Berita  

Bukan Hanya Nama KH Hasyim Asy’ari, Jong Islamieten Bond juga Luput dari Kamus Sejarah

Jong Islamieten Bond Kamus Sejarah Indonesia Jilid I
Tokoh Jong Islamieten Bond, di Museum Sumpah Pemuda. Foto: Dok/Wikipedia.

Ngelmu.co – Meskipun Kemendikbud telah memberikan klarifikasi, polemik Kamus Sejarah Indonesia Jilid I, masih berlanjut.

Pasalnya, persoalan bukan sekadar luputnya nama pendiri NU KH Hasyim Asy’ari, tetapi juga tidak adanya penjelasan apa pun tentang JIB [Jong Islamieten Bond].

Kritik, protes, bahkan kemarahan semakin menjadi, karena di saat yang bersamaan, kamus tersebut justru mengulas sejumlah tokoh komunis.

Jong Islamieten Bond

Salah satu yang mengkritik soal tidak adanya penjelasan tentang Jong Islamieten Bond di Kamus Sejarah Indoesia Jilid I adalah Hidayat Nur Wahid (HNW).

Wakil Ketua MPR RI yang juga Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu melayangkan pertanyaan besar.

“Padahal, mereka semua punya peran yang sangat penting dan diakui dalam pembentukan bangsa ini.”

“Sesuai dengan judul kamus tersebut, tapi justru malah tidak dimasukkan,” kritik HNW.

Perlu diketahui, bahwa Jong Islamieten Bond, berperan aktif dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 silam.

Pada awal abad ke-20, babak baru sejarah nasional, terbuka. Peranan kaum muda menjadi lebih menonjol.

Beberapa tahun menjelang Sumpah Pemuda, Jong Islamieten Bond, terbentuk. Dengan semangat persatuan, di atas perbedaan.

Dijelaskan oleh Dardiri Husni, dalam tesisnya di tahun 1998 untuk McGill University, yang berjudul:

‘Jong Islamieten Bond: A Study of A Muslim Youth Movement in Indonesia During the Dutch Colonial Era 1924-1942’

Husni memaparkan, di awal abad ke-20, perkembangan gerakan intelektual muda pribumi Indonesia, terjadi dalam dua tahapan.

Di mana tahapan kedua, berasal dari genesis gerakan pemuda terpelajar di Tanah Air [ditandai], dengan terbentuknya Jong Islamieten Bond.

Berbeda dengan seluruh organisasi kepemudaan (jong) yang ada sebelumnya, JIB, tidak dikhususkan untuk identitas etnis tertentu.

Bersifat plural, karena terbuka, menerima keanggotaan dari berbagai suku bangsa Indonesia.

Kesadaran nasionalisme pun tumbuh subur, menguat, di tengah pimpinan, para anggota, dan kader perhimpunan tersebut.

Gejolak Jong Java, sejak kongres tahun 1924, juga menjadi awal sejarah Jong Islamieten Bond.

Banyak Tokoh Islam yang juga Luput dari Kamus

Kembali ke HNW. Ia berani bicara, karena ia telah membaca Kamus Sejarah Indonesia Jilid I yang sempat beredar tersebut.

“Ternyata, bukan hanya pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari yang tidak dicantumkan [sebagaimana disebut dalam banyak pemberitaan].”

HNW mendapati, putra KH Hasyim Asy’ari, yakni KH Wahid Hasyim juga tidak tercantum dalam kamus.

Sedikit mengulas, KH Wahid Hasyim merupakan anggota BPUPKI [Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia], Panitia Sembilan, dan PPKI [Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia].

Bahkan, lanjut HNW, kamus juga tidak mengulas banyak tokoh Muslim lainnya yang telah diakui sebagai pahlawan nasional.

“[Tokoh Islam yang telah] Berperan konstruktif untuk menghadirkan dan membentuk Indonesia merdeka, juga tidak dimasukkan ke dalam kamus tersebut.”

“Ini maksudnya apa?” tanya HNW, melalui siaran pers, di Jakarta, Rabu (21/04) kemarin.

Ia juga mencatat, beberapa tokoh penting lain yang juga luput dari Kamus Sejarah Indonesia Jilid I. Di antaranya:

  • Mantan Ketua PB Muhammadiyah yang juga merupakan anggota BPUPKI, sekaligus pendiri MIAI [Majelis Islam A’la Indonesia] yakni KH Mas Mansoer;
  • Tokoh Masyumi yang juga pencetus serta pemimpin PDRI [Pemerintah Darurat Republik Indonesia] yakni Mr Syafruddin Prawiranegara;
  • Pencetus Mosi Integral [keputusan parlemen yang menyelamatkan NKRI] sekaligus tokoh Partai Masyumi, yakni Mohammad Natsir; hingga
  • Guru Muhammadiyah yang berjasa dengan Resolusi Djoeanda [menjadikan Indonesia betul-betul NKRI, bercirikan Nusantara, dan lain sebagainya] yakni Ir Djoeanda.

