Balasan Meremas Tangan Istri Orang Lain

 

Di sebuah desa kecil hidup seorang penjahit. Teman lamanya datang kepadanya sambil membawa kain untuk dijahitkan menjadi baju. Teman ini berkata kepadanya: Jahitlah menjadi baju. Jika sudah selesai, saya minta istri atau salah seorang anakmu mengantarkannya ke istriku, karena saya sekarang dalam perjalanan luar kota dan baru kembali dua pekan lagi.

Tetapi penjahit ini berkeinginan kuat untuk melihat istri temannya, lalu muncul keinginan yang tidak baik di dalam hatinya dan berkata di dalam hati: Kenapa tidak saya antar sendiri dan saya berikan langsung kepadanya, barangkali…

Ia pun segera menjahit baju tersebut dan pergi ke rumah temannya lalu memanggilnya. Ketika istri temannya itu keluar, ia berkata kepadanya: Baju ini milik suamimu, ia membawa kain kepadaku sebelum melakukan perjalanan dan memintaku untuk menjahit menjadi baju.

Ketika memberikan baju tersebut kepada istri temannya, penjahit ini meremas tangannya hingga wanita tetsebut marah dan meludah di wajahnya sambil memakinya. Penjahit pun kembali ke rumah dalam keadaan terhina untuk membasuh bekas ludah di wajahnya.

Ketika sampai di rumah, penjahit ini mendapati istrinya marah-marah dan mencaci maki. Lalu ia bertanya kepada istrinya: Ada apa? Istrinya menjawab: Si penjual air tidak tahu malu. Ketika memberikan galon air, ia meremas tanganku. Penjahit bertanya: Kapan peristiwa itu terjadi? Istrinya menjawab: Baru saja (yakni bersamaan dengan perbuatan yang dilakukannya).

Kemudian penjahit ini mengangguk-anggukkan kepala dan berkata: Kejahatan dibalas dengan kejahatan yang setimpal. Kalau saya menambah kejahatan pasti balasannya ditambah.

Ya, kadang suatu kejahatan dibalas dengan kejahatan yang setimpal dan spontan. Firman Allah:

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal”. (asy-Syura: 40)

Diterjemahkan dari “Zad al-Murabbin”, Ibrahim Badr Syihab al-Khalidi. Oleh Aunur Rafiq Saleh Tamhid.