Betapa Sifat Buruk Bangsa Yahudi Tercatat Jelas dalam Al-Qur’an

Sifat Buruk Jelek Yahudi dalam Al Quran
Ilustrasi Foto: Instagram/actforhumanity

Ngelmu.co – Betapa sifat-sifat buruk bangsa Yahudi, tercatat jelas dalam kitab suci Al-Qur’an.

Al-Baqarah

Al-Qur’an surah Al-Baqarah, menjelaskan berbagai sifat buruk bangsa Yahudi.

أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (QS. Al-Baqarah: 75).

Dalam ayat ini, Allah mengarahkan firman-Nya kepada orang-orang mukmin.

Agar, mereka jangan terlalu banyak mengharapkan berimannya bangsa Yahudi, karena watak yang tak jauh berbeda dengan nenek moyang mereka.

Pendeta-pendeta Yahudi pada zaman dahulu, mempelajari kitab Taurat. Namun, setelah memahami, mereka justru mengubah pengertiannya.

Bahkan, mereka sengaja mengganti ayat-ayat Qur’an, terutama yang berkenaan dengan kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Sebenarnya, mereka paham [bahwa yang dilakukan adalah penyelewengan], tetapi justru diajarkan kepada keturunannya.

Meski keliru, bangsa Yahudi di zaman Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetap berpegang teguh dengan ajaran nenek moyang.

وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَا بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ قَالُوا أَتُحَدِّثُونَهُمْ بِمَا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ لِيُحَاجُّوكُمْ بِهِ عِنْدَ رَبِّكُمْ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata: ‘Kami pun telah beriman’, tetapi apabila mereka berada sesama mereka saja, lalu mereka berkata: ‘Apakah kamu menceritakan kepada mereka [orang-orang mukmin] apa yang telah diterangkan Allah kepadamu, supaya dengan demikian mereka dapat mengalahkan hujjahmu di hadapan Tuhanmu; tidakkah kamu mengerti?’,” (QS. Al-Baqarah: 76).

Ayat ini menjelaskan, tentang watak bangsa Yahudi [yang tak dapat diharapkan lagi imannya]. Watak mereka menyerupai orang munafik.

Ayat ini juga menerangkan, bahwa jika bangsa Yahudi yang bersikap munafik berjumpa dengan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka berkata:

“Kami juga beriman seperti kamu, kami mengakui bahwa kamu dalam kebenaran, dan bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu memang utusan Allah yang telah diterangkan dalam kitab Taurat.”

Namun, mereka mengucapkan kata-kata tersebut dengan maksud menenteramkan hati orang-orang Aus dan Khazraj [yang pernah menjadi teman sekutu mereka].

Bagaimana saat mereka ada di tengah-tengah kaumnya dan mendapat celaan? Mereka mengatakan:

“Mengapa mereka memberi tahu kepada orang Islam apa yang diterangkan Allah tentang kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara khusus di dalam Taurat? Seharusnya kabar itu dirahasiakan, dan tidak boleh seorang pun tahu, karena kalau rahasia itu dibukakan, berarti orang-orang mukmin mempunyai alasan yang kuat untuk mengalahkan hujah-hujah mereka sendiri di hadapan Allah.”

Mereka menganggap tindakan demikian sebagai perbuatan tercela, dan tak memperkirakan sebelumnya, akibat buruk yang akan terjadi.

أَوَلَا يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ

“Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan?” (QS. Al-Baqarah: 77).

Ayat ini sebagai celaan serta pukulan bagi Yahudi, terutama para pemalsu yang menyembunyikan sifat-sifat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Begitu juga para pemalsu yang mengubah kitab suci mereka, seolah-olah hendak menyembunyikan kekufuran serta kedustaannya sendiri.

Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengetahui segala yang mereka sembunyikan pun tampakkan.

وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلَّا أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab [Taurat], kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga,” (QS. Al-Baqarah: 78).

Ayat ini menjelaskan tentang orang-orang awam, para pengikut mereka yang menuruti kemauan pendeta-pendeta pemutar balik isi Taurat.

Maka baik pemimpin pun pengikut, keduanya sama-sama dalam kesesatan.

Di antara orang-orang Yahudi, ada golongan ummi, yakni orang-orang yang buta huruf, tidak dapat membaca dan menulis.

Mereka hanya dapat menghafal kitab Taurat, tetapi tidak bisa memahami makna serta kandungannya.

Begitu juga dengan amal perbuatan, mereka tidak dapat mencerminkan apa yang dimaksud oleh isi Taurat.

Mereka adalah kaum yang hanya mendasarkan sesuatu kepada sangkaan, tak sampai kepada martabat keyakinan yang berdasarkan keterangan pasti [tidak meragukan].

Bangsa Yahudi, memang banyak ingkar terhadap kebenaran, meskipun kebenaran tersebut jelas.

Mereka terlalu banyak mendustakan ayat-ayat Allah, sekaligus tertipu paling banyak oleh dirinya sendiri.

Kelompok yang gemar memakan harta orang lain dengan cara haram, seperti riba, menipu, pun suap.

Mereka menganggap, bahwa kelompoknya adalah yang paling utama di dunia.

فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ

“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; ‘Ini dari Allah’, [dengan maksud] untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan,” (QS. Al-Baqarah: 79).

Ayat ini menjelaskan siapa-siapa yang terlibat dalam pemalsuan kitab suci.

Mereka adalah yang menyesatkan dengan mengada-adakan dusta terhadap Allah, serta memakan harta orang lain dengan tidak sah.

Orang-orang yang bersifat demikian, akan celaka. Terutama pendeta mereka yang menulis kitab Taurat dengan menuruti kemauan sendiri.

Lalu, pendeta tersebut berkata kepada orang awam, ‘Bahwa inilah Taurat yang sebenarnya’.

Mereka berbuat demikian, untuk mendapat keuntungan duniawi, seperti pangkat, kedudukan, juga harta benda.

Dijelaskan, bahwa keuntungan yang mereka ambil itu sangat sedikit, daripada kebenaran yang mereka ‘jual’ [sangat mahal dan tinggi nilainya].

Allah pun mengulangi ancaman-Nya terhadap perbuatan pendeta Yahudi tersebut. Bahwa kepada mereka, akan ditimpakan siksaan yang pedih.

Para pendeta Yahudi yang mengubah Taurat, melakukan tiga kejahatan:

  1. Menyembunyikan sifat-sifat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam [yang disebut dalam Taurat];
  2. Berdusta kepada Allah; dan
  3. Mengambil harta orang lain dengan cara tidak sah.

Kemudian para pendeta itu berkata, “Kitab ini dari Allah.”

Padahal, kitab tersebut sama sekali bukan dari Allah, dan justru menghambat manusia untuk memperhatikan Kitab Allah dan petunjuk-petunjuk di dalamnya.

Perbuatan itu hanya dilakukan oleh mereka yang memang keluar dari agama, sengaja merusak agama, dan menyesatkan para pengikutnya.

Begitu juga dengan mereka yang memakai pakaian agama serta menampakkan potret sebagai orang yang mengadakan perbaikan, tetapi untuk menipu.

Agar orang-orang tersebut menerima apa yang ia tulis dan katakan.

Termasuk orang yang sengaja menakwilkan serta membuat tipu muslihat.

Tujuannya tak lain, agar mudah bagi manusia menyalahi agama. Mereka yang berbuat demikian, hendak mencari harta dan kemegahan.

وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَقَفَّيْنَا مِنْ بَعْدِهِ بِالرُّسُلِ ۖ وَآتَيْنَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ ۗ أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا تَهْوَىٰ أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al Kitab [Taurat] kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya [berturut-turut] sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran [mukjizat] kepada Isa putra Maryam, dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu [pelajaran] yang tidak sesuai dengan keinginanmu, lalu kamu menyombong; maka beberapa orang [di antara mereka] kamu dustakan dan beberapa orang [yang lain] kamu bunuh?” (QS. Al-Baqarah: 87).

Allah Subhanahu wa Ta’ala, telah menurunkan Taurat kepada Nabi Musa Alaihis Salam, setelahnya, Allah mengutus beberapa rasul silih berganti.

Maka setiap waktu, selalu ada rasul yang menyampaikan agama Allah.

Artinya, tak ada alasan bagi mereka untuk lupa, mengganti, atau mengubah peraturan-peraturan yang telah Allah tetapkan.

Setelahnya, dalam ayat ini, Allah menyebut Nabi Isa Alaihis Salam, secara khusus, di antara para rasul.

Allah menerangkan, bahwa ia telah diberi mukjizat yang dapat membuktikan kebenaran kenabiannya.

Lalu Allah juga menyebutkan, bahwa Nabi Isa Alaihis Salam, telah diberi wahyu dan diperkuat dengan ketinggian akhlak.

Allah juga menjelaskan, sikap bangsa Yahudi yang jika datang utusan Allah dengan membawa peraturan tidak sesuai kehendak hawa nafsu mereka.

Mereka akan bersikap sombong, congkak, terhadap utusan tersebut, yakni dengan berbuat sewenang-wenang dan keji di bumi.

Lantas, mendustakan sebagian rasul, seperti Nabi Isa dan Nabi Muhammad, sementara sebagian lagi mereka bunuh, seperti Nabi Zakaria dan Nabi Yahya.

Maka tidak heran, jika mereka tak percaya seruan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena membangkang dan mengingkari adalah tabiat [merasuk dalam jiwa mereka].

وَقَالُوا قُلُوبُنَا غُلْفٌ ۚ بَلْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَقَلِيلًا مَا يُؤْمِنُونَ

“Dan mereka berkata: ‘Hati kami tertutup’, tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka, karena keingkaran mereka; maka sedikit sekali mereka yang beriman,” (QS. Al-Baqarah: 88).

Orang-orang yang berkata demikian adalah mereka yang hidup saat turunnya ayat, dan sezaman dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Allah membantah perkataan mereka, karena persoalannya tidak seperti kata mereka.

Hati mereka diciptakan sesuai fitrah, diberi bakat untuk menanggapi segala sesuatu [yang dapat membuka hati mereka], dan menyampaikan kepada kebenaran [yang semestinya, mereka dapat menilai kebenaran kitab suci Al-Qur’an].

Namun, karena sikap mereka, maka Allah membiarkan mereka jauh dari rahmat-Nya.

Akibat kekafiran di hati mereka [terhadap para nabi yang telah lalu dan pada kitab-kitab yang tidak mereka amalkan ajarannya], bahkan juga karena mereka berani mengubah isi, menurut kehendak hawa nafsu.

Allah juga menyebutkan laknat yang patut mereka terima, serta alasan penimpaan laknat tersebut.

Agar mereka bisa memahami sebab musababnya, dengan disertai penjelasan, bahwa Allah, sekali-kali tidak menganiaya mereka.

Semua, semata-mata karena perbuatan mereka [terus bergelimang kekufuran, kemaksiatan] yang menyebabkan hati tertutup untuk menerima kebenaran.

Allah juga menjelaskan, mereka beriman [kepada kitab] hanya dengan iman yang sedikit sekali.

Sedang sebagian lainnya, mereka ubah, menurut kehendak hawa nafsu, sekaligus enggan mengamalkannya.

Dalam kata lain, mereka tak mau mengamalkan keseluruhannya, sekalipun yang mereka imani hanya sebatas lisan, tak terbukti dalam perbuatan.

Maka itu, iman yang ada dalam hati mereka, tidak mampu untuk mengendalikan kemauan. Hawa nafsu telah menyeret mereka ke lembah kekafiran.

بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ بَغْيًا أَنْ يُنَزِّلَ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلَىٰ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۖ فَبَاءُوا بِغَضَبٍ عَلَىٰ غَضَبٍ ۚ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Alangkah buruknya [hasil perbuatan] mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapat murka sesudah [mendapat] kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan,” (QS. Al-Baqarah: 90).

Allah menjelaskan, betapa buruknya perbuatan mereka, dan meng-ibaratkan seolah-olah mereka menjual diri sendiri.

Perbuatan tersebut berupa pengingkaran terhadap kitab yang Allah turunkan.

Sebenarnya, mereka telah mengetahui, yakni kitab yang membenarkan kitab Taurat yang ada pada mereka.

Dengan demikian, mereka membiarkan diri terjerumus dalam kekafiran, seolah-olah, menghancurkan diri mereka sendiri.

Sebagai akibat dari kedengkian, mereka mengingkari kenabian Muhammad, serta membenci jika Rasulullah menerima wahyu dari Allah.

Mereka tak senang, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, diangkat sebagai nabi.

Sebab, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keturunan Ismail.

Mereka berharap serta menunggu-nunggu kedatangan nabi [yang diangkat] dari keturunan Ishak.

Lalu, Allah menyebut, bahwa mereka akan mendapat kemurkaan berlipat ganda, melebihi yang sebelumnya harus mereka terima.

Penyebabnya, tak lain karena mereka membangkang terhadap Nabi Musa, juga mengingkari kerasulan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Allah juga menjelaskan akibat dari kekafiran mereka, yakni siksaan yang menyeret ke lembah kehinaan dan kenistaan, dunia pun akhirat.

Siksaan di dunia adalah berada dalam lembah kehinaan, serta terbelenggu rantai kenistaan.

