2 Benturan yang Mengantarkan pada Keistiqamahan

Robi Barmawanto Hafidz

Ngelmu.co – Benturan dalam kehidupan tidak selamanya buruk. Jika kita mampu memaknainya secara positif, benturan bisa menjadi berkah.

Seperti yang dialami kawan saya, satu angkatan saat kuliah, Robi Barmawanto, akuntan yang hafal Al-Qur’an, 30 juz.

Seperti yang diceritakannya tadi pagi, bagaimana dua benturan dalam hidup, mengantarkannya menjadi seorang Hafidz [orang yang mampu menghafal 144 surat, 6.666 ayat, 604 halaman, dari Al-Qur’an].

Mungkin banyak juga kalangan profesional yang mampu menghafal Al-Qur’an, sebanyak itu.

Namun, yang membuat saya tercengang adalah bagaimana Robi, yang sejak kecil sampai lulus SMA, tidak pernah belajar membaca Al-Qur’an.

Lantas, dalam waktu 2,5 tahun, berhasil menyelesaikan hafalan 30 juz, itu.

Seperti diakuinya, Robi, memang sama sekali buta tentang huruf-huruf dalam Al-Qur’an.

Sebab, sejak sekolah di SD Taman Siswa, ia tidak pernah diajarkan membaca Al-Qur’an.

Begitu pun kakek yang mengasuhnya sejak kecil, tidak mengajarkannya.

Jadi karena itu, ia, mengalami benturan.

Pasalnya, saat kuliah di sekolah kedinasan STAN, dosen agama Robi–dosen kami juga–Pak Farid, tidak menghendaki ada mahasiswanya yang tidak bisa membaca Al-Qur’an.

Maka salah satu ujian yang dilakukan Pak Farid, adalah satu per satu dari kami, diminta untuk membaca Al-Qur’an.

Bukan itu saja, salah satu buku rujukan untuk mata kuliah agama adalah buku berjudul ‘Bible, Qur’an, dan Sains Modern’, yang ditulis Dr Maurice Bucaille.

Ujiannya? Membacakan ayat Al-Qur’an, yang terkait science.

Ini benturan pertama yang dialami, Robi.

Bagaimana mungkin, ia, akan mampu melewati tes ini, sementara dirinya, sama sekali buta huruf Al-Qur’an.

Maka bayang-bayang drop out, menari di depan matanya.

Untung, Robi, tidak kehabisan akal. Ia, meminta teman satu kost-nya, untuk membunyikan ayat-ayat yang berkenaan dengan science.

Ayat tentang penciptaan manusia, penciptaan alam semesta, dan lain-lain.

Lalu, ia menghafalnya, sekaligus nomor dan nama surat.

Jadi saat ujian, ia, sebenarnya tidak membaca, tapi melafalkan ayat-ayat yang telah di-hafalnya itu.

Dengan ‘mengelabui’ Pak Farid, seperti itu, Robi, bisa lolos dari ancaman drop out, dan berhasil lanjut ke tingkat dua.

Tetapi di tingkat dua, ia kepentok lagi.

Di pertengahan tahun kedua, ia, mulai ikut pengajian pekanan di kampus.

Pengajian dalam lingkaran kecil itu, selalu dimulai dengan membaca Al-Qur’an, masing-masing satu halaman, secara bergantian.

Ini momen benturan kedua. Ia, merasa malu, karena selalu meminta agar gilirannya dilewati.

Sebab, ia memang tidak bisa membaca Al-Qur’an.

Dengan dua peristiwa itulah, ia, memutuskan untuk mulai belajar membaca Al-Qur’an.

Awalnya, saat masih kuliah itu, ia, belajar sendiri. Membeli Juz Amma (Juz 30), yang ada bacaan latinnya.

Robi, juga membeli satu set buku Iqra.

Namun, keseriusannya untuk berinteraksi dengan dengan Al-Qur’an, terjadi justru saat dirinya mulai sibuk bekerja.

Saat itu, tahun 1992, Ma’had Al-Hikmah, di jalan Bangka, Jakarta Selatan, membuka program Tahfidzul Qur’an, angkatan pertama.

Tanpa berpikir panjang, Robi, langsung mendaftar.

