Asal-Usul Nama Depok yang Sebenarnya

Asal-Usul Nama Depok yang Sebenarnya

Ngelmu.co – Siapa yang tak kenal dengan Kota Depok? Sebuah daerah di Provinsi Jawa Barat yang kini mulai dipadati penduduk. Baik pendatang maupun mereka yang memang asli dari Depok.

Asal-Usul Nama Depok yang Sebenarnya

Sejarah Kota Depok

Berbicara mengenai Kota yang terletak tepat di Selatan Jakarta, yakni antara Jakarta dan Bogor ini, tentu banyak sekali sejarah yang tersimpan di baliknya. Terutama dalam penamaannya sendiri.

Banyak yang belum tahu, nama Depok di zaman Pajajaran belum ada. Nama Depok baru muncul sesudah agama Islam masuk. Jadi, penamaan Depok di sini hanya sebagai petunjuk tempat untuk memudahkan pembaca mengetahui lokasi yang dimaksud.

Jika mengulik dari berbagai sumber, nama Depok terbagi menjadi beberapa versi, ada yang mengartikan nama Depok sebagai akronim dalam bahasa Belanda. Begitu pula uraiannya selalu dikait-kaitkan dengan pengembangan agama Protestan.

Versi pertama ada yang mengatakan, bahwa Depok berasal dari singkatan De Earste Protestante Organisatie van Kristen, Depok adalah Deze Emheid Predikt On Kristus, atau bahkan ada yang menyebut De Earste Onderdan Kristen, hingga Dewan Ekonomi Penduduk Orang-orang Kristen.

Meski tak seluruh warga Depok berpendapat demikian, namun tak sedikit pula yang percaya bahwa Depok merupakan akronim dari bahasa Belanda. Lantas, dari manakah nama Depok yang sesungguhnya?

Kata Depok yang sebenarnya bukanlah berasal dari bahasa asing. Tetapi, lebih mendekati ke bahasa Sunda atau Jawa. Dalam bahasa Sunda sendiri, Depok berarti duduk. Kata jadian dari Depok yaitu Padepokan. Arti yang sebenarnya yaitu tempat duduk.

Sedangkan, dalam penggunaan bahasa sehari-hari, Padepokan bisa diartikan sebagai tempat tinggal atau kampung halaman. Atau bisa juga diartikan sebagai tempat pendidikan seperti pesantren. Tempat di mana para santri menuntut ilmu agama.

Mengapa tempat pendidikan pada zaman dahulu dimakan Padepokan? Sebenarnya ini dikarenakan kebiasaan seorang guru, di mana ketika memberikan pelajaran kepada murid-muridnya duduk bersila.

Dulu, padepokan hanyalah sebuah tempat belajar. Namun, lama-kelamaan, seluruh lokasi di sekitarnya dinamakan Padepokan, dan akhirnya menjadi kata Depok, sebagaimana yang dikutip dari buku “Jejak Langkah Islam di Depok”.

Asal-Usul Nama Depok

Jadi, asal-usul nama Depok yang sesungguhnya tidaklah berasal dari akronim dalam bahsa Belanda sebagaimana yang diyakini oleh sebagian orang. Mungkin akan banyak pertanyaan, “Apakah di Depok pada zaman dahulu terdapat ‘Padepokan’, sehingga nama tempat ini dinamakan Depok?

Cukup banyak jawaban dan argumentasi yang bisa membawa kita menuju dimana titik letak lokasi Padepokan itu. Pada kurun waktu sebelum Depok ini diresmikan menjadI Kota Administratif, jika kita bertanya kepada orang-orang tua pribumi Muslim tentang dimana letak Depok yang sebenarnya, maka mereka akan menunjukkan daerah sekitar jalan Siliiwangi, yang ke timurnya berbatasan dengan kali Ciliwung.

Sedangkan, ke barat perbatasan dengan jalan Kartini dan sebagian jalan Margonda, ke utara dengan kampung mangga atau Parung Malele dan ke selatan dengan Parung Belimbing. Namun, jika kita bertanya kepada penduduk yang bermukim di areal tersebut, dengan bangga mereka akan menyebut bahwa memang inilah yang disebut Depok. Dan lebih bangga lagi, bahwa merekalah penduduk pribumi asli Depok ini.

Akan tetapi, pribumi Muslim yang bermukim di sekitar Depok ini tidak ingin jika disebut sebagao orang Depok, mereka justru kerap menyebut kampung kecil kelahirannya. Misalnya, “Saya bukan orang Depok, tetapi orang Kampung Lio”. Padahal, Kampung Lio hanyalah sebatas rel kereta api saja dari areal Depok.

Jawaban tersebut sepertinya wajar jika kita mengetahui dari dekat latar belakang makna jawaban itu. penduduk yang bermukim di areal tersebut di zaman Belanda oleh panjajah didiskriminasikan dari penduduk yang beragama Islam yang bermukim di areal sekitar Depok.

Dulu mereka 100% menganut agama Kristen dan status kewarganegaraan mereka sama dengan Belanda. Di samping itu, mereka juga memiliki otoritas lading dan persawahan yang dikerjakan oleh penduduk pribumi Muslim.

Dengan memiliki tanah yang cukup luas yang diwarisi dari Cornelis Chastelein, otomatis mereka menjadi tuan tanah yang memiliki kewenangan membuatan peraturan yang memberatkan para penggarap sawah lading. Derita dan nestapa inilah yang membuat antipasti berkepanjangan terhadap tuan tanah dan penajajh, sehingga penduduk pribumi enggan disebut sebagai orang Depok.

