Belajar dari Semut

Belajar dari Semut

Ngelmu.co – Bismillahirrahmanirrahim. Ketika Nabi Sulaiman, beserta bala tentaranya hendak melintasi sebuah lembah semut, seekor di antaranya seketika Menyeru: “Masuk-lah kalian ke dalam liang-liang kalian! Jangan sampai terinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak merasa!”

Nabi Sulaiman yang medengar seruan semut kecil itu hanya tersenyum, seraya bersyukur, karena telah diberi mukjizat dapat mendengar dan memahami suara binatang sekecil semut.

Sungguh, dalam setiap kisah-kisah Al-Qur’an itu, tak ada makna picisan bagi setiap orang yang mau berpikir.

Kisah tentang berbagai binatang yang diabadikan dalam Al-Qur’an, bukanlah fabel karangan tanpa arti. Mari kita menyelam lebih jauh ke dalam ayat ini:

حَتَّىٰ إِذَا أَتَوْا عَلَىٰ وَادِ النَّمْلِ قَالَتْ نَمْلَةٌ يَا أَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

“Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarang kalian, agar kalian tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari,” (QS. An-Naml: 18).

Dalam ayat ini, terdapat seekor semut yang menjadi tokoh utama dalam kelompoknya.

Seorang Mufasir Bayani kontemporer, Prof Dr Fadhil Al-Samra’i, menegaskan bahwa semut ini setidaknya telah melakukan beberapa hal:

  • Merasakan atau menyadari [adanya ancaman]
  • Bergegas [memberitahu]
  • Memanggil [kelompoknya]
  • Mengawaskan [dari tentara Sulaiman]
  • Memerintahkan [agar masuk ke liang]
  • Melarang [untuk keluar]
  • Menegaskan [agar tidak terinjak]
  • Menasihati [apa yang harus dilakukan]
  • Menggunakan kata hiperbol [agar dianggap penting]
  • Menjelaskan [siapa yang datang]
  • Memperingatkan [dampak yang dimunculkan]
  • Melaksanakan [apa yang ia katakan]

Ayat yang singkat ini, ketika dijabarkan, ternyata memiliki kandungan yang luas dan mendalam.

Bahkan, seandainya kita teliti kata demi kata, diksi yang digunakan ayat ini memiliki rahasianya tersendiri, seperti:

(ادْخُلُوا)

“Masuklah kalian!” dalam bahasa Arab, kata perintah ini digunakan untuk orang yang berakal, padahal semut tidak berakal, seakan menunjukkan bahwa ancaman yang nyata itu, tidak akan disadari kecuali oleh mereka yang berakal dan punya otak.

(مَسَاكِنَكُمْ)

“Tempat tinggal kalian” masuk-lah ke sana, dan bukan ke sembarang tempat, dan bukan juga tempat tinggal milik semut lain, karena dalam kondisi panik terkadang seekor semut asal masuk ke tempat mana saja, sehingga bisa terjadi penumpukan dan berdesak-desakan.

Namun, ketika setiap semut masuk ke rumah masing-masing, ada ruang yang cukup dan jarak yang terjaga [social distancing].

(وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ)

“Sedangkan mereka tidak merasa” Nabi Sulaiman dan tentaranya mungkin tidak engah [sadar], bahwa dirinya bisa menjadi sebab kematian bagi para semut.

Sama seperti orang yang mengidap virus Mematikan, pada tahap awal mungkin ia belum merasakan gejala tertentu. Namun, bisa jadi karena pergaulannya, ia dapat menularkan virus dari dirinya kepada orang lain, dan tanpa disadari, ia telah menjadi sebab kematian bagi orang lain.

…dan lain-lain.

Sungguh, kisah semut di atas sangatlah relevan dengan kondisi dunia saat ini. Ketika wabah COVID-19 muncul dan menjadi ancaman bagi nyawa manusia, lalu para Ahli dari kalangan Medis, Pemerintah dan Ulama telah:

  • Merasakan [adanya ancaman Corona]
  • Bergegas [memberitahu dunia]
  • Memanggil [seluruh masyarakat dunia]
  • Mengawaskan [dari wabah Corona]
  • Memerintahkan [agar menetap di dalam rumah]
  • Melarang [untuk keluar kalau tidak mendesak]
  • Menegaskan [agar tidak tertular]
  • Menasihati [untuk jaga kebersihan dan jaga jarak]
  • Menggunakan kata hiperbol [agar sadar bahwa ini perkara genting]
  • Menjelaskan [wabah apa yang datang]
  • Memperingatkan [dampak yang dimunculkan Corona]
  • Melaksanakan [apa yang mereka katakan]

Maka tidak ada pilihan bagi masyarakat umum, kecuali mengindahkan dan menaati perintah dan imbauan tersebut, sekalipun berat dan susah, tapi itu demi kemaslahatan lebih besar bagi eksistensi manusia.

Sungguh, menyelamatkan diri dari ancaman bahaya itu adalah sebuah fitrah, insting, dan bahkan semut saja paham akan hal itu.

Para semut, itu bahkan tidak pernah berkelakar: “Kita adalah semut-semut pemberani, kita tidak takut dengan tentara Sulaiman! Kalau kita mati terinjak, ya itu namanya takdir! Pokonya kita maju terus pantang mundur, Allahu Akbar!”

Fa’tabiru ya ulil abshar.

Wallahu a’lam.

Baca Juga: Sehebat Umar kah Iman Kita?