Sedangkan siksaan di akhirat adalah kekal di dalam neraka Jahanam.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا نُؤْمِنُ بِمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُونَ بِمَا وَرَاءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَهُمْ ۗ قُلْ فَلِمَ تَقْتُلُونَ أَنْبِيَاءَ اللَّهِ مِنْ قَبْلُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Berimanlah kepada Al-Qur’an yang diturunkan Allah’, mereka berkata: ‘Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami’. Dan mereka kafir kepada Al-Qur’an yang diturunkan sesudahnya, sedang Al-Qur’an itu adalah [Kitab] yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: ‘Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman?’,” (QS. Al-Baqarah: 91).

Allah menjelaskan, saat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabatnya berkata kepada bangsa Yahudi [di Madinah dan sekitarnya] agar mereka percaya kepada Al-Qur’an [yang diturunkan Allah], mereka menjawab, bahwa mereka percaya kepada kitab [wahyu] yang diturunkan kepada nabi-nabi keturunan Bani Israil, yakni Taurat.

Mereka, selalu mengingkari kebenaran Al-Qur’an yang membenarkan kitab Taurat.

Padahal, jika mereka berterus terang, tentu, mereka akan mengakui bahwa Al-Qur’an itu benar. Tidak sedikit pun mengandung keraguan.

Setelahnya, Allah memerintahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, membantah alasan yang bangsa Yahudi sampaikan.

Dengan bantahan yang membuat mereka tak berdaya, yakni jika nenek moyang mereka benar-benar setia mengikuti Kitab yang Allah turunkan, maka tentu mereka tak membunuh nabi-nabi.

Artinya, jelas, mereka bukan pengikut Nabi Musa yang taat dan setia. Melainkan hanya penurut hawa nafsu.

Terlebih, mereka mengakui perbuatan nenek moyang sebagai perbuatan yang tak bertentangan dengan agama.

Berbuat ingkar, atau membolehkan seseorang untuk berbuat ingkar, hukumnya sama.

Allah, menyebut pembunuhan oleh nenek moyang bangsa Yahudi, dan menghubungkan perbuatan tersebut kepada mereka yang hidup di masa Nabi.

Dalam rangka menunjukkan, bahwa mereka adalah keturunan dari satu bangsa [dianggap sebagai satu kesatuan, karena karakter dan wataknya sama].

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاسْمَعُوا ۖ قَالُوا سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَأُشْرِبُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ ۚ قُلْ بِئْسَمَا يَأْمُرُكُمْ بِهِ إِيمَانُكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Dan [ingatlah], ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit [Thursina] di atasmu [seraya Kami berfirman]: ‘Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!’. Mereka menjawab: ‘Kami mendengar, tetapi tidak mentaati’. Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu [kecintaan menyembah] anak sapi, karena kekafirannya. Katakanlah: ‘Amat jahat perbuatan yang telah diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman [kepada Taurat],” (QS. Al-Baqarah: 93).

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengatakan kepada orang-orang Yahudi.

Agar mereka menerima perjanjian tersebut, serta memahami isinya, tetapi mereka tidak suka melaksanakan perjanjian itu, bahkan mengingkarinya.

Perintah Allah, katakanlah, mengandung makna ejekan terhadap orang-orang Yahudi yang hidup di masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Ejekan tersebut, tertuju kepada mereka, karena telah mengikuti jejak nenek moyang dalam mempersekutukan Tuhan.

Jika mereka masih mengaku benar-benar beriman kepada kitab Taurat, maka alangkah buruknya iman mereka.

Pasalnya, mereka tidak melakukan apa yang diperintahkan, tetapi justru menyimpang dari ketentuan-ketentuan Taurat.

Baik melakukan penyembahan terhadap anak sapi, serta membunuh para nabi, dan merusak perjanjian.

Berdasarkan bukti nyata dari perbuatan mereka, sulit untuk percaya adanya iman di lubuk hati mereka, karena sikap, perbuatan, sama sekali tidak mencerminkan.

Ayat sebelumnya dan ini juga menjadi sanggahan, terhadap pikiran orang-orang Yahudi yang enggan percaya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Begitu juga dugaan yang berlawanan dengan amal perbuatan mereka. Itu cukup menjadi bukti kekafiran.

قُلْ إِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْآخِرَةُ عِنْدَ اللَّهِ خَالِصَةً مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Katakanlah: ‘Jika kamu [menganggap bahwa] kampung akhirat [surga] itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian-[mu], jika kamu memang benar,” (QS. Al-Baqarah: 94).

Allah, memerintahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, agar menyampaikan kepada bangsa Yahudi, jika memang benar perkataan serta dugaan mereka, bahwa surga hanya untuk mereka, maka mintalah mati dengan segera.

Kenyataannya, mereka menginginkan kematian. Mereka justru mengejar dan berjuang untuk terus mendapat kenikmatan dunia.

Mengapa demikian? Jelas, karena ucapan mereka tidak benar.

وَلَنْ يَتَمَنَّوْهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ

“Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka [sendiri], dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya,” (QS. Al-Baqarah: 95).

Allah menjelaskan, bahwa mereka, sekali-kali tidak akan menginginkan kematian, karena telah mengetahui kesalahan serta dosa sendiri.

Mereka juga tahu, bahwa semestinya, mereka akan mendapat hukuman berat, karena dosa-dosa tersebut.

Seperti mengubah dan memalsukan kitab Taurat, mengingkari kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Padahal, dalam kitab Taurat, disebutkan tentang kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Allah tahu benar, bahwa mereka zalim. Allah Maha Mengetahui. Bahwa mereka, tidak melaksanakan hukum yang semestinya.

Mereka, tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya, seperti dugaan mereka bahwa akhirat itu hanya untuk mereka, bukan untuk yang lain.

وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَىٰ حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا ۚ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ

“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan,” (QS. Al-Baqarah: 96).

Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjelaskan, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, akan menjumpai orang-orang yang menginginkan kehidupan kekal di bumi.

Mereka, berusaha dengan cara apa pun, agar dapat hidup kekal.

Sebenarnya, mereka tak yakin akan dugaan serta sangkaan sendiri.

Meskipun dalam ayat, hanya tentang orang-orang yang hidup pada masa turunnya ayat, tetapi ketentuan berlaku sepanjang masa.

Bahkan, bangsa Yahudi adalah yang paling tamak di antara seluruh manusia, melebihi orang-orang musyrikin.

Sikap tersebut, mendapat celaan serta kemarahan yang besar dari Allah.

Sebab, orang-orang musyrik, tidak percaya adanya hari kebangkitan. Maka ketamakan mereka terhadap kenikmatan dunia, bukan hal aneh.

Sedangkan bangsa Yahudi, percaya pada Al-Kitab, dan mengakui adanya hari pembalasan.

Maka seharusnya, mereka tidak terlalu tamak terhadap kehidupan dunia.

tetapi mengapa mereka menginginkan hidup di dunia 1.000, atau lebih? Itu mengapa, pantas jika Allah marah dan menghukum mereka.

Panjang umur mereka di dunia, tidak dapat menolong pun menjauhkan mereka dari siksaan yang tersedia di akhirat.

Berapa pun umur mereka, juga akan berakhir. Maka tak akan dapat melepaskan mereka dari siksaan Tuhan.

Sebab, Allah Maha Mengetahui perbuatan-perbuatan mereka, baik yang tersembunyi, pun yang mereka lakukan secara terang-terangan.

Seluruh perbuatan yang timbul dari mereka, pasti diberi balasan. Setimpal.

وَلَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ ۖ وَمَا يَكْفُرُ بِهَا إِلَّا الْفَاسِقُونَ

“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik,” (QS. Al-Baqarah: 99).

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan, bahwa ayat-ayat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengandung kebenaran.

Pasalnya, antara teori-teori I’tiqadiyah-nya dengan dalil-dalilnya, terdapat keserasian.

Begitu juga antara hukum-hukumnya yang bersifat amali, dengan segi-segi kemanfaatan. Tidak perlu dalil lain untuk membuktikan kebenaran ayat-ayat tersebut.

Ia laksana cahaya yang menyinari segala sesuatu. Terang benderang dengan sendirinya. Tidak perlu apa pun untuk membantu kecerahannya.

Orang-orang yang telah dipancari kebenaran, tetapi lebih suka mencari kegelapan, penyebabnya tak lain karena hasad pada orang yang menampakkan hak, juga karena sifat congkak dan sombong yang timbul dari mereka.

وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ كِتَابَ اللَّهِ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa [kitab] yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi kitab [Taurat] melemparkan kitab Allah ke belakang [punggung]-nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui [bahwa itu adalah kitab Allah],” (QS. Al-Baqarah: 101).

Saat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, datang membawa kitab yang berisi keterangan-keterangan [membenarkan kitab Taurat yang ada pada mereka], mengandung pokok ajaran tauhid, dasar hukum, hikmah, serta berita tentang umat yang lalu, orang Yahudi mengenyampingkan ajaran kitab Taurat.

Padahal, dalam kitab Taurat tersebut juga telah di-isyaratkan, kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun, mereka memang tak lagi berpegang pada ajaran Taurat.

Artiinya, dengan mengenyampingkan Taurat dan mengingkarinya, bangsa Yahudi telah melemparkan kitab itu ke belakang mereka [sehingga tak dapat mengetahuinya lagi].

مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

“Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya [untuk diberi] rahmat-Nya [kenabian]; dan Allah mempunyai karunia yang besar,” (QS. Al-Baqarah: 105).

Para Ahli Kitab [orang-orang Yahudi, Nasrani, dan mereka yang musyrik] enggan percaya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Sebab, mereka iri hati, Allah memberi wahyu yang lebih baik kepada Rasulullah.

Mereka, sedikit pun tidak mau mengakui bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang paling banyak mengandung kebaikan [penuh hidayah].

Dengan Al-Qur’an, Allah menghimpun serta menyatukan umat, dan melenyapkan penyakit syirik yang bersarang di hati mereka, juga memberi beberapa prinsip [peraturan] hidup dan penghidupan mereka.

Orang-orang musyrik juga demikian. Setelah mereka melihat, bahwa kebenaran Al-Qur’an makin lama makin nampak, dan menjadi pendorong kuat bagi perjuangan Muslimin, mereka berusaha sekuat tenaga untuk menguasai keadaan.

Mereka juga terus berupaya menghancurkan perjuangan umat Islam, hingga lenyap.

Tetapi jelas, mereka tak akan bisa merealisasikan angan-angan tersebut, karena Allah, telah menentukan kehendak-Nya, memilih orang yang Ia kehendaki, semata-mata, karena rahmat-Nya.

Allah juga yang melimpahkan keutamaan bagi orang yang Ia pilih, untuk diberi kenabian.

Allah pula yang melimpahkan kebaikan serta keutamaan, sehingga seluruh hamba-Nya, bersenang-senang dalam kebahagiaan.

Maka tak seharusnya, seorang hamba Allah dengki kepada seseorang yang telah diberi kebaikan dan keutamaan, karena saluran kebaikan serta keutamaan itu datangnya hanya dari Allah.

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ ۖ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang [timbul] dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu,” (QS. Al-Baqarah: 109).

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan, bahwa sebagian besar Ahli Al-Kitab, selalu berangan-angan.

Mereka ingin membelokkan kaum Muslimin dari agama Tauhid, menjadi kafir, seperti mereka.

Setelah mereka tahu dengan nyata, bahwa apa yang Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bawa itu benar. Sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam kitab Taurat.

Ayat ini juga memperingatkan Muslim, agar waspada terhadap tipu muslihat para Ahli Kitab tersebut.

Adakalanya, mereka mengeruhkan ajaran Islam, adakalanya juga mereka menumbuhkan keragu-raguan di kalangan umat Islam sendiri.

Mereka melakukan tipu muslihat, karena dengki. Kedengkian mereka, bukan karena keragu-raguan terhadap kandungan isi Al-Qur’an.

Bukan juga karena didorong oleh kebenaran yang terdapat dalam kitab Taurat, tetapi karena dorongan hawa nafsu.

Kemerosotan mental serta kedongkolan hati mereka pun menjadi penyebabnya. Itulah mengapa, mereka terjerumus dalam lembah kesesatan, kebatilan.

Setelah itu, Allah memberi tuntunan kepada umat Islam, bagaimana caranya menghadapi tindak-tanduk mereka.

Allah menyuruh Muslim, menghadapi mereka dengan sopan santun, sekaligus memaafkan segala kesalahan mereka.

Allah juga melarang, agar jangan mencela mereka, hingga tiba saatnya, Allah memberikan perintah.

Sebab, Allah yang akan memberi bantuan kepada umat Islam, hingga dapat menentukan sikap dalam menghadapi tantangan mereka. Apakah harus diperangi, atau diusir.

Peristiwa ini telah terjadi. Umat Islam, memerangi Bani Quraizah dan Bani Nadir dari Medinah, setelah mereka merobek perjanjian.

Mereka memberi bantuan kepada orang-orang musyrikin, setelah mereka mendapat maaf berulang kali.

Lalu, Allah menegaskan–berjanji–bahwa Allah akan memberi bantuan kepada kaum Muslimin, dengan menyatakan, bahwa Ia berkuasa untuk memberikan kekuatan lain.

Allah berkuasa pula untuk memberikan ketetapan hati, agar umat Islam, tetap berpegang pada kebenaran.

Sehingga dapat mengalahkan orang-orang yang memusuhi umat Islam, secara terang-terangan serta menyombongkan kekuatan.

وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Dan mereka [Yahudi dan Nasrani] berkata: ‘Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang [yang beragama] Yahudi atau Nasrani’. Demikian itu [hanya] angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu adalah orang yang benar’,” (QS. Al-Baqarah: 111).

Ahli Kitab [Yahudi pun Nasrani] masing-masing menganggap, bahwa tidak akan masuk surga, kecuali golongan mereka.

Orang-orang Yahudi, beranggapan bahwa yang akan masuk surga, hanya bangsa mereka.

Demikian juga dengan orang-orang Nasrani. Mereka beranggapan, bahwa yang akan masuk surga, hanya golongan mereka.

Menolak sekaligus membatalkan anggapan tersebut, Allah memberi penegasan, bahwa anggapan mereka hanya angan-angan [timbul dari khayalan mereka].

Meski disebutkan secara global, makna angan-angan mereka, luas.

Mereka berharap terhindar dari siksa. Mereka menganggap yang bukan golongannya akan terjerumus ke dalam siksa, dan tidak mendapat sedikit pun nikmat.

Itu sebabnya, dalam ayat ini, angan-angan mereka berbentuk jamak. Terdapat pula isyarat, bahwa suatu pendapat yang tidak berdasarkan bukti-bukti yang benar, tidak boleh diterima.

وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَىٰ عَلَىٰ شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَىٰ لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَىٰ شَيْءٍ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ ۗ كَذَٰلِكَ قَالَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ ۚ فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ

“Dan orang-orang Yahudi berkata: ‘Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan’, dan orang-orang Nasrani berkata: ‘Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan’, padahal mereka [sama-sama] membaca Al Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari Kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya,” (QS. Al-Baqarah: 113).

Orang Yahudi beranggapan, bahwa orang-orang Nasrani tak punya sedikit pun pegangan.

Mereka mengingkari Almasih, padahal sudah membaca kitab Taurat [di dalamnya terdapat berita tentang kedatangan Nabi Isa].

Bangsa Yahudi juga memberi sebutan pada Almasih, dengan yang tidak sepantasnya.

Sementara Orang Nasrani juga beranggapan, bahwa orang-orang Yahudi, tidak sedikit pun punya pegangan agama yang benar.

Sebab, orang Yahudi telah mengingkari kenabian Almasih [yang bertindak sebagai penyempurna agama mereka].

Padahal, mereka telah membaca kitab. Seharusnya, tidak terjadi tuduh-menuduh seperti ini.

Artinya, mereka mengatakan sesuatu yang tak tercantum dalam kitab mereka.

Pasalnya, Taurat, memuat berita gembira tentang kedatangan Almasih [menyempurnakan peraturan-peraturan agama yang dibawa oleh Musa Alaihis Salam], bukan untuk membatalkan.

Namun, mengapa sampai terjadi orang Nasrani membatalkan sama sekali agama orang Yahudi?

Singkatnya, bisa dikatakan, bahwa agama mereka sebenarnya satu. Hanya karena ada bagian-bagian yang dibuang dari isi kitab tersebut, terjadilah tuduh-menuduh.

Dengan demikian, kitab yang mereka baca itu menjadi bukti kedustaan mereka.

Kata-kata mereka, juga bukan persoalan baru. Bahkan, bangsa sebelum mereka mengatakan sesuatu tanpa bukti-bukti yang kuat.

Seperti penganut wasaniah, paganisme [penyembah berhala] juga mengatakan pada agama lain, bahwa agama yang dianut orang itu tak mempunyai pegangan apa-apa.

Jika manusia bisa mengetahui yang sebenarnya, tentu tidak akan terjadi pertentangan yang bersifat prinsip.

Allah, kemudian menegaskan, bahwa Ia-lah yang Maha Mengetahui segala kebenaran serta kebatilan yang mereka perselisihkan.

Allah juga yang menentukan, mana yang benar, dan menempatkan orang-orang yang mencintai kebenaran itu dalam surga.

Sekaligus membatalkan mana yang batil, serta mengekalkan para pencinta dan pendukung kebatilan itu dalam neraka.

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk [yang benar]’. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu,” (QS. Al-Baqarah: 120).

Ayat ini menggambarkan betapa bangsa Yahudi menyembunyikan bukti kebenaran.

Mereka hanya menerima perkara-perkara atau kebenaran yang dapat memenuhi cita rasa atau hawa nafsu mereka.

Hati meraka telah tertutup akan Islam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, melaknatnya.

Penyebabnya tak lain karena kekufuran mereka sendiri. Mereka juga berpegang kuat pada rasa kebangsaan.

Sekaligus mengatakan, bahwa mereka adalah bangsa yang istimewa yang dipilih oleh Tuhan, serta menyakini agama selain Yahudi adalah salah.

Bangsa Yahudi, tidak suka, dengki, dan iri hati terhadap orang-orang Islam.

وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ تَهْتَدُوا ۗ قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Dan mereka berkata: ‘Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk’. Katakanlah: ‘Tidak, melainkan [kami mengikuti] agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah ia [Ibrahim] dari golongan orang musyrik’,” (QS. Al-Baqarah: 135).

Hanif berarti ‘lurus’, tidak cenderung kepada yang batil. ‘Agama yang hanif adalah agama yang benar [dapat mencapai jalan yang benar–jalan untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat].

Bahkan, agama yang belum dicampuri oleh sesuatu pun, dan tidak bergeser sedikit pun dari asalnya.

Ayat ini, seolah-olah menyuruh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengatakan, “Hai orang Yahudi, Nasrani, dan musyrik Mekah, kami tidak mengikuti agamamu.”

Tak ada petunjuk ke jalan yang benar di dalamnya, karena agama itu telah banyak dicampuri oleh tangan-tangan manusia.

Tetapi kami akan mengikuti agama Ibrahim yang kamu bangga-banggakan itu, karena di dalam agama itu memurnikan ketaatan hanya kepada Allah, dan karena agama itu belum dicampuri oleh tangan manusia, sedikit pun.

Disebut kaum Muslimin mengikuti agama Ibrahim yang hanif adalah untuk menyadarkan orang-orang Yahudi dan Nasrani dari perbuatan mereka.

Mereka menyatakan keturunan Ibrahim Alaihis Salam, tetapi mereka tidak bersikap, berbudi pekerti, dan berpikir seperti Ibrahim Alaihis Salam.

Mereka menyatakan pengikut agama Ibrahim, tetapi mereka telah mengubah, dan tak memeliharanya, sebagaimana Ibrahim Alaihis Salam.

Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa, Allah mengingatkan umat Muhammad, agar senantiasa waspada terhadap agama mereka.

Selalu berpedoman kepada Al-Qur′an dan sunah Nabi, dan jangan sekali-kali mengikuti hawa nafsu, sehingga berani mengubah, menambah, dan mengurangi agama Allah.

Dari perkataan, ‘Dan bukanlah ia [Ibrahim] dari golongan orang-orang musyrik’, dapat dipahami bahwa agama Ibrahim adalah agama Tauhid.

Agama yang mengakui keesaan dan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطَ كَانُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ ۗ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“…ataukah kamu [hai orang-orang Yahudi dan Nasrani] mengatakan bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?’ Katakanlah: ‘Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?’. Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan,” (QS. Al-Baqarah: 140).

Ayat ini menjelaskan, pengakuan lain dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, yakni semua nabi dan rasul, mengakui agama mereka.

Mereka melakukan segala macam upaya demi menguatkan serta membenarkan ucapan mereka, sekalipun usaha tersebut Allah larang.

Allah mengungkapkan, kesalahan orang Yahudi dan Nasrani, mengemukakan hujahnya dalam upaya membenarkan ucapan mereka.

Kesalahan tersebut adalah karena mereka mengatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya, memeluk agama Yahudi dan Nasrani.

Padahal, para nabi itu telah ada, sebelum agama Yahudi dan Nasrani ada.

Yahudi baru dikenal setelah Nabi Musa Alaihis Salam wafat, dan Nasrani timbul serta dikenal, setelah Nabi Isa Alaihis Salam meninggal.

Mengapa mereka mengatakan demikian, padahal perkataan itu tak sesuai kenyataan sejarah dan logika yang benar?

Apakah karena mereka lebih mengetahui, atau Allah yang lebih mengetahui?

Apakah perkataan tersebut sengaja mereka ucapkan, sekadar untuk membantah kerasulan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?

Maksud orang-orang Yahudi dan Nasrani mengucapkan perkataan demikian, dijelaskan kalimat berikutnya.

Demi menyembunyikan syahadah Allah. ‘Syahadah Allah’ adalah penyaksian Allah yang tersebut di dalam Taurat dan Injil.

Bahwa Ibrahim Alaihis Salam dan anak cucunya, bukan penganut agama Yahudi, dan bukan pula Nasrani.

Allah juga akan mengutus Muhammad, sebagai nabi dan rasul terakhir yang berasal dari keturunan Ismail Alaihis Salam.

Perkataan ‘menyembunyikan syahadah Allah’ itu termasuk perbuatan yang paling zalim di sisi Allah.

Sebab, perbuatan tersebut berakibat menyesatkan manusia dari jalan Allah–jalan kebenaran dan kebahagiaan.

Maka itu, Allah memperingatkan mereka, bahwa Allah tidak lengah sedikit pun terhadap segala macam perbuatan hamba-hamba-Nya.

Baik yang tampak pun tidak, baik yang besar pun kecil.

وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ ۚ وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ ۚ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ ۚ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang [Yahudi dan Nasrani] yang diberi Al Kitab [Taurat dan Injil], semua ayat [keterangan], mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu –kalau begitu –termasuk golongan orang-orang yang zalim,” (QS. Al-Baqarah: 145).

Orang yang berwatak demikian, tak bisa diharapkan untuk kembali kepada kebenaran.

Sebab, mereka akan tetap dalam kesesatan, meski telah diberi alasan serta keterangan dan bukti-bukti yang jelas. Maka itu, mereka tidak akan mau mengikuti kiblat umat Islam.

Terhadap sesama mereka pun, kaum Yahudi dan Nasrani, tetap mempertahankan kiblatnya masing-masing.

Jika kaum Muslimin mengikuti keinginan mereka, tentu, akan termasuk orang-orang yang menganiaya diri sendiri.

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ ۖ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Orang-orang [Yahudi dan Nasrani] yang telah Kami beri Al Kitab [Taurat dan Injil] mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui,” (QS. Al-Baqarah: 146).

Ayat ini menjelaskan betapa bangsa Yahudi menyembunyikan bukti kebenaran.

Mereka hanya menerima perkara-perkara atau kebenaran yang dapat memenuhi hawa nafsu mereka.

Hati meraka telah tertutup akan Islam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknatnya.

Di mana penyebabnya, tak lain karena kekufuran mereka sendiri.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’, mereka menjawab: ‘[Tidak], tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari [perbuatan] nenek moyang kami’. ‘[Apakah mereka akan mengikuti juga], walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?’,” (QS. Al-Baqarah: 170).

Sungguh aneh kemauan serta jalan pikiran pengikut setan. Jika dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah peraturan yang diturunkan Allah’, mereka menjawab, ‘Kami tidak akan mengikutinya; kami hanya akan mengikuti peraturan yang kami pusakai dari nenek moyang kami’.

Padahal, jelas bahwa peraturan-peraturan tersebut hanya dibuat menurut hawa nafsu.

Apakah mereka tidak bisa berpikir serta meneliti, sehingga dapat mengetahui bahwa peraturan-peraturan tersebut tidak berfaedah?

Apakah mereka juga akan mematuhi peraturan apa pun, meski nenek moyang yang membuat bodoh [tidak mengetahui apa pun] dan tidak pula dapat petunjuk dari Allah?

Ayat ini menyimpulkan, bahwa seorang Muslim, tidak boleh bertaklid buta kepada siapa pun, karena itu merupakan sifat para pengikut setan.

وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً ۚ صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

“Dan perumpamaan [orang-orang yang menyeru] orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka [oleh sebab itu] mereka tidak mengerti,” (QS. Al-Baqarah: 171).

Allah memberi perumpamaan bagi orang kafir [yang menerima semua yang diperintahkan pemimpin mereka dan apa yang dilakukan nenek moyang mereka, sehingga menolak ajaran Islam yang benar dan sesuai dengan akal pikiran], mereka seperti hewan piaraan.

Bila dipanggil oleh tuannya, ia datang, bila diusir, ia pergi, dan bila dilarang memasuki suatu padang rumput, ia menghindarinya.

Sedangkan ia sendiri, tak mengerti apalagi memikirkan, untuk apa dipanggil, diusir, dan mengapa tidak dibolehkan memasuki suatu tempat.

Demikian orang kafir itu, seakan-akan tidak bertelinga [tak dapat mendengar], tidak berlidah [tak dapat berbicara], dan tidak punya mata [tak dapat melihat dan memperhatikan].

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَىٰ مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ

“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah [atas kebenaran] isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras,” (QS. Al-Baqarah: 204).

Dengan ayat ini, Allah memberi tahu, bahwa orang seperti Al-Akhnas adalah pendusta.

Tidak dapat dipercaya. Ia adalah musuh Islam, dan penentang yang keras terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Al-Akhnas dan orang-orang munafik lainnya, ingin mengelabui dan melakukan makar terhadap manusia, dengan tiga cara.

