Berita  

Berubah Lagi, Baleg DPR Jawab soal UU Ciptaker Jadi 1.187 Halaman

Halaman Naskah UU Cipta Kerja

Ngelmu.co – Badan Legislasi (Baleg) DPR, menjawab soal jumlah halaman naskah UU Cipta Kerja (Ciptaker), yang kembali berubah, setelah penyerahan ke Sekretariat Negara (Setneg).

Jumlah Halaman Kembali Berubah

Naskah yang sebelumnya berjumlah 812 halaman, menjadi 1.187 halaman, karena perbedaan format antara DPR dengan Setneg.

Mengutip Detik, Ketua Baleg DPR, Supratman Andi Agtas, menyatakan, “Iya, kalau halaman sih enggak masalah, ya, itu karena ada perbedaan format,” jawabnya, saat dihubungi, Kamis (22/10) kemarin.

“Ini, ke depan, akan kita coba satukan format antara yang di Setneg, dengan yang di DPR,” sambung Supratman.

“Itu pasti, karena terkait dengan formatnya yang lebih… mekanismenya, yang ada di Setneg, dengan yang ada di DPR, itu kelihatannya masih berbeda,” imbuhnya lagi.

“Ke depan, kita akan cocokkan format yang benar. Jadi itu intinya,” jelas Supratman.

Baca Juga: Naskah UU Ciptaker yang Berubah-ubah Jumlah Halamannya

Menurutnya, perubahan juga berkaitan dengan salah ketik ataupun penulisan huruf besar dan kecil.

Namun, politikus Partai Gerindra, itu menegaskan jika naskah UU Ciptaker, setebal 1.187 halaman, sudah final.

“Ya, benar (UU Ciptaker 1.187 halaman yang final), itu yang dari Setneg itu,” tegas Supratman.

“Sebenarnya, itu enggak ada perbedaan mendasar, enggak ada, kecuali typo dan teknik penulisan, ya, besar kecil,” imbuhnya.

“Dan berikutnya, hanya terkait soal, mungkin, ini lagi kami, ke depan, kami akan cocokkan, supaya menggunakan format yang sama,” sambungnya lagi.

“Kami menganggap, DPR itu, kemarin sudah menggunakan format yang ditentukan, tapi rupanya di Sekretariat Negara, mungkin karena ada kop, ya. Gitu saja prinsipnya,” beber Supratman.

Penghapusan Pasal 46

Tetapi selain perbedaan format, ada pula perubahan pasal dalam naskah UU Ciptaker, terbaru.

Supratman, menyebutkan adanya penghapusan Pasal 46 UU Ciptaker, terkait kewenangan BPH Migas, yang ada dalam naskah UU Ciptaker, versi 812 halaman.

Ia, menyebut pasal itu memang tidak seharusnya ada dalam UU Ciptaker.

“Terkait dengan Pasal 46, itu memang ada yang dihapus,” kata Supratman.

“Jadi, Pasal 46, itu redundant dengan UU Migas, karena UU Migas, ‘kan tidak berubah, kembali ke existing,” jelasnya.

“Yang pasal 46 itu, terkait dengan tugas dari BPH Migas, terkait dengan toll fee,” lanjutnya lagi.

Setelah pihak Setneg dan DPR, melakukan pemeriksaan, baru keberadaan pasal tersebut diketahui.

Akhirnya, kedua pihak sepakat, kembali pada keputusan Panja, yang menyebut pasal tersebut, tidak seharusnya ada dalam UU Ciptaker.

“Jadi, pertama setelah dikirim ke Sekretariat Negara, yang 812 (halaman) itu, setelah dilakukan pengecekan ternyata ada yang ditemukan, tapi sudah telanjur dikirim ke Sekretariat Negara,” kata Supratman.

“Dua-duanya, nih (mengecek), begitu dikirim, Setneg temukan, kita juga temukan, sehingga ada recall untuk mempertanyakan itu,” sambungnya.

“Nah, kita sepakati, kita kembali ke keputusan Panja, memang benar, jadi itu seharusnya tidak ada,” ungkapnya.

Keputusan Panja

Aturan dalam Pasal 46, lanjut Supratman, sama persis dengan yang ada dalam UU Migas.

Maka itu, Panja, memutuskan untuk menghapus pasal tersebut dari UU Ciptaker.

“Hasil keputusan Panja itu, kita tidak setuju peralihan tugas kewenangan BPH Migas, ke menteri, terkait dengan toll fee,” ujar Supratman.

“Tinggal ayat 1 sampai ayat 4, itu kalau masuk UU Cipta Kerja, itu redundant, jadi memang seharusnya dihapus, gitu,” imbuhnya.

“Jadi, waktu kami kirim, rupanya itu masih ada, dan itu yang dihapus, karena memang itu ‘kan redundant, ya,” lanjutnya lagi.

“Jadi, ayat 1 sampai 4, persis sama dengan yang ada di UU Migas, seharusnya tidak ada, karena itu memang seharusnya dihapus,” pungkas Supratman.

Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Pratikno, juga menjelaskan perihal perubahan jumlah halaman naskah UU Ciptaker.

“Substansi RUU Cipta Kerja, dalam format yang disiapkan Kemensetneg (1.187 halaman), sama dengan naskah RUU Cipta Kerja, yang disampaikan oleh DPR kepada Presiden,” akuannya, Kamis (22/10).

Perubahan jumlah halaman, kata Pratikno, karena formatting dan pengecekan teknis oleh Kemensetneg.

Proses tersebut, menurutnya, memang harus dilewati, sebelum sebuah undang-undang, disampaikan ke presiden, dan diundangkan.