Buka-Bukaan PKS, soal Jokowi dan Tommy Soeharto

Ngelmu.co – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meneguhkan sikap sebagai oposisi. Namun, pertemuan Presiden PKS, Sohibul Iman, dengan para petinggi partai pendukung pemerintah, membuat pertanyaan pun menyasar pada partai Islam itu.

Mewakili PKS, pria yang akrab disapa ‘Kang Iman’ itu, menjawab semua pertanyaan.

Terutama tentang, apa benar PKS telah melupakan masa lalu Ketua Umum Partai Berkarya, Tommy Soeharto, yang lengket dengan orde baru?

Pertanyaan itu muncul, usai Sohibul, bertemu dengan pihak Partai Berkarya, termasuk Tommy, Selasa (19/11) lalu.

Lantas, mengapa PKS lebih memilih Partai Berkarya, daripada Partai Demokrat dan PAN?

“Setelah bertemu NasDem, PKS akan bertemu dengan partai manapun,” jawab Sohibul, seperti dilansir Detik, Senin (25/11).

“Baik partai yang ada di parlemen, maupun di luar parlemen, partai yang ada di koalisi Jokowi, maupun yang berada di luar koalisi Jokowi,” imbuhnya.

Mengapa Lebih Dulu Partai Berkarya daripada Partai Demokrat dan PAN?

“Semua hanya perihal kesamaan waktu luang. Masing-masing partai punya kesibukan dan prioritas. Kebetulan waktu yang pas, dengan Berkarya,” tuturnya.

Sementara untuk pertemuan dengan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang juga merupakan Ketua Umum Partai Demokrat, Sohibul menyebut, agenda masih disusun.

“Kalau Pak SBY sudah punya waktu luang, kita pasti datang,” ujarnya.

Perbedaan gesture, antara Sohibul; Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh; dengan Tommy, saat bertemu pun dipertanyakan.

Mengapa ada pelukan hangat dengan Paloh, sedangkan dengan Tommy, tak ditemukan pemandangan yang sama?

“Saya rasa setiap orang punya gaya masing-masing. Pertemuan saya dengan Bang Surya pun bukan yang pertama,” kata Sohibul.

Tudingan Paloh kepada PKS

Sebelumnya, di sebuah pertemuan, di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Paloh, memuji kader-kader PKS yang ia anggap pintar.

Namun, kata Sohibul, Paloh mengatakan, dirinya tak suka, jika ada sosok yang radikal di internal PKS.

Tak ingin salah paham berkembang, Sohibul pun menantang Paloh, untuk membuktikan adanya radikalisme di PKS.

“Saya langsung koreksi pada beliau, ‘Bang tolong jangan sembarang bicara. Kalau abang mendengar orang radikal, kemudian di-identifikasi orang PKS, silakan lapor kepada saya’,” tuturnya.

Baca Juga: Rangkulan NasDem-PKS Berawal dari Tudingan Paloh yang Tak Terbukti

Sohibul mengaku, akan melacak orang yang dimaksud radikal, jika memang ditemukan.

Tetapi lagi-lagi dirinya berani menjamin, jika apa yang ditudingkan kepada pihaknya, tak akan ditemukan, karena di internal PKS, memang tak ada radikalisme.

Bicara soal Tekad PKS

Bahkan, PKS bertekad menjadi kanal moderasi, dari kecenderungan radikalisme, terutama di kalangan generasi muda.

Tak hanya sekali, hal yang sama kembali terjadi, pada pertemuan Sohibul dan Paloh berikutnya, di pernikahan putri Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kahiyang Ayu, November 2017 lalu.

“Beliau bicara begitu lagi. Tapi saya tantang lagi, ‘Ada enggak, Bang punya bukti itu?’ Beliau enggak bisa, tidak menemukan itu,” kata Sohibul.

Tantangan itulah, yang akhirnya berujung pada silaturahmi, hingga rangkulan antara Sohibul dengan Paloh.

Ia yang ditemani Sekretaris Jenderal PKS, Mustafa Kamal dan fungsionaris PKS lainnya, makan siang bersama Paloh dan jajaran Partai NasDem lainnya.

Dalam kesempatan itu, selama kurang lebih dua jam mereka berdiskusi, Sohibul menjelaskan imajinasi orang tentang partainya.

“Di situ kemudian Bang Surya ada keyakinan tentang PKS ini, maka terjadi pertemuan, terjadi rangkulan,” jelasnya.

Sohibul menegaskan, PKS menolak radikalisme dan paham-paham lain yang bertentangan dengan Pancasila, konstitusi, NKRI, dan kebhinnekaan.

Partainya, aku Sohibul, akan selalu berpegang pada empat konsensus Indonesia itu.

“Kami mengajak kepada partai-partai lain, tolong jangan lagi menggunakan isu itu untuk alat menghantam pihak-pihak lain,” tegasnya.

Lantas, Mengapa PKS Terkesan ‘Jual Mahal’ dengan Jokowi?

“Sebenarnya hubungan PKS dengan Pak Jokowi itu sangat dekat. Ketua Majelis Syuro PKS (Ustadz Salim Segaf Al-Jufri) pun sering sekali bertemu dengan beliau,” jelas Sohibul.

Sohibul pun mengingatkan, PKS juga menjadi bagian dari perjalanan Jokowi di Solo.

“Selama Ustadz Salim jadi Mensos, itu kalau beliau pulang kampung ke Solo, yang menjemputnya di airport itu Pak Jokowi,” sambungnya.

Baca Juga: PKS Tegaskan Tak Akan Bertemu Jokowi Sebelum Pembentukan Kabinet

Apa yang dilihat masyarakat luas antara PKS dengan Jokowi, kata Sohibul, hanya perihal dinamika politik. Di luar itu, hubungan keduanya berjalan baik.