Ada faktor lain yang membuat rancu di mana letak areal Depok itu ialah sejak awal Depok itu bukan nama desa atau nama kelurahan, tetapi semata-mata nama areal, yaitu areal Padepokan. Kelurahan Depok sekarang, sebelumnya bernama desa Parung Belimbing, namun di pada zaman kemerdekaan, namanya pun berubah menjadi Pancoran Mas.

Depok Menjadi Kota Administratif

Barulah ketika Depok dijadikan Kota Administratif menjadi Kelurahan Depok. Sebelumnya pernah diangkat menjadi nama kawadenan dan nama kecamatan. Yang menjadi alasan terkuat di mana titik letak Depok itu adalah hsail ekspedisi seorang Inspektur Jenderal VOC pada tahun 1704 yang bernama Abraham Van Reebek.

Ia adalah orang belanda, yang berjalan dari Sunda Kelapa menuju pakuan (Bogor) dengan menelusuri Kali Ciliwung ke arah selatan. Dalam perjalanannya, dia menuliskan desa atau tempat penting yang dilewatinya, mulai dari Tanjung Barat, Lenteng Agung, Srengseng, Pondok Cina, Depok, Pondok Pucung (Pondok Terong), Pabuaran, Bojong Gede, dan seterusnya.

Jadi, jelas bahwa Depok itu adalah areal yang terletak di pinggir kali Ciliwung. Sebelum Fatahillah membuka Padepokan, pasukannya lebih dulu turun di pelabuhan Cipanganteur, sekarang penduduk menyebutnya Rau, yang terletak di sebelah timur Parung Malela atau di ujung Perumahan Pesona Depok.

Di zaman dahulu sampai zaman pajajaran, bahkan di awal zaman penjajahan Belanda, kali Ciliwung yang mengalir dari kaki pegunungan di Selatan Bogor menuju Sunda Kelapa, berfungsi sebagai transportasi air yang dilalui oleh perahu dan rakit yang lalu lalang dari siang hingga malam.

Kali Ciliwung sendiri dalam bahasa lisan Sunda awalanya diucapkan dengan sebutan Kali Ciriung, Riung dalam bahasa Sunda berarti bertemu (ririungan), memang kali itu di hulunya terdiri dari beberapa sungai kecil yang akhirnya meyatu menjadi Kali Ciriung.

Kemudain setelah diangkat menjadi bahasa tulisan, berubahlah menjadi Ciliwung. Penyebabnya karena Belanda yang meregistrasi nama-nama kali bertanya-tanya kepada orang Cina yang tidak mengucapkan huruf ‘R’. Maka, si Belanda langsung saja menulis apa yang diucapkan itu “Kali Ciliwung”.

Letak Padepokan

Di samping alasan-alasan yang akurat tersebut, terdapat pula beberapa pendapat lain yang menyebut, bahwa letak Padepokan itu berada di Kramat Beji dengan pemimpin Uyut Beji. Memang tidak begitu janggal jika mengeluarkan pendapat demikian.

Sebab, memang dipenghujung kejatuhan kesultanan Banten, Pangeran Purbaya dalam upaya dirinya hendak hijarah ke Cirebon setelah mahkotanya di rebut oleh kakaknya, Sultan Kohar yang bergelar Raja Ali yang berpihak kepada Belanda, Pangeran Purbaya singgah di Depok bersama pengikutnya, yang di dalamnya terdapat pula Syeh Yusuf, yang dikenal sebagai pahlawan yang berasal dari Sulawesi.

Kemudian, ia ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Afrika Selatan hingga wafat di sana bersama Uyut Beji. Mengapa beliau disapa dengan Uyut Beji? Karena memang awalnya beliau membuka pesantren di desa Beji di tanah Banren. Setelah sampai di Depok, didapatinya Padepokan yang dibangun Fatahillah setelah kosong.

Pasukan Islam telah ditarik mundur setelah Raja Ali menyerahkan daerah Jayakarta dan Bogor kepada Belanda. Melihat keadaan yang memprihatinkan itu, Uyut Beji memohon kepada Pangeran Purbaya agar dia diizinkan tinggal di daerah ini. Sepeninggalan Pangeran Purbaya, Uyut Beji mengumpulkan sisa-sisa penduduk untuk meneruskan pengajian dan kegiatan lain seperti yang dilakukan oleh Padepokan lama.

Uyut Beji Syahid dalam Medan Laga

Tidak sampai 10 tahun kegiatan itu berjalan tercium oleh Belanda, terjadilah pertempuran, hingga akhirnya Uyut Beji syahid di medan laga. Dan dimakamkan di tempat beliau mengabdi selama kurun waktu itu. Dari awal, tempat tersebut tidak disebut sebagai Padepokan, justru hingga saat ini tetap dikenal sebagai Kramat Beji.

Bukti kegiatan beliau selama memimpin pengajian di sana, hingga kini masih tersimpan beberapa senjata berupa keris dan tombak yang merupakan alat perang di zaman dahulu. Jika boleh disebut, Kramat Beji adalah Padepokan jiid dua atau yang terakhir.

Tulisan ini dikutip dari sebuah buku berjudul “Jejak Langkah Islam di Depok”, yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia Kota Depok.