Analisis Refly Harun: ‘Calon Boneka’ Hingga ‘Kejahatan Demokrasi’

Analisis Pilpres 2024
Presiden Joko Widodo (Jokowi), saat melakukan pertemuan dengan para Ketua Umum dan Sekjen partai politik, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (25/8/2021). Foto: Dok. Istimewa

Kemungkinan ‘Calon Boneka’

Kalau skenario dengan perubahan konstitusi, maka barangkali yang namanya Jok-Pro (Jokowi-Prabowo) akan direalisasikan.

Jokowi-Prabowo, nantinya tidak akan punya lawan.

Memang di peraturan KPU itu tidak jelas, menggantung, bagaimana kalau seandainya tidak ada calon.

Pertanyaannya adalah… memang tidak boleh memborong semua partai politik, ya ‘kan?

Yang menyebabkan tidak boleh… tidak bisa… ada calon lainnya, karena itu secara teoritis, Jok-Pro, tidak boleh memborong semua partai politik.

Maka bisa saja diciptakan calon tandingan yang ‘calon boneka’, ya ‘kan? Di antara tujuh partai itu [partai koalisi].

Katakanlah misalnya, karena PDIP dan Gerindra sudah bergabung, maka tinggal diciptakan satu tandingan dari tujuh parpol yang sekarang berada di kolam Istana.

Maka terjadilah head to head, dan hasilnya sudah bisa ditebak, bahwa Jokowi-Prabowo yang akan memenangkan pertarungan.

Itu skenario kalau terjadi amandemen konstitusi yang ngeri-ngeri sedap.

Karena untuk amandemen konstitusi itu turbulensi politiknya barangkali jauh lebih tinggi, terutama di civil society-nya, yang akan menolak mentah, habis-habisan.

Tapi skenario kedua, perlu dipertimbangkan, yaitu skenario tanpa perubahan konstitusi.

Kalau skenario tanpa perubahan konstitusi, maka bisa juga ‘terjadi permufakatan yang bagi saya berpotensi menjadi kejahatan demokrasi’.

Kalau misalnya tujuh partai [PDIP, Gerindra, Golkar, PPP, PKB, NasDem, PAN] itu bermufakat untuk menyingkirkan Demokrat dan PKS.

Caranya adalah dengan tidak mengajak mereka berpesta demokrasi. Mereka tidak dilibatkan dalam koalisi apa pun.

Dalam tujuh parpol tersebut, kalau seandainya tujuh parpol ini ingin tiga calon.

Maka siapa pun yang menang di antara mereka, itu tidak akan melibatkan Demokrat dan PKS.

Sehingga, mereka tinggal mengatur portofolio.

Kalau misalnya paket A yang menang, maka yang akan menjadi menterinya ini… ini… dan lain sebagainya, komposisinya.

Kalau paket B yang menang ini… ini… dan lain sebagainya, kalau paket C, ini… ini… dan lain sebagainya.

Maka pesta itu hanya akan berada di antara oligarki Istana, yang saat ini sudah berhimpun menjadi tujuh kekuatan partai politik.

Halaman selanjutnya >>>

Potensi ‘Kejahatan Demokrasi’