Beribadah dengan Berpolitik

Oleh Ustadz Ahmad Sarwat, Lc., MA

Apa yang dimaksud dengan beribadah dengan politik dan bagaimana caranya?

Jawaban :

Assalamu ‘alaikum warahmatllahi wabarakatuh,

Beribadah dengan berpolitik itu berangkat dari pemikiran bahwa agama Islam itu adalah agama yang mencakup semua askep kehidupan. Bukan agama yang hanya mengurusi ritual teknis belaka.

Semua sisi kehidupan diyakini merupakan bagian utuh dan satu kesatuan, di mana syariah Islam ini punya otoritas untuk mengaturnya. Salah satu sisi kehidupan itu adalah wilayah politik.

Beribadah dengan berpolitik itu bukanlah semata-mata bermain-main di dunia politik, juga bukan semata-mata berpolitik demi politik itu sendiri. Namun beribadah dengan berpolitik itu adalah mewarnai kehidupan manusia di dunia ini serta mengajak mereka kembali kepada ajaran Allah serta mengamalkan perintah Nabi-Nya, namun lewat jalur-jalur politik.

Memang harus diakui banyak orang memandang bahwa dunia politik itu jahat, culas, penuh nafsu keserakahan, meluap dengan angkara murka serta sarat kebejatan. Kesan ini tidak terlalu salah, bila kita menyadari dan menyelami apa yang benar-benar terjadi.

Namun di sisi lain, pengaruh kekuatan politik itu sendiri pun tidak main-main. Bahkan wajah dunia itu sendiri sebenarnya sangat ditentukan oleh dunia politik. Boleh dikatakan merah dan hitamnya panggung kehidupan umat manusia sangat ditentukan dari sebuah kebijakan politik.

Seribu ceramah dari seribu dai pada seribu hari-hari kerja mereka yang melelahkan itu, nyaris tidak bisa melawan sebuah kebijakan politik yang ada. Angkara murka dan kemaksiatan yang merajalela di suatu negeri, sudah bisa dipastikan lahir dari sebuah kebijakan politik.

Munculnya para pezina, pelacur, penjudi, pemabuk, pemerkosa, penjahat, pencuri, perampok, pencoleng, pembegal serta beragam aktifitas di dunia hitam, juga lahir dari sebuah kebijakan politik.

Hancurnya ekonomi suatu bangsa, bergantungnya mereka kepada hutang luar negeri, rusaknya alam, hilangnya sumber daya, dan kacaunya perdagangan, semua sangat bergantung dari sebuah kebijakan politik.

Kemiskinan, kemelaratan, kelaparan, kehinaan, kekurangan gizi, taraf hidup yang rendah, merosotnya kesehatan, merebaknya penyakit serta munculnya kesengsaraan, selalu berangkat dari sebuah kebijakan politik.

Munculnya dekadensi moral, seks bebas, seks sejenis, majalah porno, pornografi, pornoaksi, lesbianisme, sodomi, wisata seks, pengguguran bayi (aborsi), dan bisnis prostitusi tidak lain adalah anak kandung dari sebuah kebijakan politik.

Mahalnya harga-harga, ekonomi yang mencekik, angka kemiskinan yang meledak, angka pengangguran yang semakin membengkak, kasus PHK yang semakin marak, adalah dampak dari sebuah kebijakan politik.

Ibadah di dunia politik

Ketika dunia politik diisi oleh orang-orang oprtunis yang tidak pernah percaya tuhan, agama dan kehidupan hari akhir, maka jadilah kehidupan umat manusia seperti neraka. Sebab merekalah yang mengambil kebijakan politik sehingga melahirkan beragam azab dan bencana di atas.

Sayangnya, orang-orang shalih yang percaya kepada Allah dan paham kitab suci, umumnya malah lari menghindar dari dunia poiltik. Alih-alih menyelematkan umat, mereka malah mencari tempat berlindung sendiri-sendiri di balik liang kecil sambil memendam kepala di dalam tanah. Memejamkan mata dan berpikir seolah semua ini terjadi begitu saja dan merupakan takdir Allah.

