Berita  

Bicara soal Pemakzulan Presiden, Din Syamsuddin: Sangat Mungkin Dilakukan

Din Syamsuddin Pemakzulan Presiden

Ngelmu.co – Teror yang diterima penyelenggara diskusi ilmiah—mahasiswa Universitas Gajah Mada dan dosen Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta—Constitusional Law Society (CLS), Fakultas Hukum UGM, dinilai berbagai pihak sebagai upaya membungkam kebebasan berpendapat.

Akibatnya, pasca kejadian itu, isu pemakzulan presiden, menjadi salah satu yang terus bergulir.

Dalam webinar bertema ‘Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19’, Senin (1/6), Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Din Syamsuddin, menyampaikan pendapat.

Menurutnya, pemakzulan pemimpin sangat mungkin dilakukan, jika terjadi kepemimpinan represif dan cenderung diktator.

Din, mengutip tokoh pemikir politik Islam, Al Mawardi, soal syarat-syarat yang harus dipenuhi terkait pemakzulan tersebut.

“Pemakzulan itu, dalam pendapat beberapa teoritikus politik Islam, Al Mawardi, yang terkenal itu, pemakzulan imam, pemimpin, mungkin dilakukan jika syarat tertanggalkan,” tuturnya.

Syarat pertama adalah ketiadaan keadilan. Jika seorang pemimpin menciptakan ketidakadilan atau kesenjangan sosial di masyarakat, kata Din, maka sangat mungkin untuk dimakzulkan.

“Apabila tidak adil di masyarakat, hanya menciptakan satu kelompok lebih kaya dari yang lain, ada kesenjangan sosial ekonomi, sudah dapat makzul,” ujarnya.

Berikutnya adalah tidak memiliki ilmu pengetahuan. Di mana ketiadaan ilmu ini, merujuk pada kerendahan visi, terutama soal cita-cita hidup bangsa.

Dalam konteks negara modern, menurut Din, visi adalah cita-cita bangsa yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

“Jika tidak diwujudkan oleh pemimpin, sudah bisa menjadi syarat makzul,” kata Dosen Pemikiran Politik Islam FISIP UIN Syarif Hidayatullah itu.

Syarat berikutnya, lanjut Din, ketiadaan kemampuan atau kewibawaan pemimpin dalam situasi kritis.

Kondisi itu, menurutnya, kerap terjadi ketika seorang pemimpin tertekan kekuatan dari luar.

Din pun mengibaratkan, kondisi suatu negara yang kehilangan kedaulatan akibat kekuatan asing.

“Apabila pemimpin tertekan kekuatan lain, terdikte kekuatan lain, baik keluarga atau orang dekat, itu memenuhi syarat makzul,” tegasnya.

Din juga menyebut, pemakzulan pemimpin sangat mungkin dilakukan, jika kepemimpinan cenderung represif dan diktator.

“Saya melihat, kehidupan kenegaraan kita terakhir ini, membangun kediktatoran konstitusional, bersemayam di balik konstitusi, seperti godok Perppu jadi UU, dan sejumlah kebijakan-kebijakan lain,” kritiknya.

Lebih lanjut merujuk pada pemikir Islam modern, Rasyid Ridho, Din, meminta agar masyarakat tak segan melawan kepemimpinan yang zalim, terlebih jika melanggar konstitusi.

“Rasyid Ridho (pemikir Islam) yang lebih modern dari Al Ghazali, menyerukan melawan kepemimpinan yang zalim, terutama jika membahayakan kehidupan bersama, seperti melanggar konstitusi,” sambungnya.

Sebelumnya, Din, menjelaskan makna kebebasan berpendapat yang sebenarnya.

Mantan Ketum PP Muhammadiyah itu, mengupas dari perspektif serta pemikiran politik Islam.

Ihwal kebebasan berpendapat, Din, mengatakan para ulama, memahaminya sebagai salah satu dari tiga dimensi penting.

Ia menegaskan, kebebasan adalah hak manusiawi, hak makhluk, karena Tuhan pun, mempersilakan manusia untuk beriman atau tidak.

