Aliran Uang ke Elite PKB Diungkap Musa Zainudin

Ngelmu.co – Bekas politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Musa Zainuddin, mengajukan surat permohonan justice collaborator, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), akhir Juli 2019 lalu.

Dalam empat lembar surat yang ia ajukan, Musa membeberkan, dugaan keterlibatan elite PKB, dalam kasus suap PUPR, proyek infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara, tahun 2016.

Mantan anggota Komisi Infrastruktur DPR itu mengatakan, “Ada banyak nama dan peristiwa yang tidak terungkap di persidangan,” tuturnya, seperti dilansir Majalah Tempo, edisi 20 Oktober 2019.

Musa, telah dihukum sembilan tahun penjara, setelah terbukti menerima Rp7 miliar, untuk meloloskan proyek infrastruktur, di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Sementara surat bertanggal 20 Juli 2019, mengungkapkan alasan tak membeberkan peran koleganya dalam kasus ini.

Berawal dari surat itulah, akhirnya sejumlah politikus PKB, termasuk Ketua Umum, Muhaimin Iskandar, ikut diperiksa KPK.

Seperti apa isi surat Musa? Berikut selengkapnya:

“Bersama ini perkenankanlah saya mengajukkan permohonan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjadi Juctice Collaborator (JC) dan Permohonan Keringanan Pembayaran Uang Pengganti, dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Bahwa benar saya pernah menjadi tersangka dan terdakwa pada Komisi Pemberatasan Korupsi dengan berkas perkara Nomor: BP-36/23/2017 dan Nomor Perkara: 90/Pid.Sus- TPK/2017/PN. JKT. PST.

2. Bahwa kronologinya penunjukan saya sebagai Kapoksi sekitar bulan Juli 2015, bermula ketika saya di telepon oleh Ketua Fraksi PKB DPR RI, Bapak Helmi Faizal Zaini (Helmy Faishal Zaini).

Beliau menyampaikan bahwa Ketua Umum PKB, Bapak Muhaimin Iskandar, menugaskan saya Musa Zainuddin untuk menjadi Kapoksi (Ketua Kelompok Komisi) Fraksi PKB pada Komisi V DPR RI.

Untuk itu, beliau meminta saya secepatnya menghadap Ketua Fraksi, untuk mengambil Surat Penunjukkan sekaligus Pengarahan dari Ketua Fraksi PKB.

3. Bahwa dalam Pengarahan Ketua Fraksi PKB, Helmy Faishal Zaini kepada saya, Bapak Helmy Faishal Zaini menegaskan, bahwa Kapoksi merupakan perpanjangan tangan dari Fraksi dan Partai.

Untuk itu, Kapoksi harus patuh dan taat mengamankan kebijakan termasuk mengamankan jatah anggaran di Komisi V DPR RI.

(Seusai diperiksa KPK pada 30 September 2019, Helmy mengaku tak terkait dengan kasus ini. Ia mengaku juga tak mengenal Hong Arta, pengusaha yang menjadi tersangka pemberi suap, “Enggak, enggak, enggak ada itu. Fitnah. Saya kira tidak ada,” tuturnya.)

4. Bahwa beberapa waktu setelah saya menghadap Ketua Fraksi PKB, Bapak Helmy Faishal Zaini, saya dipanggil oleh Bapak Jazilul Fawaid, Sekretaris Fraksi yang juga Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI.

Bapak Jazilul Fawaid menyampaikan kepada saya, Banggar sedang membahas Dana Tambahan Optimalilasi, dan saya diminta untuk ‘mengamankan’ jatah Fraksi PKB di Komisi V DPR RI.

5. Bahwa sejak saya mendapatkan tugas sebagai Kapoksi, saya berkomunikasi dengan pihak Kementerian PUPR, yaitu Bapak Ayi Hasanudin, Kepala Biro Perencanaan dan Penganggaran PUPR.

Sekaligus menyampaikan fotocopy Surat Penunjukkan saya sebagai Kapoksi dan mengkoordinasikan usulan-usulan dari Fraksi PKB, terkait dengan kegiatan pada Kementerian PUPR.

6. Bahwa setelah mengesahkan RAPBN 2016, saudara Jailani, pernah mendatangani saya di Lampung.

Menyampaikan bahwa Saudara Abdul Khoir berminat mengerjakan kegiatan pekerjaan pembangunan jalan Taniwel-Saleman senilai Rp56 miliar, dan Rekontruksi Piru-Waisala Propinsi Maluku senilai Rp52 miliar.

Ketika itu, saya menyampaikan bahwa saya belum bisa menjanjikan, karena saya belum tahu persis paket-paket itu yang telah disetujui oleh Pihak kementerian PUPR.

Saya khawatir tumpang tindih dengan paket-paket lain yang bukan jatah PKB.

