Bicara Tentang Doa Berbuka Puasa yang Dipersoalkan

Doa Berbuka Puasa

Ngelmu.co – Doa berbuka puasa yang sudah lama diamalkan oleh masyarakat, menjadi persoalan bagi beberapa pihak. Mereka menilai, doa yang sudah biasa dibaca masyarakat, yakni ‘Allâhumma laka shumtu wa bika âmantu wa ‘alâ rizqika afthartu’, didukung oleh hadits yang dhaif (lemah).

Sebagian pihak pun menawarkan lafal doa yang didukung hadits shahih riwayat Abu Dawud, yakni ‘Dzahabaz zhama’u wabtallatil ‘urûqu wa tsabatal ajru, insyâ Allah’.

Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah benar doa berbuka puasa yang selama ini diamalkan oleh masyarakat, bersandar pada hadits yang dhaif?

Apakah benar kualitas hadits riwayat Abu Dawud terkait doa berbuka puasa, lebih shahih? Berikut penjelasannya, dilansir islam.nu.or.id:

Hadits lengkap riwayat Abu Dawud berbunyi:

حدثنا عبد الله بن محمد بن يحيى أبو محمد حدثنا علي بن الحسن أخبرني الحسين بن واقد حدثنا مروان يعني ابن سالم المقفع قال رأيت ابن عمر يقبض على لحيته فيقطع ما زاد على الكف وقال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

Artinya: “Kami mendapat riwayat dari Abdullah bin Muhammad bin Yahya, yaitu Abu Muhammad. Kami mendapat riwayat dari Ali bin Hasan. Kami mendapat riwayat dari Husein bin Waqid. Kami mendapat riwayat dari Marwan, yaitu Bin Salim Al-Muqaffa‘, ia berkata, bahwa aku melihat Ibnu Umar menggenggam jenggotnya, lalu memangkas sisanya. Ia berkata, Rasulullah, bila berbuka puasa, membaca, ‘Dzahabaz zhama’u wabtallatil ‘urûqu wa tsabatal ajru, insyâ Allah’,” (HR Abu Dawud).

Sementara doa berbuka puasa yang selama ini diamalkan kebanyakan masyarakat:

“Allâhumma laka shumtu wa ‘alâ rizqika afthartu”, bersumber dari riwayat Imam Bukhari dan Muslim, sebagai keterangan Syekh M Khatib As-Syarbini:

وأن يقول عقب فطره اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت لانه صلى الله عليه وسلم كان يقول ذلك رواه الشيخان

Artinya: “(Mereka yang berpuasa) dianjurkan setelah berbuka membaca, ‘Allâhumma laka shumtu, wa ‘alâ rizqika afthartu’. Pasalnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengucapkan doa ini, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim,” (Lihat Syekh M Khatib As-Syarbini, Al-Iqna pada Hamisy Bujairimi alal Khatib, [Beirut, Darul Fikr: 2006 M/1426-1427 H], juz II, halaman 385).

Jika ingin melihat tingkat kesahihannya, doa riwayat Bukhari dan Muslim, jelas lebih shahih, dibandingkan sekadar riwayat Abu Dawud, berdasarkan kesepakatan ulama ahli hadits.

Maka dari sini sudah jelas, bahwa doa yang diamalkan masyarakat selama ini, sudah benar dan didukung oleh hadits yang shahih dan kuat.

Lalu, bagaimana dengan doa riwayat Abu Dawud? Sebab, juga mengetahui ada doa dari riwayat perawi lainnya.

Ulama dari Madzhab Syafi’i, menggabungkan doa riwayat Imam Bukhari dan Muslim, dengan doa riwayat Abu Dawud.

Berikut disebutkan Sulaiman Bujairimi dalam Hasyiyatul Bujairimi:

اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ( ويسن أن يزيد على ذلك وَبِكَ آمَنْتُ، وَبِكَ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ. ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ العُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شاءَ اللهُ. يا وَاسِعَ الفَضْلِ اِغْفِرْ لِي الحَمْدُ لِلهِ الَّذِي هَدَانِي فَصُمْتُ، وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ.

“Allâhumma laka shumtu wa ‘alâ rizqika afthartu) dianjurkan menambahkan lafal, wa bika âmantu, wa bika wa ‘alaika tawakkaltu. Dzahabaz zhama’u, wabtallatil ‘urûqu, wa tsabatal ajru, insyâ Allah. Yâ wâsi‘al fadhli, ighfir lî. Alhamdulillâhil ladzî hadânî fa shumtu, wa razaqanî fa afthartu,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi alal Khatib, [Beirut, Darul Fikr: 2006 M/1426-1427 H], juz II, halaman 385).

Artinya: “Tuhanku, hanya untuk-Mu aku berpuasa. Dengan rezeki-Mu aku membatalkannya. Sebab dan kepada-Mu aku berpasrah. Dahaga telah pergi. Urat-urat telah basah. Dan insya Allah, pahala sudah tetap. Wahai Zat yang Luas Karunia, ampuni aku. Segala puji bagi Tuhan yang memberi petunjuk padaku, lalu aku berpuasa. Dan segala puji Tuhan yang memberiku rezeki, lalu aku membatalkannya.”

Baca Juga: Hukum, Tata Cara, Niat, Bacaan, dan Keutamaan Sholat Tarawih di Rumah

Dari keterangan di atas, kita bisa menarik kesimpulan, bahwa para ulama terdahulu sangat bijak dalam mengatasi perbedaan riwayat.

Mereka menggabungkan dua riwayat yang berbeda, tanpa menafikan, menyalahkan, atau mengecilkan, riwayat yang lain.

Gabungan dua riwayat ini, kemudian disampaikan kepada masyarakat, untuk diamalkan turun-temurun. Di mana doa tersebut, dibaca setelah mereka membatalkan puasanya.

Maka saran kami, sebaiknya tak perlu membesar-besarkan perbedaan. Tak perlu menyalahkan doa berbuka puasa masyarakat, terlebih amalan mereka didukung oleh hadits yang lebih shahih dibandingkan doa alternatif yang ditawarkan.

Sebaiknya pula, kita mencari titik temu pada dua riwayat yang berbeda. Kebijaksanaan ini yang menjadi warisan para ulama terdahulu.

Wallahu a‘lam.