“Bahkan Sang Pencipta, menyilakan manusia mau beriman atau tidak beriman, ini pangkal dari sebuah kebebasan,” kata Din, seperti dilansir Viva.

Maka itu ia menyampaikan, kebebasan pada manusia adalah sesuatu yang melekat pada manusia itu sendiri.

“Oleh karena itulah, ada yang memandang, seperti yang saya kutip dari Mohammad Abdul, melihat atau menilai kebebasan itu, sebagai sesuatu yang sakral dan transendental,” tutur Din.

“Sebagai sesuatu yang suci dan melekat dengan fitrah kemanusiaan. Manusia bebas, walaupun terbatas,” sambungnya.

Lebih lanjut Din menjelaskan, jika Abdul, menilai kebebasan itu hanya dapat diaktualisasikan oleh manusia, jika manusia telah melewati dua fase kehidupan.

Eksistensi, alamiah ketika manusia masih berada dalam masa jahiliah atau kebodohan; dan
Sosial atau komunal, saat manusia sudah berbudaya dan berperadaban.

Bagi Din, kebebasaan adalah sesuatu yang tinggi.

“Hanyalah pada manusia beradab, ada kebebasan dan ada pemberian kebebasan,” ujarnya.

“Tentu logika sebaliknya adalah tidak beradab, kalau ada orang atau rezim yang ingin menghalang-halangi, apalagi meniadakan kebebasan itu,” tegas Din.

Berdasarkan hal itu, lanjutnya, para pemikir politik Islam, kemudian melihat kebebasan menjadi tiga hal:

  1. Kebebasan beragama,
  2. Kebebasan berbicara, dan
  3. Kebebasan memilih serta dipilih.

Maka itu Din, menekankan jika kebebasan berpendapat, memiliki landasan teologis dan filosifis yang kuat pada pemikiran Islam.

“Oleh karena itu, apa yang dirumuskan dalam sejarah peradaban manusia, seperti Magna Charta hingga Universal Declaration of Human Rights, sangat memberikan ruang bagi kebebasan itu sendiri,” jelasnya.

Begitupun dengan UUD 1945, menurut Din, tokoh-tokoh yang merumuskannya sangat paham soal prinsip kebebasan yang ada dalam Islam, serta sejarah pemikiran Islam.

“Karena itu, kita terganggu jika ada rezim yang cenderung otoriter represif dan anti kebebasan berpendapat,” ungkapnya.

Selama kebebasan berpendapat dilandasi norma-norma, etika, dan nilai yang disepakati, sambung Din, maka itu menjadi hak warga negara, yang tak boleh diganggu gugat.

Baca Juga: Iuran BPJS Naik di Tengah Pandemi, Din Syamsuddin: Kezaliman yang Nyata

Ada dalam diskusi yang sama, Ketua Umum Masyarakat Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama), Aidul Faitriciada Azhari, juga mengutarakan pandangannya soal kebebasan berpendapat, di tengah pandemi.

Ia bahkan mengecam, teror yang dikirimkan oknum tertentu, kepada penyelenggaran diskusi ilmiah yang digelar oleh CLS Fakultas Hukum UGM.

Apalagi dalam ancamannya, pelaku teror sampai mencatut nama organisasi Muhammadiyah Klaten.

Aidul menyebut, peristiwa itu menunjukan jika situasi saat ini membahayakan Indonesia. Pasalnya, masalah bisa timbul hanya karena sebuah pendapat.

“Hanya karena pendapat, kemudian berujung pada ancaman pembunuhan, ini satu hal yang saya, melihatnya sangat membahayakan masa depan kita bersama,” kata Aidul.

Padahal, kebebasan berpendapat setiap warga negara, sudah diatur dalam UUD 1945.

Seperti di amandemen UUD 1945 Pasal 28 E Ayat 3, disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat.

Begitupun dengan Pasal 28 I Ayat 1, yang menyebut, bahwa hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani adalah hak asasi manusia, yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Dalam kehidupan di tengah pandemi COVID-19, menurut Aidul, kita banyak mengalami pembatasan hak.