  1. Berkata menarik, sehingga yang mendengar terpesona, terpengaruh, tidak sedikit pun ragu tentang kebenaran ucapannya.
  2. Bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk menunjukkan kebenarannya, seakan-akan bermaksud baik.
  3. Gigih dalam berdebat dan berhujjah menghadapi lawan penentangnya.

وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْإِثْمِ ۚ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ ۚ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ

“Dan apabila dikatakan kepadanya: ‘Bertakwalah kepada Allah’, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah [balasannya] neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya,” (QS. Al-Baqarah: 206).

Orang-orang yang moralnya telah rusak, jika diperingatkan dan dinasihati agar bertakwa kepada Allah dan meninggalkan sifat-sifat buruk, akan marah dan bangkit memperlihatkan kesombongan serta keangkuhannya.

Mereka akan menonjolkan sifat-sifat jahiliah dan watak setaniyahnya.

Dengan nasihat serta peringatan tadi, mereka justru merasa terhina, dan menganggap nasihat pun peringatan, tak pantas dan layak untuk mereka.

Sebab, mereka merasa tinggi pangkat dan keduduka. Mereka juga tidak segan untuk berbuat maksiat dan dosa.

Seseorang dengan sifat dan tabiat yang rusak, tentu, tidak akan senang kepada orang yang menasihatinya.

Pasalnya, ia merasa bahwa perbuatan buruknya itu terbungkus dengan kata-kata yang muluk.

Diselubungi dengan gerak-gerik yang menarik, orang telah mengetahui. Sehingga jika bisa, ia tidak segan menangkap, memukul, dan kalau perlu membunuh [orang yang tidak disenanginya].

Dalam hal ini, Umar bin al-Khattab, cukup menjadi teladan. Jika dikatakan kepada beliau, ‘Bertakwalah kepada Allah’, beliau meletakkan pipinya di tanah.

Sikap itu menunjukkan kesadarannya tentang kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan yang ada padanya.

Padahal, kita tahu bahwa beliau adalah seorang sahabat yang terkenal adil, terutama saat menjadi khalifah.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat Nabi, pernah berkata, “Cukup besar dosa seseorang, apabila dikatakan kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah’, lalu ia menjawab, ‘Cukup kamu menasihati dirimu sendiri, dan janganlah engkau mencoba mencampuri urusan pribadi orang lain’.”

سَلْ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَمْ آتَيْنَاهُمْ مِنْ آيَةٍ بَيِّنَةٍ ۗ وَمَنْ يُبَدِّلْ نِعْمَةَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Tanyakanlah kepada Bani Israil: ‘Berapa banyaknya tanda-tanda [kebenaran] yang nyata, yang telah Kami berikan kepada mereka’. Dan barangsiapa yang menukar nikmat Allah setelah datang nikmat itu kepadanya, maka sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya,” (QS. Al-Baqarah: 211).

Bani Israil, telah rusak karena pengaruh keduniaan. Sehingga tak sedikit dosa yang mereka lakukan. Tidak sedikit juga nikmat Allah yang mereka ingkari.

Maka itu, Allah memerintahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, menanyakan kepada mereka.

“Berapa banyak sudah ayat-ayat dan tanda-tanda kekuasaan Allah yang telah diperlihatkan kepada mereka?”

Pertanyaan tersebut bukan untuk dijawab, tetapi sebagai peringatan agar bisa diinsafi dan disadari.

Agar mereka taat kepada Allah, dan meninggalkan perbuatan jahat.

Allah, telah memperlihatkan kepada mereka, berbagai mukjizat yang terjadi pada nabi-nabi mereka [yang menunjukkan kebenaran ajaran-ajaran yang dibawanya itu].

Seperti tongkat Nabi Musa Alaihis Salam yang ketika dipukul ke batu, memancarkan dua belas mata air.

Awan yang menaungi mereka pada waktu panas ketika berjalan di padang pasir. Makanan yang berupa mann pun salwa, dan sebagainya.

Namun, mereka tetap keras kepala. Tak ada sedikit pun tanda, bahwa mereka akan sadar dan insaf.

Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, memberi satu peringatan keras, yakni barang siapa menukar nikmat Allah dengan kekafiran setelah nikmat itu datang kepadanya dan mengganti ayat-ayat-Nya, Allah akan membalas mereka dengan azab yang keras dan pedih.

Terutama di hari kemudian, dengan menjebloskan mereka ke dalam neraka Jahanam.

زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُونَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا ۘ وَالَّذِينَ اتَّقَوْا فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal, orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas,” (QS. Al-Baqarah: 212).

Menurut Abdullah bin Abbas, ayat ini diturunkan, berhubungan dengan Abu Jahal dan teman-temannya.

Sedang menurut Muqatil, ayat ini diturunkan berhubungan dengan orang-orang munafik, seperti Abdullah bin Ubay dan pengikut-pengikutnya.

Riwayat lain mengatakan, ayat ini diturunkan berhubungan dengan kaum Yahudi, tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpinnya, dari Bani Quraizah Bani Nadir dan Bani Qainuqa.

Mereka semua, selalu menghina kaum Muslimin.

Sudah menjadi tabiat yang melekat, terutama dalam hati orang kafir, yakni mencintai dunia, lebih dari segala-galanya.

Setan menggambarkan kepada mereka, kenikmatan dunia yang indah permai, dengan sehebat-hebatnya. Sampai seluruh perhatian tercurah pada dunia.

Mereka merebutnya mati-matian, mempertahankan dengan jiwa raga, tak peduli larangan agama, kesopanan, atau hukum-hukum Allah dan Rasul.

Banyak celaan mereka, tertuju kepada orang-orang mukmin, seperti Abdullah bin Mas’ud, Ammar bin Yasir, Suhaib, dan sebagainya.

Dengan sengaja, menghina dan merendahkan kedudukan mereka sembari berkata, “Muslimin itu suka menyiksa diri dan meninggalkan kesenangan dunia, mereka bersusah payah mengerjakan ibadah, menahan hawa nafsu dengan berpuasa, berzakat, dan mengeluarkan biaya yang besar untuk naik haji, dan lain sebagainya.”

Ejekan serta penghinaan kafir terhadap Muslimin, dijawab, bahwa orang yang bertakwa kepada Allah, di kemudian hari, jauh lebih tinggi martabat serta kedudukannya, daripada mereka.

Orang yang bertakwa, akan dimasukkan ke dalam surga.

Kafir membanggakan kesenangan dunia mereka, kekayaan bertumpuk, dan menghina orang yang beriman [yang umumnya miskin, tidak banyak yang kaya dibanding mereka].

Demi menjawab penghinaan tersebut, Allah menutup ayat ini dengan satu penegasan, bahwa sangkaan mereka tidak benar.

Allah memberi rezeki di dunia kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Baik kafir pun mukmin.

Bedanya, rezeki kafir adalah istidraj [menjerumuskan mereka dengan berangsur-angsur ke dalam siksa yang pedih yang akan ditemuinya. Siksa dan azab yang diterimanya di hari kemudian adalah karena mereka tidak mau sadar dan tak kembali ke jalan Allah, sekalipun dalam keadaan senang dan bercukupan.

Sedangkan rezeki mukmin adalah fitnah [cobaan, apakah ia mampu dan sanggup menggunakan serta memanfaatkannya untuk hal-hal yang Allah ridai].

Nanti, di akhirat, kafir akan meringkuk dalam neraka, merasakan siksaan dan azab yang amat pedih.

Sementara mukmin, dimasukkan ke dalam surga, diberi pahala berlipat ganda, tiada batasnya.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَىٰ إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلَّا تُقَاتِلُوا ۖ قَالُوا وَمَا لَنَا أَلَّا نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَأَبْنَائِنَا ۖ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ

“Apakah kamu tidak memerhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: ‘Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang [di bawah pimpinannya] di jalan Allah’. Nabi mereka menjawab: ‘Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang’. Mereka menjawab: ‘Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?’. Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim,” (QS. Al-Baqarah: 246).

Kisah pertama tentang Bani Israil pada ayat yang lalu, diuraikan secara umum. Dalam ayat ini, diuraikan secara terperinci.

Pada masa itu, menjadi kebiasaan bagi Bani Israil, persoalan kenegaraan, diatur oleh raja.

Sementara persoalan agama, dipimpin oleh seorang yang juga ditaati oleh raja sendiri.

Samuel [nabi mereka saat itu] yang mengetahui tabiat Bani Israil, saat mendengar usul mereka mengangkat seorang raja, timbul keraguan dalam hatinya tentang kesetiaan Bani Israil.

Sehingga beliau berkata, “Mungkin sekali jika kepada kamu nanti diwajibkan perang, kamu tidak mau berperang.”

Beliau sering menyaksikan sifat penakut di kalangan mereka. Mereka menjawab, “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah. Padahal telah cukup alasan yang mendorong kami untuk melaksanakan perang itu? Kami telah diusir dari kampung halaman kami dan anak-anak kami pun banyak yang ditawan oleh musuh.”

Mereka menyatakan, bahwa penderitaan mereka sudah cukup berat, sehingga tidak ada lagi jalan lain, kecuali kekerasan.

Ternyata benar apa yang diragukan oleh Samuel, yakni saat perang telah diwajibkan kepada Bani Israil, dan ia telah memilih seorang raja untuk memimpin mereka, banyak dari mereka yang berpaling, meninggalkan jihad di jalan Allah.

Hanya sedikit sekali yang tetap teguh memegang janjinya.

Allah mengetahui orang-orang yang tidak ikut berjihad itu, dan mereka dimasukkan dalam golongan orang-orang yang zalim.

Golongan yang menganiaya dirinya sendiri, karena enggan berjihad untuk membela hak serta menegakkan kebenaran.

Di dunia, mereka menjadi orang-orang yang terhina, dan di akhirat, mereka menjadi orang-orang yang celaka serta mendapat siksa.

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا ۚ قَالُوا أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ ۚ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ ۖ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu’. Mereka menjawab: ‘Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang ia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?’. Nabi [mereka] berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa’. Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui,” (QS. Al-Baqarah: 247).

Kepada Bani Israil, Samuel mengatakan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala, telah mengangkat Talut [dalam Bibel Saul] sebagai raja.

Orang-orang Bani Israil, tidak mau menerima Talut sebagai raja.

Dengan alasan, bahwa menurut tradisi, yang boleh dijadikan raja hanya dari kabilah Yehuda, sedangkan Talut, dari kabilah Bunyamin.

Lagi pula, kata mereka, disyaratkan yang boleh menjadi raja, harus hartawan, sedang Talut, bukan.

Maka itu, spontan, mereka menolak, “Bagaimana Talut akan memerintah kami, padahal kami lebih berhak untuk mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang ia pun tidak diberi kekayaan yang cukup untuk menjadi raja?”

Samuel menjawab, bahwa Talut diangkat menjadi raja, atas pilihan Allah, karena itu, Allah menganugerahkan kepadanya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa. Sehingga ia mampu memimpin Bani Israil.

Dari ayat ini, dapat dipetik pengertian, bahwa seorang yang akan dijadikan raja itu hendaklah:

  • Kuat fisik, sehingga mampu melaksanakan berbagai tugas sebagai kepala negara.
  • Menguasai ilmu pengetahuan yang luas, termasuk letak kekuatan dan kelemahan umat, sehingga bisa memimpin dengan bijaksana.
  • Memiliki kesehatan jasmani dan kecerdasan pikiran.
  • Bertakwa kepada Allah, agar mendapat taufik dan hidayah-Nya, untuk mengatasi segala kesulitan yang tidak mungkin ia atasi sendiri, kecuali dengan taufik dan hidayah-Nya.

Adapun harta kekayaan, tidak menjadi syarat untuk menjadi raja, karena jika keempat syarat telah terpenuhi, maka mudah baginya untuk mendapatkan harta yang diperlukan.

Sebab, Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.

فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ ۚ فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ ۚ فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ ۚ قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: ‘Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barang siapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku’. Kemudian mereka meminumnya, kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersamanya telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: ‘Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya’. Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar’,” (QS. Al-Baqarah: 249).

Tatkala raja Talut keluar membawa tentaranya berperang melawan orang-orang Amalik, beliau memberi petunjuk lebih dahulu tentang peristiwa-peristiwa yang akan dialami.

Bahwa mereka, nanti akan diuji oleh Allah, dengan sungai yang mengalir di padang pasir.

Beliau juga mengingatkan, bahwa sungai tersebut bukan sungai biasa, melainkan untuk menguji mereka, siapa yang teguh imannya, dan siapa yang akan tergoda.

Beliau berkata, “Siapa minum dari air sungai itu, maka bukanlah ia termasuk pengikutku, dan siapa yang tidak minum, maka ia adalah pengikutku, kecuali jika minum sekadar seciduk tangan saja.”

Diriwayatkan, bahwa ketika Bani Israil melihat Tabut telah kembali, mereka tak lagi ragu, bahwa mereka akan mendapat kemenangan.

Maka itu, mereka segera mempersiapkan tentara untuk berperang. Atas petunjuk raja Talut, yang boleh ikut perang hanya laki-laki, muda dan sehat [badannya].

Tidak diperkenankan seorang yang sedang membangun rumah, tetapi belum selesai.

Begitu juga seorang pedagang yang sedang sibuk mengurus perniagaannya.

Tidak juga laki-laki yang mempunyai utang. Termasuk pengantin yang belum berkumpul dengan istrinya.