“Itu proses, dinamika politik yang normal-normal saja. Tak ada rasa benci dan permusuhan,” ungkapnya.

“Berpolitik itu gak boleh sampai bawa-bawa ke hati, kemudian ada benci, ada bermusuhan. Itu sih bukan politik, itu mau perang,” lanjut Sohibul.

Mengapa PKS Seolah Melepas Jokowi?

Tetapi mengapa PKS yang mengusung Jokowi di Solo, seolah membiarkan Jokowi berjalan sendiri, tanpa pendampingan, usai maju ke Jakarta?

“Karena saat itu ‘kan PKS juga punya calon, Pak Hidayat Nur Wahid, jadi tidak mungkin kita mengusung beliau?” jawabnya bertanya.

“Treatment Pak Jokowi terhadap umat, saya kira itu, menurut pandangan PKS, kurang proper,” imbuh Sohibul.

Itu sebabnya, PKS sebagai partai dakwah, lebih memilih untuk terus berjalan, di atas kepentingan umat.

Namun, Sohibul juga menyampaikan prinsip dari Ketua Majelis Syuro partainya.

“Ustadz Salim selalu berprinsip, siapapun presidennya, kita ingin presiden itu sukses. Sekalipun itu rival kita,” bebernya.

“Karena kalau presiden sukses, ya untuk rakyat, tapi kalau presiden gagal, yang rugi rakyat,” lanjut Sohibul.

Maka, PKS menegaskan, tak pernah mempunyai keinginan menjatuhkan atau menggagalkan pemerintahan.

“Kita berbeda, tapi tidak boleh punya rasa kebencian dan permusuhan,” tegasnya.

Kata PKS soal Rekonsiliasi

Sementara soal rekonsiliasi, PKS menanggapi, setuju dengan jalan itu. Namun, rekonsiliasi tak berarti harus bergabung.

“Kalau semuanya bergabung, lantas siapa yang melakukan check and balances?” jelas Sohibul.

“Rekonsiliasi tak berarti harus bergabung. Sebab, buktinya ada yang berada dalam satu barisan, tetapi justru punggung-punggungan,” lanjutnya.

Menurut PKS, di luar pemerintahan pun, pihaknya bisa membangun rekonsiliasi, sekaligus menjalankan fungsi check and balances.

“Inilah yang kami jalankan sekarang,” kata Sohibul.

Mengkritik Tidak Berarti Menyerang

Lebih lanjut ia berpesan, agar kritik yang hadir dari luar pemerintahan, tak dianggap sebagai suatu serangan.

“Perlu kedewasaan di sini. Kami perlu dewasa, di luar pemerintahan, kami tidak berjalan dengan rasa kebencian dan permusuhan,” ujar Sohibul.

Kembali pada pertemuan dengan Tommy Soeharto. Mengapa PKS bersedia melakukan pertemuan?

Apakah PKS tak khawatir dengan anggapan, seolah sudah melupakan masa lalu Keluarga Cendana yang dianggap sebagai simbol KKN Orde Baru?

Terlebih kampanye Partai Berkarya, nampak seolah ingin mengembalikan kejayaan Orde Baru.

“Memang pernah menjadi simbol KKN, tapi apakah dia akan menjadi representasi kembalinya Orde Baru? Saya tidak yakin,” jawabnya.

Setiap orang, lanjut Sohibul, pasti punya masa lalu, tetapi akan lebih realistis, jika fokus dengan keadaan saat ini.

“Objektifnya, dia punya partai dan ikut Pemilu,” tuturnya.

Sohibul pun menyampaikan, partainya membebaskan para kadernya di daerah, untuk berkoalisi dengan partai apa pun.

“Pilkada ini alat relaksasi ketegangan di pusat. Jadi, kalau di pusat itu tegang, di daerah itu rileks, karena bisa berkoalisi dengan siapapun,” ungkapnya.

21 Tahun PKS

Terlepas dari semua itu, apa rahasia PKS dapat bertahan hingga 21 tahun lebih, dengan ‘modal’ yang awalnya dianggap tak mumpuni?

“PKS beruntung punya kader yang militan, karena mereka bisa menggantikan keterbatasan logistik partai,” kata Sohibul.

“Struktur pengurus yang solid juga bisa menggantikan ketiadaan tokoh kharismatik, serta tradisi kerja sama kolektif,” jelasnya.

Tiga modal itu yang disebut Sohibul, berhasil membantu partainya bertahan, hingga 21 tahun.

Namun, bagaimana dengan tudingan suara PKS bertambah, karena HTI yang dibubarkan, kemudian mendukung PKS?

“Saya meragukan itu, karena menurut saya, HTI tidak berpolitik, bahkan tidak menerima demokrasi,” jawab Sohibul.

Soal PKS yang dipersalahkan, karena dituding menjalankan politik identitas, seperti di Pilkada DKI maupun di Pilpres 2019, bagaimana tanggapannya?

“Masalah politik identitas, saya sering katakan, menghilangkan politik Islam di Indonesia itu, sama saja seperti a-historis, dan a-sosilogis,” ujar Sohibul

“Takdir sosiologis bangsa Indonesia itu ada Islamis dan nasionalis. Jadi apa salahnya mengatakan kami adalah partai Islam?” imbuhnya.

Sohibul merasa, sekalipun partainya adalah partai Islam, PKS tak akan mengeksploitasi agama lain.

“Tak akan kita mengeksploitasi, hingga akhirnya menimbulkan kebencian. Itu kita larang, kita tentang,” pungkasnya.