Anakku, Kini Engkau Bagian Kafilah Dakwah Itu

 

Anakku, 3 hari dan 2 malam, aku, ayahmu, berkumpul bersama ratusan sahabat dari seluruh penjuru negeri. Formalnya bernama rapat. Tapi ini bukan kisah rapat biasa yang biasanya dihiasi berbagai pidato, sambutan, atau kertas laporan yang klise. Ini adalah rapat yang sesak oleh perasaan akan kebersamaan, semangat, keikhlasan, optimisme, dan kerja keras. Semua kualitas itu nyata menggantang dan bergerak keras di seluruh sudut jiwa kami, para peserta rapat.

Anakku, suasana seperti itulah yang membuat ayahmu merasa tak lebih berharga dari setitik air di lautan gelora mengemban amanah dakwah. Sebab selama kebersamaan itu, tak terdengar sepotong suara membanggakan kerja, tak terucap satu kata tentang jabatan dan posisi, juga tak ada lisan yang berkisah tentang keberhasilan pribadi. Semua larut dalam pengakuan amal jamai dan doa yg bermunajat turunnya pertolongan Allah.

Anakku, jangan sedih jika pernah terbaca di depanmu kalimat yang menyebut ayahmu sekedar boneka barisan dakwah. Bekerja seolah-olah tanpa nalar dan kesadaran. Sebab itu sebenarnya sebuah sebutan yang terlalu mulia untukku. Bahkan menjadi keset dakwah pun masih terlalu mulia untukku, wahai anakku. Jangan pernah bandingkan kerja ayahmu dengan mereka yang bekerja dalam diam dan sunyi di tempat tersembunyi dan terpencil. Jangan pernah percaya publikasi menggelegar bisa menyingkirkan keagungan kerja mereka yang tanpa publikasi dan propaganda itu.

Sadarilah, bangunan agung bernama dakwah ini adalah akumulasi kerja yang lahir dari ribuan hati ikhlas nan bersih yang dengan harta dan jiwa telah menorehkan kebaikan bagi jutaan umat. Ah, aku ingat, hanya beberapa hari setelah kamu lahir di muka bumi ini, lebih 25 tahun lalu, kabar duka sampai ke telingaku bahwa seorang sahabat mulia wafat sehabis mencontohkan ke beberapa pemuda gagah bagaimana menyeberangi sungai dengan menggunakan tali secara benar, dalam sebuah acara mukhayyam. Namanya kamu tidak kenal, dan hari ini namanya sudah sangat jarang disebut. Tapi Allah menjadi saksi, dan guru-guru dakwah pun tahu, bahwa sahabat mulia itu adalah motor penggerak dakwah di sebuah kampus paling ternama di negeri ini di awal geliat dakwah. Hanya sedikit yang mengenal namanya. Tapi ini baru satu sosok. Masih ada puluhan sosok lainnya yang telah bekerja dalam sunyi, dan sudah kembali ke haribaan Allah, tapi tidak pernah memperoleh apa-apa dari dakwah ini dalam artian duniawi.

Jangan pernah menilai tinggi kerja ayahmu. Jangan pernah menakar ayahmu dengan sanjungan duniawi, meski itu berbilang potongan debu. Sebab terlalu banyak kebaikan dan hikmah yang sudah ayahmu reguk dari barisan dakwah ini. Terlalu banyak pelajaran dan teladan yang sudah aku jadikan pedoman dalam hidupku dari para guruku. Jadi jangan heran kalau aku ingin mengabarkan padamu satu momen paling membahagiakan yang pernah hinggap di hatiku. Yaitu momen ketika aku menyaksikanmu, bersama beberapa sahabat lainnya, larut dalam keasyikan kerja menyelesaikan berkas-berkas persyaratan calon anggota dewan hingga dini hari, beberapa malam berturut-turut. Allah menjadi saksi kebahagiaan ayahmu di beberapa malam itu.

Anakku, apapun hasil pergumulan politik kemudian hari, bersyukurlah Allah telah menakdirkanmu menjadi serpihan debu mungil dari kerja dakwah. Kamu sudah menang. Sebab kamu sudah menjadi pelayan umat. Kamu sudah menjadi keset dakwah. Tapi jangan pernah rasa bangga hinggap di hatimu, apalagi sampai berbuah takabbur. Sebab kerjamu boleh jadi bernilai, tapi dia belum sepadan remah mungil di tengah belantara dan lautan padang pasir amal shalih para murobbi dan guru dakwahmu. Saya tahu itu anakku karena ayahmu sempat menjadi saksi atas keikhlasan dan pengorbanan mereka.

Anakku, mari berjanji bersamaku, untuk selalu berkhidmat di dalam barisan dakwah, di posisi manapun kita berada. Berbahagialah anakku. Dan adakah kamu ingat suara terompah siapakah gerangan yang didengar Nabi saw dalam perjalanan mikrajnya? Suara terompah sahabat Abubakar, Umar, Utsman, Ali, atau Saad bin Abi Waqqash? Bukan anakku, bukan suara terompah para sahabat agung nan raksasa itu. Tapi itu adalah suara terompah Bilal, muazzin berkulit hitam legam yang tidak pernah menyandang pangkat tinggi sepanjang hidupnya.

 

Surya Darma Lc (Ketua DPW PKS Sulsel)