Hak bepergian atau berkumpul, misalnya. Tetapi untuk hak menyatakan pendapat, tegas Aidul, tak bisa dibatasi.

“Dalam keadaan apa pun, hak untuk menyatakan pendapat, tidak bisa dikurangi, pikiran tidak bisa dibatasi, pikiran juga tidak bisa di-penjara, dan tidak ada pengadilan terhadap pemikiran,” tuturnya.

“Semua orang boleh berpendapat, pikiran hanya bisa dilawan dengan pikiran lagi, bukan dengan jeruji besi, bukan dengan intimidasi, bukan dengan represif,” sambung Aidul.

“Dalam konteks ini, sebenarnya kita harus melawan setiap hal atau setiap upaya yang berusaha membatasi pemikiran, membatasi pendapat,” pungkasnya.

Namun, pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, kembali membahas soal ketentuan pemakzulan presiden.

Pria yang juga mantan Wakil Menkumham itu, mengatakan ada syarat yang harus dipenuhi mengenai hal itu.

Presiden, lanjut Denny, tidak dapat dimakzulkan karena kebijakan penanganan COVID-19.

“Terkait COVID-19 ini, kalau itu sepanjang terkait dengan kebijakan, maka kebijakan saja bukan merupakan alasan presiden bisa dimakzulkan” bebernya.

Syarat pemberhentian presiden, sambung Denny, sudah diatur dalam UUD 1945, Pasal 7A.

Di mana inti pasalnya, baru bisa diberhentikan, jika terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa:

  • Pengkhianatan terhadap negara,
  • Korupsi,
  • Penyuapan, dan
  • Tindak pidana berat lainnya, atau
  • Perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Terkait penanganan COVID-19, presiden bisa saja diberhentikan, kata Denny, tetapi jika terdapat unsur yang diatur dalam pasal 7A UUD 1945 tadi.

Ia pun mencontohkan, jika ada unsur korupsi yang langsung melekat kepada presiden, dalam kebijakan penanganan virus Corona, hal itu juga harus dibuktikan.

“Ini misalnya ya, kita tidak bicara faktual, tapi misalnya, ada korupsinya, dan korupsinya itu menyangkut kepada diri Presiden, yang ramai misalnya Kartu Prakerja, orang bisa gratis kok harus dikeluarkan sekian triliun, menyangkut link Presiden, dan seterusnya, tentu dengan bukti yang tidak terbantahkan, itu bisa masuk,” jelas Denny.

Maka ia pun menekankan, syarat pemakzulan bukan terletak pada kebijakan, melainkan pada pembuktiannya.

Apakah fakta mengungkapkan adanya impeachment articles yang dilanggar, hingga termasuk syarat pemakzulan presiden.

Sebab, jika tidak ada—hanya kebijakan yang dimasalahkan—tentu presiden tak dapat dimakzulkan.

Denny pun menjelaskan lebih jauh, jika secara konstitusional, presiden sangat sulit untuk dimakzulkan.

Pasalnya, harus ada perbuatan yang melanggar pasal 7A UUD 1945, di mana secara politik, ini pun sulit dilakukan.

Selain itu, proses pemakzulan juga bisa dilakukan melalui DPR. Namun, menjadi sangat sulit, mengingat komposisi di DPR saat ini, mendukung koalisi pemerintahan.

“Secara politis, dengan komposisi dukungan partai koalisi relatif solid sekarang, langkah di DPR saja sudah sulit dilanjutkan ke MK,” kata Denny.

Hal itu senada dengan yang sebelumnya disampaikan Aidul, soal kebijakan presiden dalam penanganan COVID-19 saja, tak bisa dijadikan dasar pemakzulan.

“Dalam konteks pandemi, presiden tidak bisa dijatuhkan karena kebijakan terkait pandemi, seburuk apa pun kebijakannya,” jelasnya.

“Selama presiden tidak melakukan pelanggaran hukum yang disebutkan dalam UUD,” pungkas Aidul.