Berita  

Anggap Tiongkok Dukung Junta Militer, Demonstran Bakar Pabrik Cina di Myanmar

Chinese financed factories were set ablaze Myanmar
Seorang pengunjuk rasa berjalan di jalanan yang penuh dengan kantong air untuk digunakan melawan gas air mata, saat protes anti-kudeta di persimpangan Hledan, Yangon, Myanmar, Ahad (14/3/2021). Foto: Reuters/Stringer

Ngelmu.co – Demonstran anti-kudeta membakar pabrik Cina yang berdiri di Myanmar, karena menganggap pemerintah Tiongkok mendukung junta militer mengambil alih kekuasaan.

Puluhan Orang Tewas

Pasca kudeta terhadap pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, 1 Februari 2021 lalu, Myanmar kembali mencatat hari paling berdarah.

Tercatat 22 pengunjuk rasa anti-kudeta tewas di pinggiran kota industri, Hlaingthaya, pada Ahad (14/3) kemarin.

Setelah para demonstran membakar pabrik-pabrik yang didanai oleh Cina. Demikian kata sebuah kelompok advokasi.

Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), juga mengatakan, ada 16 pengunjuk rasa yang tewas di tempat lain, dan seorang polisi.

Terluka di dada setelah konfrontasi dengan pengunjuk rasa, polisi tersebut menjadi yang kedua tewas dalam protes tersebut.

Sementara Kedutaan Besar Cina, mengungkap staf dari negara mereka terluka dan terperangkap dalam serangan pembakaran oleh pihak tak dikenal.

Pemerintah Tiongkok juga meminta Myanmar, melindungi properti serta warga Cina yang ada di sana.

Sedangkan media lokal melaporkan, pasukan keamanan menembaki pengunjuk rasa di pinggiran kota kawasan industri tersebut, saat asap membumbung.

Sebagai informasi, Hlaingthaya merupakan rumah bagi para migran dari seluruh negeri.

“Mengerikan. Orang-orang ditembak di depan mata saya. Itu tidak akan pernah hilang dari ingatan saya.”

Demikian kata seorang jurnalis foto yang menolak disebutkan namanya, di tempat kejadian, mengutip Reuters, Senin (15/3).

Ribuan Orang Ditahan

Menurut media pemerintah, darurat militer diberlakukan di Hlaingthaya, serta distrik lain di Yangon–pusat komersial Myanmar–bekas ibu kota.

Myawaddy TV [yang dikelola tentara] menyatakan pasukan keamanan bertindak usai pembakaran empat pabrik garmen dan pabrik pupuk.

Setidaknya, 2.000 orang menghentikan mobil pemadam kebakaran agar menjangkau lokasi mereka.

Lebih lanjut, seorang juru bicara junta, justru memilih untuk tidak menjawab panggilan. Ia enggan berkomentar.

Dokter Sasa selaku perwakilan anggota parlemen terpilih dari majelis yang digulingkan oleh tentara, turut menyuarakan solidaritasnya pada rakyat Hlaingthaya.

“Pelaku, penyerang, musuh rakyat Myanmar, SAC [Dewan Administrasi Negara] yang jahat, akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap tetes darah yang tumpah.”

Angka kematian ini akan menambah jumlah korban dari protes sebelumnya.

Baca Juga: Min Aung Hlaing, Sosok Kontroversial yang Pimpin Kudeta di Myanmar

Pada Sabtu (13/3) lalu, sudah lebih dari 2.150 orang ditahan. Hanya 300 lainnya yang dilepaskan.

Di sisi lain, Kedutaan Besar Cina, menggambarkan situasi tersebut sebagai hal yang sangat parah.

“Cina mendesak Myanmar, untuk mengambil langkah efektif lebih lanjut, untuk menghentikan semua tindakan kekerasan,” demikian pernyataan tersebut.

“Menghukum pelaku sesuai dengan hukum yang berlaku, dan menjamin keselamatan jiwa serta properti perusahaan dan personel Cina di Myanmar.”

Sampai berita ini ditulis, tidak ada kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas pembakaran pabrik tersebut.

Namun, yang jelas pengguna media sosial Facebook, membombardir laman milik kedutaan Cina dengan komentar negatif, dalam bahasa Myanmar.

Sentimen anti-Cina nampak meningkat, pasca kudeta menjerumuskan Myanmar ke dalam kekacauan.

Pasalnya, para penentang pengambilalihan militer, menyoroti minimnya reaksi pemerintah Tiongkok.

Jauh berbeda jika dibandingkan dengan kecaman keras yang disampaikan oleh Barat.

‘Hormati Orang Myanmar’

Mengutip akun Facebook milik pemimpin protes Ei Thinzar Maung, untuk saat ini, hanya dua pabrik yang dibakar.

“Jika Anda ingin berbisnis secara stabil di Myanmar, maka hormati orang Myanmar.”

“Untuk para pahlawan Hlaingthaya, kami bangga padamu! Hlaingthaya, bukan penipu!”

Kecaman dari Utusan Khusus PBB untuk Myanmar

Utusan Khusus PBB [Perserikatan Bangsa-Bangsa] untuk Myanmar Christine Schraner Burgener, mengutuk aksi ini sebagai kebrutalan yang terus berlangsung.

Secara pribadi, dari kontak di Myanmar, ia mengaku mendengar laporan pembunuhan yang memilukan.

Penganiayaan terhadap demonstran, serta penyiksaan tahanan yang juga terjadi selama akhir pekan.

Penindasan, menurut Burgener, jelas merusak prospek perdamaian dan stabilitas.

Maka ia mengimbau, agar masyarakat internasional mendukung rakyat Myanmar, serta aspirasi demokrasi mereka.

Pihak mantan penguasa kolonial Myanmar, Britania, juga buka suara.

Mereka mengaku terkejut atas penggunaan kekuatan yang mematikan oleh militer, terhadap orang-orang tak berdosa di Hlaingthaya [dan tempat lain].

“Kami menyerukan penghentian segera kekerasan ini,” kata Duta Besar Inggris Dan Chugg.

“Dan rezim militer menyerahkan kembali kekuasaan kepada mereka yang dipilih secara demokratis oleh rakyat Myanmar,” imbuhnya.

Awal Mula Kudeta

Militer mengambil alih kekuasaan, setelah komisi pemilihan menolak tuduhan atas kecurangan dalam pemilihan 8 November 2020 [yang dimenangkan oleh partai Suu Kyi].

Komisi pemilihan yang berjanji akan kembali menggelar Pemilu, tak juga menetapkan tanggal.

Hingga akhirnya Suu Kyi, ditahan, serta dijadwalkan kembali ke pengadilan, pada Senin (15/3) ini, dengan setidaknya empat dakwaan.

Termasuk penggunaan protofon [radio-telepon jalan] secara ilegal, dan melanggar protokol kesehatan COVID-19.