Dengan demikian, raja Talut mengumpulkan 80.000 tentara [yang dapat diandalkan untuk berperang].

Waktu keberangkatan mereka adalah saat musim panas. Perjalanan juga sangat jauh [melalui padang pasir].

Maka mereka mohon, agar di tengah perjalanan, diberi kesempatan untuk minum dari sungai.

Sebagian besar tentara, tidak menghiraukan peringatan raja Talut.

Mereka minum sepuas hati, meski ada pula yang minum hanya seciduk tangan. Cuma sedikit yang tidak minum sama sekali.

Ketika raja Talut dan orang-orang yang beriman telah menyeberangi sungai untuk melangsungkan jihad fisabilillah.

Orang-orang yang telah minum pun berkata, “Kami tidak sanggup pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.”

Jalut adalah orang bertubuh besar, raja bagi orang-orang Amalik.

Ucapan tersebut, tidak menakutkan tentara Talut yang beriman dan berkeyakinan akan menemui Allah pada hari kiamat.

Dengan penuh keteguhan hati, mereka berkata, “Betapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak, dengan izin Allah. Sebab Allah menyertai orang-orang yang sabar dengan pertolongannya.”

An-Nisa’

Tiga ayat dalam Qur’an surah An-Nisa’ juga menjelaskan berbagai sifat buruk bangsa Yahudi.

مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَٰكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا

“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: ‘Kami mendengar’, tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan [mereka mengatakan pula]: ‘Dengarlah’, sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan [mereka mengatakan]: ‘Raa’ina’, dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: ‘Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami’, tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman, kecuali iman yang sangat tipis,” (QS. An-Nisa: 46).

Di antara Ahli Kitab yang tersebut di atas, ada juga yang mengubah berbagai kalimat pada kitab mereka.

Sekaligus memindahkannya dari tempat semula, ke tempat yang lain.

Sehingga kitab tersebut menjadi kacau, dan tak lagi bisa dijadikan pedoman.

Mereka menafsirkan, bahwa kedatangan Nabi Isa dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah tidak benar.

Mereka masih menunggu kedatangan Isa dan Muhammad yang diutus dari kalangan mereka.

Bangsa Yahudi juga berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Sami’na wa ‘asaina [kami mendengar ucapanmu, tetapi kami tidak akan taat kepada perintahmu].”

Mereka juga berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Isma’ gaira musma’in [dengarlah Muhammad, semoga engkau tidak dapat mendengar–tuli].”

Demikian juga mereka berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Ra’ina [kiranya engkau memperhatikan kami].”

Ketika para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi pun menggunakannya terhadap Rasulullah.

Padahal yang mereka maksud dengan Ra’ina itu adalah kebodohan yang sangat. Sebagai celaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Semua pemakaian kata-kata yang tak benar itu, mereka maksudkan untuk memutarbalikkan panggilan serta mencela agama.

Termasuk pemutaran lidah mereka terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, adalah jika mereka bertemu dengan Nabi, mereka mengucapkan, “As-sam [mudah-mudahan kamu mati].”

Nabi menjawab ucapan tersebut, “Alaikum [mudah-mudahan kamulah yang mati].”

Sekiranya orang-orang Yahudi, tidak mengucapkan berbagai kata buruk, tetapi mengganti ucapannya kepada Muhammad dengan “Sami’na wa ata’na wa isma’ wa unzurna [kami mendengarkan ucapanmu dan menaati segala perintahmu, dengarkanlah ucapan kami dan perhatikanlah kami]”, tentu, perkataan tersebut akan membawa akibat yang sangat baik bagi mereka.

Namun, karena kekafiran, mereka pun mendapat laknat dari Allah, dan mereka, tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis [tidak dapat membawa mereka pada kebahagiaan yang hakiki].

أَمْ لَهُمْ نَصِيبٌ مِنَ الْمُلْكِ فَإِذًا لَا يُؤْتُونَ النَّاسَ نَقِيرًا

“Ataukah ada bagi mereka bahagian dari kerajaan (kekuasaan)? Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikitpun (kebajikan) kepada manusia,” (QS. An-Nisa: 53).

Orang Yahudi tidak akan memperoleh kerajaan dan kekuasaan sesuai dengan yang mereka cita-citakan, seperti sebelum Islam datang.

Sebab, mereka telah banyak menganiaya, menempuh jalan yang sesat, dan tak lagi mengamalkan isi kitab Taurat, secara umum.

Kalaupun suatu saat mereka membina kerajaan dan memiliki kekuasaan, itu hanya bayangan [sifatnya sementara], dan kala itu, mereka tidak akan memberikan sedikit pun kebajikan kepada manusia.

فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ بِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ صَدَّ عَنْهُ ۚ وَكَفَىٰ بِجَهَنَّمَ سَعِيرًا

“Maka di antara mereka [orang-orang yang dengki itu], ada orang-orang yang beriman kepadanya, dan di antara mereka ada orang-orang yang menghalangi [manusia] dari beriman kepadanya. Dan cukuplah [bagi mereka] Jahannam yang menyala-nyala apinya,” (QS. An-Nisa: 55).

Anugerah kenabian dan kekuasaan kepada nabi-Nya terdahulu, seperti Nabi Ibrahim dan keluarganya, menjadikan umat terbagi dua.

Sebagian percaya kepada nabi-Nya, dan sebagian lagi tetap di dalam kekafirannya. Bahkan, menghalangi orang lain beriman.

Begitu juga halnya dengan umat sekarang. Ada yang beriman, ada juga yang ingkar.

Maka ketahuilah, sekalipun ingkar di dunia terlihat aman dan tenteram, tetapi di akhirat, mereka akan merasakan pedihnya api yang menyala-nyala.

Sebab, mereka mengutamakan perbuatan batil dan sesat, serta tidak mengikuti yang hak dan benar [yang dibawa oleh nabi-Nya].

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas [memakan makanan] yang baik-baik [yang dahulunya] dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi [manusia] dari jalan Allah,” (QS. An-Nisa: 160).

Bilamana orang-orang Yahudi, berbuat dosa atau pelanggaran berat, seperti penyembahan terhadap patung anak sapi, lalu mereka bertobat, maka walaupun tobatnya diterima, tetapi akibat pelanggaran tersebut, Allah mengharamkan kepada mereka beberapa makanan yang baik [yang dahulunya halal bagi mereka].

Mereka juga tidak mengakui, bahwa berbagai makanan yang baik itu diharamkan, sebagai akibat dari dosa-dosa mereka.

Bahkan, mereka mengatakan, bahwa makanan-makanan tersebut telah lebih dahulu diharamkan, yakni sejak Nabi Nuh, Nabi Ibrahim dan nabi-nabi yang datang kemudian.

Padahal, diharamkan makanan yang baik itu kepada Bani Israil, karena mereka menghalangi manusia dari jalan Allah.

Begitu juga lantaran mereka menganjurkan kejahatan serta kemungkaran, dan melarang berbuat kebajikan pun menyembunyikan sifat-sifat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang ada dalam kitab-kitab mereka.

Al-Ma’idah

Tiga ayat dalam Qur’an surah Al-Ma’idah juga menjelaskan berbagai sifat buruk bangsa Yahudi.

وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَىٰ نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ ۚ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوبِكُمْ ۖ بَلْ أَنْتُمْ بَشَرٌ مِمَّنْ خَلَقَ ۚ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا ۖ وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: ‘Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya’. Katakanlah: ‘Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?’. [Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya], tetapi kamu adalah manusia [biasa] di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Ia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali [segala sesuatu],” (QS. Al-Ma’idah: 18).

Menurut riwayat Ibnu Ishak, Ibnu Abbas menceritakan, bahwa Rasulullah datang kepada Nu’man bin Ada’, Bahri bin ‘Amar, dan Syas bin ‘Adi.

Setelah terjadi pembicaraan di antara Rasulullah dengan mereka, akhirnya Rasulullah, mengajak mereka masuk Islam, serta mengingatkan mereka dengan siksa Allah.

Mereka berkata, “Janganlah engkau menakuti kami hai Muhammad: Demi Allah, kami adalah putra-putra Allah, dan kekasih-Nya”, maka turunlah ayat ini.

Allah pun membantah perkataan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu.

“Katakanlah hai Muhammad kepada mereka: kalau benar kamu putra-putra Allah dan kekasih-Nya yang memiliki keistimewaan khusus lebih dari yang lain-lain, sebagaimana yang kamu sangka, mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu di dunia sebagaimana yang telah banyak kamu derita, baik mengenai tempat kamu beribadah, negeri kamu, maupun kerajaan kamu, dan lain-lain, sebab ayah tidak akan menyiksa anak-anaknya, dan tidak akan menyiksa kekasihnya.

Maka itu, kamu bukanlah putra-putra Allah, dan bukan juga kekasih-Nya yang memiliki keistimewaan, sebagaimana yang kamu sangka.

Kamu adalah manusia biasa. Hamba Allah, seperti manusia lainnya. Allah akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya, bagi siapa yang berhak diampuni.

Allah menyiksa orang-orang yang berhak disiksa, sesuai dengan kehendak-Nya, karena Allah-lah yang memiliki kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.”

Baca Juga: Janji Allah pada Bangsa Yahudi

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ ۛ وَمِنَ الَّذِينَ هَادُوا ۛ سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُونَ لِقَوْمٍ آخَرِينَ لَمْ يَأْتُوكَ ۖ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ مِنْ بَعْدِ مَوَاضِعِهِ ۖ يَقُولُونَ إِنْ أُوتِيتُمْ هَٰذَا فَخُذُوهُ وَإِنْ لَمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوا ۚ وَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ ۚ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Hari Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera [memperlihatkan] kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: ‘Kami telah beriman’, padahal hati mereka belum beriman; dan [juga] di antara orang-orang Yahudi. [Orang-orang Yahudi itu] amat suka mendengar [berita-berita] bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merubah perkataan-perkataan [Taurat] dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: ‘Jika diberikan ini [yang sudah di ubah-ubah oleh mereka] kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah’. Barang siapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun [yang datang] daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka memperoleh kehinaan di dunia dan akhirat, mereka memperoleh siksaan yang besar,” (QS. Al-Ma’idah: 41).

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Rasul-Nya, agar jangan merasa sedih dan cemas karena perbuatan orang-orang munafik [yang memperlihatkan kekafirannya dan menampakkan permusuhannya].

Sebab, pada waktunya, Allah akan melindungi beliau dari perbuatan jahat mereka, dan memenangkannya atas mereka serta segenap pembantu dan pendukung mereka.

Ada di antara mereka yang mengaku beriman dengan ucapan, tetapi hati mereka tetap ingkar dan tidak beriman; begitu juga halnya sebagian dari orang-orang Yahudi.

Mereka sangat senang mendengar perkataan dari para cendekiawan dan pendeta.

Begitu pula orang-orang yang benci kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tidak pernah bertemu dengan beliau.

Terutama mendengar ceramah-ceramah serta berita-berita bohong yang telah dipalsukan untuk menjelek-jelekkan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan melemahkan semangat kaum Muslimin, agar meninggalkan ajaran-ajarannya.

Mereka juga tak segan-segan mengubah isi kitab Taurat. Memindahkan kalimat-kalimatnya, sehingga tempat di depan, diletakkan di belakang, dan sebaliknya.

Pengertiannya diselewengkan dan sebagainya; seperti mengganti hukuman rajam bagi orang yang berzina, dengan hukuman dera dan menghitamkan muka.

Mereka berkata kepada utusan mereka sendiri yang ditugaskan pergi kepada Bani Quraizah untuk meminta agar mereka menanyakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hukuman terhadap dua orang pemuka yang telah berzina dan pernah kawin.

Mereka berpesan sebagai berikut, “Kalau Muhammad menjawab bahwa hukumannya adalah dera dan menghitamkan muka, maka terima dan ambillah fatwanya itu.”

“Tetapi kalau ia menjawab dengan selain daripada itu, dan menegaskan bahwa hukumannya adalah rajam, maka hindarilah ia dan jangan diterima.”

Orang-orang yang Allah kehendaki dalam kesesatan, karena perbuatannya yang keterlaluan, maka tidak ada suatu petunjuk pun yang dapat mereka terima.

Meskipun petunjuk itu datangnya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Allah, tidak akan menyucikan hati orang munafik dan orang-orang Yahudi, karena mereka berpegang teguh, serta enggan bergeser sedikit pun dari kekafiran dan kesesatannya.

Di dunia, orang-orang munafik mendapat kehinaan dan merasa malu karena kemunafikannya terungkap [diketahui orang-orang Islam].

Mereka juga memperoleh kehinaan, karena perbuatan jahatnya dapat diketahui [menyembunyikan isi kitab Taurat, misalnya hukuman rajam].

Sementara di akhirat, mereka mendapat siksaan yang besar [terus-menerus, tidak berkesudahan], dan tidak akan dikeluarkan dari neraka, sepanjang masa.

لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا ۖ وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ

“Sesungguhnya, kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya kami ini orang Nasrani’. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu [orang-orang Nasrani] terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, [juga] karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri,” (QS. Al-Ma’idah: 82).

Pada ayat ini, Allah memberi tahu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa dalam perjuangannya, akan menemukan manusia yang paling memusuhi serta menyakiti orang-orang mukmin.

Manusia tersebut adalah Yahudi Medinah, musyrik Arab, dan kalangan penyembah berhala.

