Opini  

Bipang Ambawang, Tere Liye: Ngotot yang Sempurna

Tere Liye Bipang Ambawang Ngotot yang Sempurna

Ngelmu.co – Penulis Tere Liye ikut menyoroti persoalan bipang Ambawang yang ‘muncul’ ke permukaan, di bulan suci Ramadhan–menjelang Idulfitri.

“Ngotot yang sempurna,” begitu judul tulisan yang ia bagikan di akun Facebook pribadinya, Sabtu (8/5) lalu.

“Salah naskah pidato itu bukan masalah besar. Banyak raja-raja, presiden-presiden yang salah teks. Biasa saja,” tuturnya.

“Tinggal minta maaf, salah. Selesai. Orang-orang akan lupa,” sambung Tere Liye.

“Tapi ngeles, muter-muter, nyari argumen lain, sungguh tidak terpuji. Itu bukti ngotot yang sempurna,” lanjutnya.

Kekeliruan pidato presiden, bagi Tere Liye, dapat menjadi contoh. Berikut pernyataan lengkapnya:

Jubir Presiden telah ngeles di Twitter-nya, bilang itu ‘Bipang’ yang lain. Ini ngeles selevel jurus dewa mabuk.

Saking mabuknya, tentu ia tidak tahu, jika ia sedang mabuk, dan mempertontonkannya. Silakan cek Twitter Jubir.

Menteri Perdagangan juga telah ngeles, bilang itu untuk promosi kuliner lintas agama.

Duh, Anda promosi makanan haram, dalam rangka libur Lebaran Islam. Itu jelas sekali tidak menghormati.

Itu radikal.

Coba kalau Anda promosi ngadain konser, pas Nyepi. Bisa remuk Anda di Bali sana.

Sementara netizen puja kerang ajaib, sibuk bilang mudik itu milik semua agama, jadi boleh saja bilang-bilang soal babi panggang.

Pada 13 Mei, juga ada libur kenaikan Isa Al Masih.

Duh, Gusti, mau jungkir balik jelasinnya, konteks pidato itu jelas sekali mudik libur Lebaran Idulfitri.

Hanya ada dua mudik di negeri ini, Lebaran Idulfitri, sama Natal/Tahun Baru.

Jangan gitu amatlah ngelesnya.

Itu teh sederhana sekali, ada yang keliru memasukkan ‘Babi Panggang’ dalam contoh makanan-makanan khas daerah di teks pidato Pak Bos.

Sesimpel itu. Akui keliru, minta maaf. Tidak usah ada lagi ngeles. Selesai.

Lantas, lain kali, tes wawasan kebangsaannya yang betul gitu, lho.

Jangan nanya soal qunut, nikah beda agama, apalagi soal salaman.

Lain kali, ditanya soal tari-tarian daerah, makanan daerah. Begitu juga pas bagi-bagi sepeda.

Tanya-lah hal-hal yang berbobot, bukan nama-nama ikan. Nama-nama menteri.

Tapi terserahlah. Bebas sajalah.

Saya itu sudah nulis 50 buku, 10 juta kata lebih artikel. Kalimat, gaya bahasa, dan lain-lain, itu sudah makanan sehari-hari.

Tahun lalu, saya tidak pernah paham, kok, mudik beda sama pulang kampung. Dari kaca mata pengendalian pandemi.

Tapi akhirnya saya paham. Saya itu memang bodoh, saya belum sampai level bahasa virus.

Ternyata, virus COVID-19 itu bisa membedakan mana mudik, mana pulang kampung, mana wisata.

Duh, jadi malu, karena mereka netizen puja kerang ajaib, sudah bisa memahami bahasa virus.

Baiklah. Selamat menyambut libur panjang. Jangan lupa selalu pakai masker, jaga jarak, jauhi kerumunan, cuci tangan, dan lain-lain.

Ingat selalu, Bipang Ambawang itu Babi Panggang! Itu haram 100 persen bagi Muslim.

Ini bukan radikal, taliban, apalagi benci NKRI. Ini simpel, itu haram.

Sama kayak Nyepi, dilarang berisik. Sekali sudah begitu, simpel, dilarang berisik.

Catatan: Menyadur [menyusun kembali cerita secara bebas tanpa merusak garis besarnya] tulisan Tere Liye.

Sebelumnya, pada video yang terunggah di kanal YouTube Kementerian Perdagangan, Rabu (5/5) lalu, Jokowi menyebut makanan khas Ambawang, Kalimantan Barat, yakni babi panggang, setelah kalimat, ‘sebentar lagi Lebaran’.

Ustaz Hilmi Firdausi juga telah mempertanyakan persoalan ini, “Assalamu’alaikum Pak @jokowi, mohon diklarifikasi tentang oleh-oleh Lebaran Bipang Ambawang.”

“Karena itu adalah babi panggang yang jelas haram bagi Muslim,” sambungnya.

“Apalagi ini Idul Fitri, Hari Raya ummat Islam, tidak elok rasanya,” imbuhnya lagi. “Apakah ini disengaja, atau karena Bapak tidak tahu?”

“Terima kasih atas jawabannya,” tutup Ustaz Hilmi.