Sayangnya orang-orang yang bersih dan suci ini nyaris tidak mau mengotori tangannya dengan kerja dan usaha terlebih dahulu, sehingga mereka lebih memilih untuk bersembunyi di dalam pesantren dan lembaga pendidikan. Membangun tembok benteng untuk sekedar melindungi diri mereka sendiri. Adapun nasib umat Islam secara keseluruhan yang menjadi korban kebobrokan kebijakan politik srigala culas, seolah tidak pernah menjadi agenda pembicaraan.

Lucunya, di tengah kehancuran yang nyata seperti ini, di mana semua sepakat bahwa penyebabnya memang politk kotor para penguasa bejat, masih saja ada yang berpaham untuk menjauhkan diri dari upaya memperbaikinya. Bahkan mereka malah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan umat Islam berupaya mengantisipasi kebejatan kebijakan politik. Fatwa-fatwa itu seolah mengatakan bahwa beramar makruf dan nahi munkar tepat di titik permasalahannya adalah hal yang haram.

Fatwa haramnya berpolitik dan mendirikan partai pendobrak kejahilan seakan mengandung pesan bahwa kalau mau beramar makruf dan nahi mungkar, jangan pada inti masalahnya, cukup pada masalah cabang dan ranting-rantingnya saja. Jangan tebang akar pohon permasalahannya, cukup setiap hari menyapu membersihkan sampahnya saja.

Padahal bila umat Islam bersatu dengan dimulai dari para ulama dan tokohnya, mereka duduk bersama dan menyamakan langkah, insya Allah dunia politik itu bisa dikuasai dengan baik oleh orang-orang yang shalih. Sehingga semua kebijakan politik yang lahir tidak lain adalah bentuk nyata dari semangat bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.

Namun pusat kekuasaan dan dunia politik itu tidak akan begitu saja diserahkan kepada orang-orang sahlih. Kecuali bila dikejar dan direbut langsung secara massal dari orang-orang bejat itu. Dan umat Islam dengan semua elemennya seharusnya bersatu padu untuk mengusir kekuatan mungkar dari dunia politik. Kursi mereka harus direbut, wewenang mereka harus dihapus, kekuasaan mereka harus diakhiri, kelaliman mereka harus disudahi, kejayaan mereka harus diruntuhkan. Jangan ada lagi suara rakyat untuk mereka, yang sudah terbukti culas dan sewenang-wenang.

Sebagai gantinya, majulah orang-orang shalih, orang-orang yang dahinya ada cahaya bekas sujud dan selalu basah dengan air wudhu’, orang-orang yang bekerja demi tuhannya, bukan demi kedudukan atau harta, orang-orang yang hanya mencari pahala untuk akhirat, bukan mencari kemuliaan duniawi, orang-orang yang tujuan hidupnya hanya mencari keredhaan Allah semata.

Sebab hanya mereka saja yang layak mengisi dunia politik. Karena kotor tidaknya dunia politik bukan disebabkan nama politik itu sendiri, melainkan disebabkan oleh kekotoran para aktifisnya sendiri, yang memasuki dunia politk tanpa kenal siapa Allah dan siapa nabi-Nya. Mereka inilah yang telah mengharu-biru kehidupan umat manusia selama ini. Padahal mereka sama sekali tidak layak untuk duduk di sana.

Perlunya Ulama Duduk Bersama

Di sinilah perlunya para ulama duduk bersama untuk saling memberikan pandangan dan memperluas wawasan. Kalau ada perbedaan pandangan, janganlah selalu ditanggapi negatif. Justru berbahagialah, sebab perbedaan pendapat itu pada hakikatnya adalah ilham atau ilmu yang Allah SWt turunkan, meski melalui orang lain.

Seorang alim yang mumpuni biasanya selalu minta dikritisi oleh ulama lain, agar bisa mendapatkan hasil ijtihad yang terbaik. Mengklaim diri sebagai pihak yang selalu benar dan pasti harus benar terus, sesungguhnya bertentangan dengan karakteristik keulamaan. Semakin banyak dikritisi pemikirannya, seharusnya semakin gembira, bukan malah tersinggung dan marah-marah sendiri.

Wallahu a’lam bishshawab Wassalamu ‘alaikum warahmatllahi wabarakatuh