Orang Yahudi dan musyrik Arab, sama-sama menentang ajaran Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Persamaan itulah yang mengikat kedua golongan tersebut, meski masing-masingnya punya sifat kepribadian yang berlawanan.

Ayat ini juga memberi tahu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa ia akan mendapatkan manusia yang paling dekat dan menyukai orang-orang mukmin.

Manusia itu adalah orang-orang Nasrani. Sebabnya, di antara mereka ada golongan yang memperhatikan pelajaran agama dan budi pekerti.

Mereka adalah golongan biarawan yang anti terhadap kemewahan duniawi, bertakwa, dan banyak bersemadi untuk beribadah.

Tentu, kedua golongan ini merupakan orang-orang yang bersifat tawaduk [rendah hati], karena agama mereka mengajak mencintai musuh, dan memberikan pipi kiri kepada orang yang memukul pipi kanan.

Bukti kebaikan orang-orang Nasrani itu tercatat dalam sejarah, yakni sambutan Raja Habasyah [Abisinia] yang disebut Najasyi yang memeluk agama Nasrani.

Ia beserta para sahabatnya, melindungi Muslimin yang pertama kali hijrah dari Mekah ke Habasyah [karena takut dari gangguan dan fitnahan yang dilakukan oleh kaum musyrik Arab, secara kejam].

Raja Romawi Timur di Syam yakni Heraklius, saat menerima surat Nabi Muhammad, menyambutnya dengan sambutan baik.

Ia berusaha menjelaskan kepada rakyatnya, agar dapat menerima ajakan Nabi Muhammad, meski rakyat belum sependapat dengannya [karena berpegang dengan kefanatikan].

Mukaukis yang menguasai Mesir juga menyambut surat Nabi dengan sambutan yang baik.

Meskipun ia, belum bersedia untuk menerima ajakan Nabi kepada Islam, tetapi menjawab surat Nabi dan mengirim hadiah berharga.

Antara lain berupa seorang jariah yang bernama Mariah al-Qibtiyah. Demikian sambutan orang Nasrani pada masa Nabi.

Berlawanan sekali dengan bangsa Yahudi yang meskipun secara terpaksa menyatakan sikap simpatik terhadap orang-orang mukmin, hati mereka menyembunyikan tipu daya.

Mereka hendak memperdayakan orang-orang mukmin, karena berbagai ajaran pemimpin-pemimpin Yahudi, menanamkan pada mereka.

Fanatisme kebangsaan, dan pendirian, bahwa Bani Israil merupakan satu-satunya bangsa yang Allah pilih.

Ali ‘Imran

Al-Qur’an surah Ali ‘Imran juga menjelaskan berbagai sifat buruk bangsa Yahudi.

هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الْأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. Tak ada Tuhan [yang berhak disembah] melainkan Ia, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana,” (QS. Ali ‘Imran: 6).

Dengan kodrat-Nya, Allah menjadikan manusia bermacam-macam bentuk, setelah melalui berbagai proses.

Sejak dari sel mani, menerobos ke dalam rahim, kemudian menjadi sesuatu yang melekat pada dinding rahim.

Dari sesuatu yang melekat itu, menjadi segumpal daging, akhirnya berbentuk manusia, dan lahir ke dunia.

Semuanya itu Allah jadikan, sesuai dengan sunah [hukum] dan ilmu-Nya.

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ إِلَّا أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۖ وَغَرَّهُمْ فِي دِينِهِمْ مَا كَانُوا يَفْتَرُونَ

“Hal itu adalah karena mereka mengaku: ‘Kami tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali beberapa hari yang dapat dihitung’. Mereka diperdayakan dalam agama mereka oleh apa yang selalu mereka ada-adakan,” (QS. Ali ‘Imran: 24).

Ayat ini menjelaskan, alasan pun sebab yang mendorong orang Yahudi, menentang serta berpaling dari kebenaran.

Mereka menggenggam paham [melekat dalam iktikad] bahwa mereka tidak akan diazab api neraka, kecuali beberapa hari saja.

Anggapan tersebut meresap dalam jiwa, hingga akhirnya membentuk sikap dan mental mereka.

Mereka juga menganggap enteng hukuman yang akan menimpa, karena merasa punya hubungan darah dengan para nabi.

Mereka pun menganggap, akan selamat dari siksa api neraka, asal tetap beragama Yahudi.

Jadi, menurut paham mereka, hubungan keturunan dengan nabi, sekaligus tetap tercatat sebagai penganut agama Yahudi, sudah menjamin untuk masuk surga.

Padahal, barang siapa menganggap enteng ancaman Allah [karena percaya bahwa azab itu tidak akan turun menimpanya] sama artinya meremehkan perintah Allah dan larangan-Nya.

Demikian keadaan suatu umat, saat mereka mulai meninggalkan agamanya, tak segan lagi melakukan kejahatan.

Gejala membelakangi agama ini nampak pada orang-orang Yahudi, Nasrani, dan juga di kalangan orang Muslim.

Orang Yahudi mengira, bahwa mereka, jika masuk neraka, hanya diazab dalam ‘beberapa hari yang dapat dihitung’, yakni 40 hari.

Jumlahnya sama dengan hari yang mereka gunakan untuk menyembah anak sapi.

Padahal, tidak ada keterangan yang bisa dipercaya untuk menegaskan kapan hari yang dimaksud, kecuali anggapan kosong bangsa Yahudi.

Segala kebohongan mereka, telah menipu pihaknya sendiri dalam beragama, seperti, “Kami adalah anak-anak Tuhan dan kekasih-Nya.”

Mereka juga berkata, “Sesungguhnya nenek moyang kami para nabi yang akan memberikan syafaat kepada kami”, dan “Sesungguhnya Allah telah berjanji kepada Yakub, tidak akan mengazab anak-anak keturunannya, kecuali hanya dalam tempo yang pendek.”

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَأَنْتُمْ تَشْهَدُونَ

“Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah, padahal kamu mengetahui [kebenarannya],” (QS. Ali ‘Imran: 70).

Allah mencela para Ahli Kitab yang mengingkari ayat-ayat Allah; padahal mereka tahu, dalam kitab mereka sendiri, kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Lalu, Allah Subhanahu wa Ta’ala, menandaskan bahwa mereka, tidak saja telah mengetahui bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan datang.

Bahkan, sifat-sifatnya pun telah mereka ketahui. Maka seharusnya, mereka mengakui kenabian Muhammad.

Namun, karena sifat dengki yang mencekam jiwa, mereka terjerumus ke lembah kehinaan.

Mereka tak lagi bisa melihat pancaran kebenaran, sehingga terombang-ambing dalam kesesatan.

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَلْبِسُونَ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya?” (QS. Ali ‘Imran: 71).

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Ibnu ‘Abbas ia berkata bahwa ‘Abdullah bin as-Saif, ‘Adi bin Zaid dan Haris bin ‘Auf bercakap-cakap sesama mereka.

“Marilah kita mempercayai kitab yang diturunkan kepada Rasulullah dan sahabat-sahabatnya di waktu pagi hari. Kemudian kita mengingkarinya di waktu petang, sehingga kita dapat mengacaukan mereka, semoga mereka berbuat sebagaimana yang kita lakukan, sehingga mereka kembali kepada agama mereka semula.” Lalu, turunlah ayat 71-73 QS. Ali ‘Imran.

Allah, mencela Ahli Kitab, karena mereka mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan.

[Kebenaran yang dimaksud dalam ayat ini adalah kebenaran yang dibawa oleh para nabi yang termuat dalam kitab mereka yaitu tauhid, serta berita gembira akan datangnya Nabi Muhammad yang bertugas seperti nabi-nabi sebelumnya yang akan mengajarkan Kitab dan hikmah kepada seluruh manusia].

[Kebatilan yang dimaksud dalam ayat ini adalah segala tipu daya yang dibuat oleh para pendeta dan pemimpin terkemuka Ahli Kitab dengan jalan menakwilkan ayat-ayat Tuhan dengan takwilan yang batil dan yang jauh dari kebenaran. Penakwilan yang begitulah yang dianggap mereka sebagai agama yang wajib diikuti. Perbuatan mereka itu juga dicela].

Jelas, bahwa yang dimaksud dengan mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil adalah tipu daya Ahli Kitab.

Mereka menakwilkan ayat-ayat Allah, dan mengatakan bahwa penakwilan tersebut datang dari Allah.

Sementara berita gembira tentang kedatangan Nabi Muhammad, justru mereka sembunyikan.

Sederet hal yang menunjukkan, bahwa mereka melakukan perbuatan itu bukan karena kealpaan atau karena tidak tahu [melainkan karena ingkar dan hasad yang telah bersarang di dalam dada].

وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ آمِنُوا بِالَّذِي أُنْزِلَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوا آخِرَهُ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Segolongan [lain] dari Ahli Kitab berkata [kepada sesamanya]: ‘Perlihatkanlah [seolah-olah] kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman [sahabat-sahabat Rasul] pada permulaan siang, dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka [orang-orang mukmin] kembali [kepada kekafiran],” (QS. Ali ‘Imran: 72).

Ada juga golongan Ahli Kitab yang mengajak kawan-kawannya berpura-pura beriman kepada Al-Qur’an, di pagi hari.

Lalu, mereka mengingkarinya di waktu sore, agar menimbulkan kesan di hati Muslim, jika agama Islam itu benar, tentu orang-orang Yahudi yang baru masuk Islam tadi, tidak akan kembali murtad.

Sikap ini, tak lain hanya tipu daya mereka untuk memengaruhi Muslim, agar kembali kepada kekafiran.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Imam Mujahid, ia berkata bahwa, segolongan orang Yahudi sholat Subuh bersama Nabi, kemudian mereka kafir pada petang hari.

Bukan hal aneh jika mereka melakukan tipu daya serupa, karena mengetahui bahwa di antara tanda-tanda kebenaran adalah apabila seseorang telah mengetahui sesuatu itu benar, tentu ia tak akan meninggalkannya.

Hal ini dapat dipahami dari pernyataan Kaisar Rumawi Heraklius kepada Abu Sufyan saat menanyakan tentang keadaan Muhammad [ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyeru Heraklius dengan suratnya untuk masuk Islam].

“Adakah orang yang keluar dari agamanya setelah ia memeluknya?”, Abu Sufyan menjawab, “Tidak ada.”

Ayat ini memperingatkan Nabi Muhammad akan tipu daya Ahli Kitab, sekaligus memberi tahu siasat mereka.

Agar tipu daya itu tidak memengaruhi hati mukmin yang masih lemah. Dengan demikian, peringatan juga dapat menggagalkan upaya mereka.

Pasalnya, jika latar belakang tipu daya telah terbongkar, tentu usaha mereka akan sia-sia.

Ayat ini sebagai mukjizat bagi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena mengandung berita gaib yang membukakan niat busuk orang Yahudi.

وَمِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِقِنْطَارٍ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لَا يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ إِلَّا مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا ۗ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لَيْسَ عَلَيْنَا فِي الْأُمِّيِّينَ سَبِيلٌ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Di antara Ahli kitab ada orang yang jika kamu memercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu memercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: ‘Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi’. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui,” (QS. Ali ‘Imran: 75).

Ayat ini menjelaskan, bahwa di antara Ahli Kitab itu terdapat sekelompok manusia yang jika mendapat kepercayaan [diserahi harta yang banyak pun sedikit] mereka mengembalikannya [sesuai dengan kepercayaan yang diberikan].

Namun, ada juga di antara mereka yang jika mendapat kepercayaan [diserahi sejumlah harta sedikit saja] mereka tidak mau mengembalikan, kecuali ditagih [baru mereka menyerahkannya, setelah melalui proses pembuktian].

Hal ini menunjukkan, bahwa di antara Ahli Kitab itu ada sekelompok orang yang pekerjaannya mempersulit Muslimin.

Mereka membuat tipu daya, agar orang Islam tidak senang memeluk agamanya, dan berbalik untuk mengikuti agama mereka.

Di antara mereka juga ada sekelompok orang yang pekerjaannya memutarbalikkan hukum.

Bagi mereka, halal memakan harta orang lain dengan alasan bahwa: Kitab Taurat melarang mengkhianati amanat terhadap saudara-saudara mereka seagama.

Kalau pengkhianatan tersebut dilakukan terhadap bangsa lain, mereka membolehkannya

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa Ahli Kitab terbagi menjadi dua golongan:

  1. Ahli Kitab yang betul-betul berpegang pada kitab Taurat [bisa dipercaya]. Sebagai contoh Abdullah bin Salam [dititipi harta oleh Quraisy dalam jumlah besar kemudian harta itu dikembalikannya].
  2. Ahli Kitab yang tidak dapat dipercaya [karena jika dititipi harta, meski sedikit, mereka mengingkari dan tidak mau mengembalikannya lagi, kecuali terbukti dengan keterangan yang masuk akal atau apabila melalui proses pembuktian di muka pengadilan]. Sebagai contoh Ka’ab bin al-Asyraf [dititipi uang satu dinar oleh Quraisy, kemudian dia mengingkari titipan itu].

Beberapa sebab mereka melakukan hal tersebut adalah karena mereka beranggapan, tidak berdosa jika tak menunaikan amanat terhadap seorang Muslim.

Mereka juga beranggapan, bahwa tidak ada ancaman pun dosa, apabila memakan harta seorang Muslim dengan jalan yang batil.