Takut Terjadi saling klaim dengan partai-partai lain, untuk itu saya menawarkan pertemuan kembali di Jakarta.

(Abdul Khoir, Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama divonis 4 tahun karena terbukti memberikan suap)

7. Bahwa setelah saya di Jakarta, saya berkoordinasi kembali dengan pihak Kementerian PUPR, Bapak Ayi Hasanudin.

Bahwa benar, Paket Proyek yang diminta Abdul Khoir melalui Jailani, memang Paket Proyek Jatah PKB yang sudah masuk RKAKL dan DIPA Kementerian PUPR Tahun Anggaran 2016.

Akan tetapi ketika saya minta RKAKL dan DIPA, dijelaskan bahwa RKAKL dan DIPA masih proses pemilahan per Provinsi, yang nanti akan disampaikan ke Komisi V DPR RI.

Dengan informasi dari Kementerian PUPR tersebut, ketika saudara Jailani menawarkan kembali kepada saya di kediaman saya, Komplek Perumahan Anggota DPR RI Blok A4-53 Kalibata Jakarta Selatan, saya setujui.

Dan saudara Jailani menyanggupi untuk memberikan pembayaran Rp7 miliar.

8. Bahwa sesaat setelah Jailani pulang, saya memanggil Mutaqin sekaligus memberikan nomor telepon Jailani kepada Mutaqin.

Sekaligus saya menyuruh Mutaqin, untuk kontakan dengan saudara Jailani, dengan tujuan menerima uang Rp7 miliar yang telah dijanjkan.

9. Bahwa setelah Mutaqin menerima uang Rp7 miliar dari Jailani, kemudian uang itu di dalam 2 buah Tas Ransel itu, diletakan di kamar tidur saya.

Keesokan harinya, pagi-pagi saya telepon Jazilul Fawaid, untuk menerima uang atas kompensasi yang diberikan oleh Jailani.

Sekitar jam 10.00-11.00 WIB, pada saat itu juga Jazilul Fawaid sudah tiba di kedimanan saya, Komplek Rumah Jabatan Anggota DPR RI di Kalibata.

Pada saat itu, saya menyerahkan uang kompensasi yang diberikan oleh Jailani, kepada Jazilul, sebesar Rp6 Miliar.

Untuk kemudian akan diserahkan kepada Ketua Umum DPP PKB, Bapak Muhaimin Iskandar.

(Jazilul menolak berkomentar soal ini, “No comment, ke KPK saja,” ujarnya Oktober lalu. Sementara Cak Imin, meminta agar pertanyaan disampaikan ke Jazilul, “Ke Jazilul saja,” jawabnya.)

10. Bahwa setelah uang sebesar Rp6 miliar diterima oleh Jazilul, kemudian saya melaporkan pernyerahan uang tersebut kepada Ketua Fraksi, Helmy Faishal Zaini.

Dan saya mengatakan, pada saat itu, tolong sampaikan kepada Muhaimin Iskandar, bahwa uang sebesar Rp6 miliar, sudah saya kirim melalui Jazilul.

11. Bahwa perlu saya sampaikan, selama saya menjalani proses hukum di KPK, saya diperintahkan oleh DPP PKB, yaitu Abdul Kadir Karding (Sekjen DPP PKB saat itu).

Dan Bahrudin Nasori (Bendahara DPP PKB). Keduanya adalah Anggota Komisi III DPR RI, untuk tidak mengakui atau untuk berbohong mengenai fakta dan peristiwa sebenarnya.

Dan mereka menjalankan perintah itu, dari Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar, untuk ‘mengarahkan’ saya, menghadapi dan menjalani proses di KPK.

(Karding belum membalas pesan konfirmasi yang dilayangkan soal tudingan ini.)

12. Bahwa sejak saya menerima undangan untuk diperiksa sebagai saksi pada awal bulan Februari 2016, sampai menjalani proses persidangan di PN Jakarta Pusat.

Pada saat saya dipanggil untuk menjadi saksi, saya dikenalkan dengan dua orang pengacara, yaitu saudara Farhan dan Haryo Wibowo.

Farhan mendampingi secara informal, sedangkan Haryo Wibowo mendampingi saya secara formalitas.

Termasuk mendampingi saya, pada saat diperiksa KPK, maupun menjalani sidang-sidang di pengadilan.

Bahwa kedua orang pengacara tersebut di bawah pengarahan dari DPP PKB, yang dilakukan oleh Sekjen PKB waktu itu, Abdul Kadir Karding dan Bahrudin Nasori.

Demikian surat permohonan untuk menjadi Justice Collaborator (JC) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia.

Dan Keringanan Pembayaran Uang Pengganti, saya ajukan kepada Pimpinan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK RI).

Atas segala perhatiannya diucapkan terima kasih.”

Baca Juga: Tindak Lanjut Kasus Proyek PUPR, KPK Panggil Cak Imin