknya belum berakhir), kemungkinan tak lagi mendapatkan hak sesuai sisa kontrak.

“PHK jadi mudah. Tidak perlu lagi berunding dengan serikat pekerja,” jelas Said.

7. Jam Kerja Eksploitatif

Dalam Pasal 77 ayat (2) disebutkan, waktu kerja sebagaimana dimaksud paling lama 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu.

Dengan menghapus opsi 6 dan 7 hari kerja. Sehingga memungkinkan pengusaha untuk mengatur jam kerja secara fleksibel.

“Sekarang di RUU Omnibus Law Ciptaker, tidak pakai per harinya berapa jam,” kata Said.

“Berarti orang bisa bekerja sehari 12 jam atau bahkan 14 jam. Ditambah dalam RUU tersebut, lembur boleh 18 jam seminggu. Orang pasti kelelahan ‘kan?” lanjutnya.

8. Dihapusnya Sanksi Pidana

Beberapa pasal mengenai sanksi pidana untuk perusahaan juga dihapus. Salah satunya, jika pengusaha tidak membayar upah, maka pengusaha tak diberi sanksi apa pun, termasuk tindakan pidana.

9. Tenaga Kerja Asing (TKA) Bebas Bekerja

Alasan terakhir adalah karena dalam Pasal 42 ayat (3) disebutkan, pengesahan rencana penggunaan TKA, dari pemerintah pusat tidak berlaku untuk anggota direksi atau anggota dewan komisaris, dengan kepemilikan saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tidak berlaku juga untuk TKA yang dibutuhkan oleh pemberi kerja, pada jenis kegiatan pemeliharaan mesin produksi untuk keadaan darurat, vokasi, start-up, kunjungan bisnis, dan penelitian, untuk jangka waktu tertentu.

Tak adanya kewajiban bagi pemberi kerja memiliki izin tertulis untuk mempekerjakan TKA, dinilai Said, akan mengakibatkan TKA bebas masuk ke Indonesia.

Baca Juga: Bersiap Demo Besar-besaran, Buruh Pendukung Jokowi Tegas Menolak Omnibus Law

Di sisi lain, Konfenderasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), yang merupakan pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat kampanye lalu, juga tegas menolak draf Omnibus Law RUU Ciptaker.

Bahkan, mereka akan melakukan demo besar-besaran, demi menolak kebijakan yang dinilai tak berpihak kepada buruh.

Sebelumnya, KSBSI memang menjadi salah satu serikat buruh yang masuk ke dalam daftar tim pengkajian RUU Omnibus Law Ciptaker.

Namun, karena merasa hanya dijadikan alat legitimasi, dan substansi tak sesuai dengan yang diharapkan, pihaknya memutuskan untuk menarik diri dari tim tersebut.

“Buat apa masuk tim, kalau hanya untuk legitimasi undang-undang itu. Akhirnya berdasarkan rapat resmi, di sini kami menarik diri,” tegas Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban.

Pihaknya juga mengaku kecewa, khususnya karena Presiden Jokowi, dinilai tak sama sekali menanggapi apa yang sudah dilakukan serikat buruh.

“Kok bapak (Jokowi) itu sepertinya tidak sense of apalah gitu tentang orang-orang,” tuturnya.

“Di periode kedua ini, jangan menganggap tidak ada beban, justru ia harusnya meninggalkan warisan yang bagus, walaupun beliau sudah tidak ada nanti,” pungkas Elly.