Ringkasnya, mereka berpendapat, setiap orang, selain bangsa Yahudi, tidak akan diperhatikan Allah, bahkan mereka mendapat murka dari Allah.

Maka itu, harta mereka tidak akan mendapat perlindungan, dan mengambil harta mereka, dianggap tidak berdosa.

Jelas, anggapan serupa ini termasuk pengingkaran, penipuan, dan penghinaan terhadap agama.

Sebab, mereka tahu dan sadar bahwa mereka sengaja berdusta dalam hal ini, karena dalam kitab Taurat, tidak ada ketentuan sedikit pun yang membolehkan untuk menghianati orang Arab, dan memakan harta orang Islam secara tidak sah.

Mereka, sebenarnya telah mengetahui hal itu, tetapi tidak berpegang kepada kitab Taurat.

Mereka cenderung bertaklid kepada perkataan pemimpin agama, serta menganggapnya sebagai ketentuan wajib untuk diikuti.

Padahal, para pemimpin mereka mengemukakan pendapat [mengenai hal-hal yang bersangkut paut dengan agama] hanya dengan penakwilan akal dan selera.

Mereka juga tak segan-segan mengubah susunan kalimat asli Taurat, demi memperkuat pendapatnya.

Mereka pun mempertahankan pendapat tersebut dengan mencari-cari alasan yang bisa menguatkannya.

بَلَىٰ مَنْ أَوْفَىٰ بِعَهْدِهِ وَاتَّقَىٰ فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

“[Bukan demikian], sebenarnya siapa yang menepati janji [yang dibuat]-nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa,” (QS. Ali ‘Imran: 76).

Bani Israil yang mengatakan bahwa tidak ada dosa bagi mereka, jika mereka melakukan kejahatan terhadap Muslim, disangkal.

Allah menegaskan, agar setiap orang selalu menepati apa pun janji, serta menunaikan amanah yang dipercayakan kepadanya.

Jika ada orang yang meminjamkan hartanya [dengan penetapan waktu], atau ada orang yang menjual barang [yang telah ditetapkan], pun orang menitipkan barang, hendaklah ditepati [ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama].

Berikan harta orang tersebut tepat pada waktu, tanpa menunggu tagihan atau sampai muncul persoalan yang dibawa ke pengadilan. Demikian ketentuan syariat.

Ayat ini juga mengandung satu peringatan, bahwa orang Yahudi, tidak mau menepati janji, semata-mata karena janjinya.

Namun, mereka melihat dengan siapa mereka berjanji. Jika dengan Bani Israil, mereka memandang wajib memenuhi, tetapi jika dengan selain Bani Israil, tidak demikian.

Allah, menyebutkan pahala orang yang menepati janjinya untuk memberi pengertian, bahwa menepati janji termasuk perbuatan yang Ia ridai.

Orang yang menepati janji juga akan mendapat rahmat Allah, di dunia dan di akhirat.

Ayat ini juga menjelaskan, bahwa prinsip agama [menepati janji dan tidak mengingkarinya, serta memelihara diri dari berbuat maksiat] adalah perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah, serta patut mendapat limpahan kasih sayang-Nya.

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab, dan mereka mengatakan: ‘Ia [yang dibaca itu datang] dari sisi Allah’, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui,” (QS. Ali ‘Imran: 78).

Sekelompok Ahli Kitab [segolongan dari pendeta-pendeta] mengubah ayat-ayat kitab [Taurat] dengan menambah lafaznya, atau menukar letak.

Mereka juga menghapus sebagian dari lafaz-lafaz tersebut, sehingga berubah juga pengertiannya yang asli.

Mereka, membaca ayat-ayat yang telah mereka ubah, sebagai pembacaan ayat al-Kitab.

Agar para pendengar mengira, apa yang dibaca itu benar-benar ayat al-Kitab. Padahal, bukan datang dari Allah, tetapi buatan mereka sendiri.

Mereka tahu perbuatan itu salah, tetapi tetap dilakukan [karena sifat ketakwaan mereka kepada Allah telah lenyap].

Mereka percaya bahwa Allah, akan mengampuni apa saja dosa yang mereka kerjakan, karena mereka orang yang beragama.

Perbuatan orang Yahudi yang sangat keji ini, dapat menjadi pelajaran bagi umat Islam.

Agar jangan sampai ada di antara umat Islam, berlaku demikian. Jangan sampai ada yang beritikad bahwa orang Islam itu pasti mendapat ampunan dari Allah [betapa pun besarnya dosa yang mereka lakukan].

Jangan juga ada di antara orang yang mengaku beragama Islam, tetapi perbuatannya kafir dan munafik.

Tidak mau mengerjakan ajaran Al-Qur’an dan sunah Rasul, dan tidak juga berkeyakinan sesuai dengan kepercayaan Muslimin.

فَمَنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Maka barang siapa mengada-adakan dusta terhadap Allah sesudah itu, maka merekalah orang-orang yang zalim,” (QS. Ali ‘Imran: 94).

Jika orang-orang Yahudi itu masih berani mengada-adakan kebohongan terhadap Allah, padahal kedok mereka sudah terbuka dan segala alasan yang mereka kemukakan telah nyata kebohongannya, dan Nabi Muhammad dengan bantuan wahyu dari Tuhannya telah mengetahui sebagian dari isi kitab mereka, maka pastilah mereka termasuk orang-orang yang zalim.

Mereka bukan cuma zalim ke diri sendiri [karena tidak akan dipercayai lagi dan akan menerima hukuman dan siksaan Allah].

Namun, mereka juga zalim terhadap orang lain [karena dengan kejahatan itu mereka menyesatkan umat dari jalan yang benar dan menghalangi manusia, terutama para pengikut mereka untuk beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, pembawa kebenaran dan sebagai rahmat bagi manusia seluruhnya].

Setiap orang yang berbuat demikian, akan menemui kegagalan, menerima nasib buruk, dicap sebagai pembuat onar dan kekacauan, serta dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tak lepas dari siksa di akhirat.

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik,” (QS. Ali ‘Imran: 110).

Ayat ini mendorongan kaum mukminin, agar tetap memelihara sifat-sifat utama, dan mempunyai semangat tinggi.

Umat terbaik di dunia adalah umat yang punya dua macam sifat, yakni mengajak kebaikan, serta mencegah kemungkaran [senantiasa beriman kepada Allah].

Semua sifat itu telah dimiliki oleh kaum Muslimin pada masa Nabi, dan telah menjadi darah daging dalam diri mereka, karena itu mereka kuat dan jaya.

Dalam waktu singkat, mereka menjadikan seluruh tanah Arab, tunduk dan patuh di bawah naungan Islam.

Hidup aman dan tenteram di bawah panji-panji keadilan. Padahal, sebelumnya mereka adalah umat yang berpecah-belah [selalu berada dalam suasana kacau dan saling berperang antara sesama].

Ini adalah berkat keteguhan iman serta kepatuhan mereka menjalankan ajaran agama.

Berkat ketabahan dan keuletan mereka, menegakkan amar makruf, dan mencegah kemungkaran.

Iman yang mendalam di hati mereka, selalu mendorong untuk berjihad dan berjuang menegakkan kebenaran serta keadilan.

Ada dua syarat untuk menjadi umat terbaik di dunia, sebagaimana ayat ini menerangkan.

Pertama, iman yang kuat, dan yang kedua, menegakkan amar makruf, mencegah kemungkaran.

Maka setiap umat yang memiliki kedua sifat tersebut sudah pasti jaya dan mulia.

Sedangkan jika kedua hal diabaikan [tidak dipedulikan lagi], maka tidak dapat disesalkan bila umat itu jatuh ke lembah kemelaratan.

Ahli Kitab, jika beriman, tentu lebih baik bagi mereka. Namun, sedikit sekali di antara mereka yang beriman.

Seperti Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, dan kebanyakan mereka adalah orang fasik, tidak mau beriman.

Mereka percaya kepada sebagian kitab suci, dan kafir kepada sebagiannya lainnya.

Mereka percaya kepada sebagian rasul [seperti Musa dan Isa], tetapi kafir kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

هَا أَنْتُمْ أُولَاءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلَا يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوكُمْ قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ الْأَنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ ۚ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata, ‘Kami beriman’, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari, lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah [kepada mereka]: ‘Matilah kamu karena kemarahanmu itu’. Sesungguhnya, Allah mengetahui segala isi hati,” (QS. Ali ‘Imran: 119).

Ayat ini menambah penjelasan tentang berbagai sebab, mengapa orang-orang kafir tidak boleh dijadikan teman akrab.

  • Mereka tidak menyukai kesuksesan kaum Muslimin, dan menginginkan agar Muslimin selalu dalam kesulitan dan kesusahan [padahal mereka telah dianggap sebagai saudara dan kepada mereka telah diberikan hak yang sama dengan hak kaum Muslimin sendiri].
  • Kaum Muslimin percaya semua kitab yang diturunkan kepada nabi-nabi, sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk membenci Ahli Kitab [banyak di antara Muslimin yang sayang kepada mereka, bergaul secara baik dengan mereka]. Namun, mereka tidak juga menyenangi Muslimin [bahkan tetap mempunyai keinginan untuk mencelakakan].
  • Banyak di antara mereka yang munafik, apabila berhadapan dengan Muslimin mereka mengucapkan kata-kata manis [seakan-akan benar-benar teman sejati, percaya kepada kebenaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam], tetapi jika kembali kepada golongannya, mereka bersikap lain [mengatakan dengan terang-terangan kebencian dan kemarahan mereka terhadap kaum Muslimin].
  • Mereka sampai menggigit jari karena iri melihat kaum Muslimin tetap bersatu, seia sekata, dan selalu berhasil dalam menghadapi musuh Islam.

Allah tahu segala niat yang tersimpan dalam hati kaum Muslimin yang mencintai orang-orang kafir itu sebagaimana Allah tahu keburukan hati orang-orang kafir.

Maka Allah, akan membalas kebaikan hati kaum Muslimin dengan balasan yang berlipat ganda, dan akan membalas pula kejahatan orang kafir dengan balasan yang setimpal.

الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ عَهِدَ إِلَيْنَا أَلَّا نُؤْمِنَ لِرَسُولٍ حَتَّىٰ يَأْتِيَنَا بِقُرْبَانٍ تَأْكُلُهُ النَّارُ ۗ قُلْ قَدْ جَاءَكُمْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِي بِالْبَيِّنَاتِ وَبِالَّذِي قُلْتُمْ فَلِمَ قَتَلْتُمُوهُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“[Yaitu] orang-orang [Yahudi] yang mengatakan: ‘Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kami, supaya kami jangan beriman kepada seseorang rasul, sebelum ia mendatangkan kepada kami korban yang dimakan api’. Katakanlah: ‘Sesungguhnya telah datang kepada kamu beberapa orang rasul sebelumku membawa keterangan-keterangan yang nyata dan membawa apa yang kamu sebutkan, maka mengapa kamu membunuh mereka jika kamu adalah orang-orang yang benar’,” (QS. Ali ‘Imran: 183).

Beberapa orang Yahudi [Ka’ab bin Asyraf, Malik bin as-Saif, Finhas bin ‘Azura, dan beberapa orang lagi] mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seraya berkata:

“Wahai Muhammad! Engkau mengaku Rasul Allah, dan Allah telah mewahyukan kepadamu Kitab, sedang di dalam kitab Taurat, kami dilarang oleh Allah memercayai seorang rasul, sebelum ia mendatangkan kepada kami korban yang dimakan api. Kalau itu dapat kamu buktikan, maka kami akan mempercayaimu.”

Maka turunlah ayat ini. Demikianlah kata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu.

Pengakuan orang-orang Yahudi di atas, sebenarnya hanya omong kosong, karena kalaupun Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuktikan, mereka tetap tak akan percaya.

Permintaan itu hanya alasan untuk tidak memercayai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Maka Allah, memerintahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, agar mengatakan kedustaan mereka dengan kata-kata:

“Telah datang kepadamu rasul-rasul sebelumku, seperti Zakaria, Yahya, dan lainnya, membawa mukjizat-mukjizat yang menunjukkan kebenaran mereka atas kenabiannya, dan membawa apa-apa yang kamu usulkan seperti mendatangkan korban yang dimakan api yang memang mempunyai sifat khusus, yaitu membakar. Karenanya pada masa lalu, terdapat keyakinan bahwa api selalu dijadikan sebagai tolak ukur untuk menilai apakah kurban yang dipersembahkan diterima Tuhan atau tidak, bila terbakar berarti diterima. Namun, kamu tetap tidak percaya kepada mereka, bahkan membunuh mereka. Jadi, di mana letak kebenaran kamu? Cobalah buktikan, jika kamu sungguh-sungguh orang yang benar.”

فَإِنْ كَذَّبُوكَ فَقَدْ كُذِّبَ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ جَاءُوا بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَالْكِتَابِ الْمُنِيرِ

“Jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamu pun telah didustakan [pula], mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna,” (QS. Ali ‘Imran: 184).

Kalau mereka tetap masih mendustakanmu, sekalipun kamu telah menunjukkan mukjizat-mukjizat yang nyata dan kitab yang membimbing ke jalan yang benar, maka janganlah engkau gusar dan cemas atas kekerasan hati serta kekufuran mereka.

Sebab, hal serupa telah dialami oleh rasul-rasul sebelum Muhammad.