Padahal, saat itu, ia, sudah menjadi karyawan DJP, yang ditempatkan di UPT Khusus Kalibata, Jakarta Selatan.

Artinya, sepertiga waktu Robi, habis di kantor.

Namun, keputusannya bulat. Tidak bisa mundur lagi, bahwa ia, harus menghafal Al-Qur’an.

Maka Robi, mulai menjalani hari-hari yang berat. Aktivitasnya di mulai sejak dini hari, pukul tiga.

Ia, sudah bangun untuk muroja’ah (mengulang hafalan), yang ia lakukan sembari sholat Tahajud.

Ketika Subuh tiba, ia, mengayuh sepedanya mendatangi Masjid Al-Hikmah.

Selepas sholat, ia, menyetor hafalan barunya kepada Ustaz pembimbing, sampai pukul tujuh pagi.

Setelah itu, ia, kembali ke kost-kost-an-nya, untuk bersiap pergi ke kantor.

Dengan menumpang mikro bis, Kopaja 57, ia, berangkat ke kantor, menunaikan kewajiban sebagai ASN.

Pukul 16.30, ia, kembali ke kost-kost-an.

Setelah mandi, ia, segera mengayuh sepedanya ke Ma’had Al-Hikmah, untuk belajar agama.

Sudah setahun, sebelum mendaftar program menghafal Al-Qur’an, Robi, kuliah di Dirosah Islamiyyah, di Ma’had Al-Hikmah, itu.

Selesai belajar, pukul 21.30, ia, pulang ke kost-kost-an-nya.

Bukan untuk istirahat, tapi ia melanjutkan program menghafal Al-Qur’an, sampai jam 12 malam.

Baru setelah itu, ia tidur. Jadi praktis, terlelap hanya tiga jam sehari.

Demikianlah rutinitas hidupnya. Setiap hari. Tidak ada dalam jadwal-nya untuk sekadar bersantai, meski sejenak.

Kongkow, nge-mall, apalagi melakukan hal-hal tidak berguna seperti main game di gadget-nya.

Bahkan, di hari libur, ia, bukan mengendorkan jadwal, tetapi justru meningkatkan intensitas.

Jika di hari kerja, ia, bisa menghafal satu atau dua halaman, maka saat libur, bisa menyelesaikan lima sampai enam halaman.

Bukan itu saja, harga yang ia bayar, bahkan harus terlambat satu tahun untuk melanjutkan kuliah D4-nya.
Bukan karena tak mampu lolos pada kesempatan pertama, tapi karena perhatiannya benar-benar terfokus pada menyelesaikan hafalan 30 juz, itu.

Maka setelah dua tahun enam bulan, ia, menjalani jadwal yang sangat ketat, Robi, berhasil menyelesaikan hafalan Al-Qur’an 30 Juz.

Ketika saya tanya bagaimana, ia, mempertahankan hafalannya, Robi menjawab:

“Menghafal itu mudah, tapi menjaga hafalan adalah pekerjaan seumur hidup.”

Kini, di tengah kesibukannya bekerja sebagai CEO, di sebuah Kantor Akuntan Publik, Robi, ‘bekerja’ juga menjaga hafalannya.

Dengan mengulang hafalan, minimal satu jam setiap hari, di luar waktu sholat.

Itu, tentu juga di luar dirinya membaca Al-Qur’an, minimal satu juz, setiap harinya.

Ada satu dorongan yang ia sampaikan, serta yakini, yakni bahwa menghafal Al-Qur’an, itu suatu keniscayaan.

Kuncinya komitmen yang kuat, dengan aksi nyata, mengalokasi waktu dengan disiplin kuat untuk menghafal.

“Komitmen tanpa alokasi waktu, tidak akan berguna,” tuturnya.

Kedisiplinan Robi, untuk bersama Al-Qur’an, telah melekat kuat dalam dirinya.

Ia tidak akan memegang gadget-nya di pagi hari, sebelum berinteraksi dengan Al-Qur’an.

Itulah kisah inspiratif kawan saya, Robi. Kisah yang menampar Muslim, siapa pun, yang masih beralasan untuk tidak mulai menghafal Al-Qur’an.

Tentu tamparan yang hanya dirasakan, bagi yang mau membuka hati.

Depok, Sabtu, 3 Oktober 2020

Oleh: Didin Amarudin