“Mereka telah diberi apa yang telah diberikan kepadamu, seperti mukjizat-mukjizat yang nyata. Allah telah mendatangkan Suhuf, yakni lembaran-lembaran yang berisi wahyu yang diberikan kepada nabi-nabi sebelum kamu yang isinya mengandung hikmah dan juga telah mendatangkan Kitab yang memberikan penjelasan yang sempurna, berisi hukum syariat seperti Taurat, Injil, dan Zabur. Mereka tetap sabar dan tabah menghadapi perbuatan yang menyakitkan hati dari orang-orang yang mengingkari mereka.”

Al-An’am

Al-Qur’an surah Al-An’am juga menjelaskan berbagai sifat buruk bangsa Yahudi.

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمُ ۘ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

“Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka mengenalnya [Muhammad] seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman [kepada Allah],” (QS. Al-An’am: 20).

Ayat ini semakin menjelaskan tentang kebenaran kerasulan Nabi Muhammad, yakni bahwa Ahli Kitab dari Yahudi dan Nasrani, tahu bahwa nabi yang terakhir yang diutus Allah adalah Nabi Muhammad.

Sebab, tanda-tanda kenabian beliau sangat jelas tercantum dalam kitab-kitab suci mereka.

Diriwayatkan, bahwa orang-orang kafir Mekkah, pergi ke Madinah, menanyakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, tentang sifat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Namun, mereka memungkiri, bahwa dalam Taurat dan Injil, terdapat berita tentang kenabian Muhammad.

Berita itu sangat jelas, sehingga mereka juga mengetahuinya dengan jelas, sebagaimana mereka mengetahui anak-anak sendiri.

Allah menyatakan, mereka telah merugikan diri sendiri, karena tidak memercayai kerasulan Muhammad, bahkan mengingkarinya dengan permusuhan.

Maka itu, mereka mengingkari apa yang mereka tahu. Alasan keingkaran para pendeta Yahudi sama dengan keingkaran orang-orang musyrik Mekkah.

Para pendeta Yahudi, tidak mau beriman kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena takut kehilangan martabat serta kedudukan di kalangan penganut agama mereka.

Sementara dalam pandangan Islam, kedudukan semua orang, sama. Tak ada perbedaan antara pendeta dengan rakyat.

Jika melakukan kesalahan, hukumannya juga serupa, tidak ada perbedaan antara ulama dengan rakyat umum.

Begitu juga para pemimpin Quraisy, mereka tidak mau beriman kepada Nabi Muhammad, karena takut kehilangan martabat dan kedudukan.

Jika mereka menganut agama Islam, mereka merasa akan duduk sejajar dengan rakyat jelata dan orang-orang miskin [seperti Bilal dari Ethiopia (Habasyah) dan lain-lainnya].

Mereka merugikan diri sendiri, hanya karena kelemahan cita-cita serta kemauan dan kehilangan pertimbangan akal sehat.

Sehingga mereka mengingkari ilmu pengetahuan yang dimiliki.

At-Taubah

Al-Qur’an surah At-Taubah juga menjelaskan berbagai sifat buruk bangsa Yahudi.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani, benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil, dan mereka menghalang-halangi [manusia] dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, [bahwa mereka akan mendapat] siksa yang pedih,” (QS. At-Taubah: 34).

Ayat ini menjelaskan, bahwa kebanyakan pemimpin dan pendeta orang Yahudi dan Nasrani, telah dipengaruhi rasa cinta harta dan pangkat.

Maka mereka tak segan untuk menguasai harta orang lain dengan jalan yang tidak benar.

Terang-terangan, mereka menghalang-halangi manusia beriman kepada agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Sebab, jika mereka membiarkan pengikutnya membenarkan serta menerima dakwah Islam, tentu mereka tidak dapat bersikap sewenang-wenang [terhadap mereka dan akan hilang pengaruh dan kedudukan yang mereka nikmati].

Para pemimpin dan para pendeta Yahudi dan Nasrani juga telah melakukan berbagai cara untuk mengambil harta orang lain, di antaranya:

I

Membangun makam nabi-nabi dan pendeta-pendeta, dan mendirikan gereja-gereja yang dinamai dengan namanya [dengan demikian, mereka dapat hadiah nazar dan wakaf yang dihadiahkan kepada makam dan gereja itu. Kadang-kadang mereka meletakkan gambar-gambar orang suci mereka atau patung-patungnya, lalu gambar, patung itu disembah. Agar permintaan mereka dikabulkan, mereka juga memberikan hadiah uang dan sebagainya].

Dengan demikian, terkumpul uang yang banyak, dan akhirnya dikuasai sepenuhnya oleh pendeta.

Ini adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan agama yang dibawa oleh para rasul.

Sebab, membawa kepada kemusyrikan, dan mengambil harta orang dengan memakai nama nabi dan orang-orang suci.

II

Pendeta Nasrani, menerima uang dari jemaahnya sebagai imbalan atas pengampunan dosa yang diperbuatnya.

Seseorang yang berdosa, dapat diampuni dosanya jika datang ke gereja, menemui pendeta dan mengakui di hadapannya semua dosa dan maksiat yang dilakukannya.

Dengan penuh keyakinan mereka percaya, bahwa jika pendeta telah mengampuni dosanya, berarti Tuhan juga telah mengampuninya.

Sebab, pendeta adalah wakil Tuhan di bumi, bagi mereka.

Mereka yang telah memberi uang tebusan dosa, akan mendapat kartu pengampunan.

Seakan-akan kartu itu nanti yang akan mereka perlihatkan kepada Tuhan di akhirat [di hari pembalasan yang menunjukkan bahwa mereka sudah bersih dari segala dosa].

III

Imbalan memberikan fatwa, baik menghalalkan yang haram pun mengharamkan yang halal [sesuai keinginan raja, penguasa dan orang-orang kaya].

Jika pembesar dan orang kaya itu ingin melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan kebenaran [seperti membalas dendam dan bertindak kejam terhadap golongan yang mereka anggap sebagai penghalang bagi terlaksananya keinginan mereka atau mereka anggap sebagai musuh].

Maka mereka meminta kepada pendeta, agar dikeluarkan fatwa yang membolehkan mereka bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang tersebut.

Meski fatwa itu bertentangan dengan ajaran agama mereka [seakan-akan ajaran agama tersebut dianggap sepi, dan seakan-akan kitab Taurat hanya lembaran kertas yang boleh diubah-ubah semau mereka].

IV

Mengambil harta orang lain yang bukan sebangsa atau seagama dengan melaksanakan kecurangan, pengkhianatan, pencurian, dan sebagainya.

Dengan alasan bahwa Allah, mengharamkan penipuan dan pengkhianatan hanya terhadap orang-orang Yahudi.

Adapun terhadap orang-orang yang tidak sebangsa dan seagama dengan mereka, dibolehkan.

V

Mengambil rente [riba]. Orang-orang Yahudi sangat terkenal dalam hal ini, karena di antara para pendeta mereka, ada yang menghalalkannya.

Meskipun dalam kitab mereka, riba itu haram. Ada juga di antara para pendeta yang memfatwakan, bahwa mengambil riba dari orang-orang Yahudi, halal.

Demikian pula para pendeta Nasrani, ada yang menghalalkan sebagian riba, meski tetap mengharamkan sebagian lainnya.

Inilah cara-cara yang mereka praktikkan dalam mengambil serta menguasai harta orang lain untuk kepentingan sendiri [memuaskan nafsu dan keinginan mereka].

Sementara cara mereka menghalangi manusia dari jalan Allah adalah dengan merusak akidah dan ajaran agama yang murni.

Orang-orang Yahudi, pernah menyembah patung anak sapi, dan mengatakan Uzair merupakan anak Allah.

Mereka juga sering memutarbalikkan ayat-ayat Allah, dan mengubahnya, sesuai keinginan dan hawa nafsu.

Sebagaimana telah dijelaskan pada ayat-ayat yang lalu, dalam Qur’an surah Al-Baqarah, An-Nisa’, Al-Ma’idah, dan Ali ‘Imran.

Mereka secara terang-terangan mengingkari Nabi Musa Alaihis Salam sebagai nabi.

Padahal, Musa pembawa akidah yang murni [tetapi kemudian dirusak oleh pendeta-pendeta Yahudi].

Demikian juga orang-orang Nasrani yang telah menyelewengkan akidah yang dibawa oleh Nabi Isa Alaihis Salam, sehingga mereka menganggapnya sebagai Tuhan.

Maka itu, mereka [baik kaum Yahudi pun Nasrani] selalu menentang ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Bahkan, mereka menghinanya dengan berbagai cara, serta menentang dan mendustakan Al-Qur’anul Karim.

Mereka juga berupaya sekuat tenaga untuk memadamkan cahaya Allah, tetapi Allah, sudah menetapkan bahwa Ia akan menyempurnakan cahaya itu.

Segala usaha, daya upaya mereka, menemui kegagalan, karena pasti, hanya kehendak Allah yang berlaku dan terlaksana.

Baca Juga: Kisah Jad, Anak Yahudi yang Mengislamkan Jutaan Orang Afrika

Demikian sifat kebanyakan pendeta Yahudi [pun Nasrani]. Mereka serakah dan tamak akan harta benda.

Mengumpulkan sebanyak-banyaknya, dan menggunakan sebagian untuk menghalangi manusia mengikuti jalan Allah.

Maka kelak, Allah, akan melempar mereka ke neraka, dan akan menyiksa mereka dengan azab yang sangat pedih.

Sementara soal pengumpulan harta [tidak menafkahkannya di jalan Allah], walau ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, para mufassirin berpendapat, bahwa ayat ini juga mencakup kaum Muslimin.

Maka siapa saja yang tamak dan serakah [berusaha mengumpulkan harta kemudian menyimpannya dan tidak menafkahkannya di jalan Allah], Allah mengancam akan memasukkan ke neraka [baik Yahudi, Nasrani, pun Islam].

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud, dan al-Hakim dari Ibnu ‘Abbas, bahwa setelah turun ayat ini, kaum Muslimin merasa keberatan dan berkata:

“Kami tidak sampai hati bila kami tidak meninggalkan untuk anak-anak kami barang sedikit dari harta kami.”

Umar berkata, “Saya akan melapangkan hartamu”, lalu beliau pergi bersama Tsauban kepada Nabi dan mengatakan kepadanya:

“Hai Nabi Allah, ayat ini amat terasa berat bagi sahabat engkau.”

Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan zakat, melainkan agar harta yang tinggal di tanganmu menjadi bersih. Allah hanya menetapkan hukum warisan terhadap harta yang masih ada sesudah matimu.”

Umar mengucapkan takbir atas penjelasan Rasulullah tersebut, kemudian Nabi berkata kepada Umar:

“Aku akan memberi tahumu sesuatu yang paling baik untuk dipelihara, yakni perempuan saleh yang apabila seorang suami memandangnya, ia merasa senang, dan apabila disuruh, ia mematuhinya, dan apabila ia berada di tempat lain, perempuan itu menjaga kehormatannya.”

Secara garis besar, buruknya sifat bangsa Yahudi yang tercatat jelas dalam Al-Qur’an adalah:

  1. Keras hati dan zalim;
  2. Kebanyakan fasik, dan sedikit sekali yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala;
  3. Musuh yang paling berbahaya bagi orang-orang Islam;
  4. Sangat mengetahui kekuatan dan kelemahan orang-orang Islam, seperti mereka mengenal anak sendiri;
  5. Mengubah dan memutarbalikkan kebenaran;
  6. Menyembunyikan bukti kebenaran;
  7. Hanya menerima perkara-perkara atau kebenaran yang dapat memenuhi hawa nafsu mereka;
  8. Ingkar dan tidak dapat menerima keterangan serta kebenaran Al-Qur’an;
  9. Memekakkan telinga kepada seruan kebenaran, membisukan diri untuk mengucapkan perkara yang benar, membutakan mata terhadap bukti kebenaran, dan tidak menggunakan akal untuk menimbangkan kebenaran;
  10. Mencampuradukkan yang benar dengan yang salah, yang hak dengan yang batil;
  11. Berpura-pura mendukung orang Islam, tetapi jika ada di belakang, mereka mengutuk dengan sekeras-kerasnya;
  12. Hati meraka sudah tertutup akan Islam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala yang melaknatnya, akibat kekufuran mereka sendiri;
  13. Kuat berpegang pada rasa kebangsaan mereka, dan mengatakan bahwa mereka adalah bangsa yang istimewa yang Tuhan pilih, dan menyakini agama selain Yahudi adalah salah;
  14. Tidak akan ada kebaikan untuk seluruh manusia, jika mereka memimpin;
  15. Tidak suka, dengki, iri hati terhadap orang-orang Islam;
  16. Mencintai kemewahan dan kehidupan dunia, bersifat tamak dan rakus, menginginkan umur panjang, dan mengejar kesenangan serta takut akan kematian;
  17. Berkata bohong, mengingkari janji, dan melampaui batas;
  18. Berlindung di balik mulut yang manis dan perkataan yang baik;
  19. Mengada-ada berbagai perkara dusta dan suka kepada perkara-perkara dusta;
  20. Berlaku sombong dan memandang rendah terhadap orang-orang Islam;
  21. Tidak amanah dan memakan hak orang lain dengan cara yang salah; serta
  22. Selalu melakukan kerusakan dan menganjurkan peperangan.

Wallahu a’lam.