Mengulas Sederet Tokoh Komunis

HNW semakin tak habis pikir, karena sejumlah pihak yang tercatat pernah memberontak dan memecah belah bangsa, justru ada di kamus.

“Misalnya, tokoh-tokoh sentral PKI [Partai Komunis Indonesia] seperti Alimin, Semaun, Musso, Amir Syarifuddin, DN Aidit, malah disebut.”

“Bahkan, Bapak Komunis Asia Tenggara Henk Sneevliet yang sukses memecah belah Sarekat Islam menjadi putih dan merah, justru dicantumkan.”

“Termasuk organisasinya, ISDV.” HNW bertanya, apakah peran mereka lebih penting daripada tokoh-tokoh bangsa dari Umat Islam?

“[Apa lebih penting dari mereka] yang telah menghadirkan Indonesia merdeka, dan mempertahakankan Indonesia merdeka dengan NKRI-nya?” tanya HNW.

Perbandingan lain juga menjadi sorotan HNW. Sebab, PKI dapat porsi jauh lebih besar, daripada partai-partai pun ormasi Islam lain.

“PKI dijelaskan dalam 2,5 halaman [halaman 177-179], sedangkan PNI [Partai Nasional Indonesia] hanya satu halaman lebih sedikit [halaman 179-180].”

“Bahkan, NU juga hanya dijelaskan dalam satu halaman lebih sedikit [halaman 157-158], sedangkan Muhammadiyah, hanya 0,5 halaman [halaman 55].”

“Begitu juga Partai Masyumi yang melalui pimpinannya M Natsir, berhasil mengembalikan RIS [Republik Indonesia Serikat] menjadi NKRI, juga hanya disebutkan 0,5 halaman.”

Bagi HNW, menjadi sangat tendensius, tidak masuk akal, dan ‘sesat’, jika peran PKI dianggap lebih besar dan penting.

Pasalnya, PKI dua kali memberontak pemerintah Indonesia. Mereka juga dinyatakan sebagai partai terlarang oleh MPR dan hukum di Indonesia [sampai dibubarkan].

“[Namun] Oleh penyusun Kamus Sejarah Indonesia ini malah dianggap lebih besar dan lebih penting,” kritik HNW.

“Sehingga diberikan ruang penjelasan yang sangat besar, daripada peran PNI, atau Partai Masyumi yang menyelamatkan NKRI,” sambungnya.

Hal ini juga menjadi sangat ahistoris, jika PKI dinilai lebih berjasa bagi Indonesia, ketimbang berbagai ormas Islam.

“Seperti NU dan Muhammadiyah yang sangat jelas jasa serta kiprah positif dan konstruktifnya untuk Indonesia,” tegas HNW.

‘Klarifikasi dan Rombak Total Secara Benar’

HNW pun berpesan kepada Kemendikbud, khususnya Dirjen Kebudayaan Kemendikbud selaku pengarah dari penyusunan kamus.

“Klarifikasi secara benar, dan seharusnya, segera merevisi dan merombak total secara benar,” kata HNW.

Namun, karena kamus tersebut telanjur menyebar luas, dan menimbulkan dampak negatif, bagi HNW, Kemendikbud harus menjelaskan lebih lanjut.

“Mengapa kamus tersebut malah lebih mementingkan dan menyebut tokoh-tokoh PKI, partai terlarang itu?”

Di akhir, HNW pun mengingatkan slogan Jas Hijau [Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama] dan Jas Merah [Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah] yang dipopulerkan oleh Presiden pertama RI Ir Soekarno.

“Peristiwa ini semakin menunjukan bahwa selain Jas Merah, bangsa ini juga harus terus mengingat Jas Hijau,” pesannya.

“Agar adil terhadap sejarah. Agar kita tidak mengajarkan dan mewariskan arah serta kamus sejarah yang sesat,” pungkas HNW.

Penjelasan Kemendikbud

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid, menjelaskan soal Kamus Sejarah yang terunggah di situs Rumah Belajar Kemendikbud, sejak 2019 lalu itu.

“Terjadi keteledoran, yang mana, naskah yang belum siap, kemudian diunggah ke laman Rumah Belajar,” tutur Hilmar, Selasa (20/4).

“Naskah yang sebenarnya belum siap [itu] ikut masuk dalam proses penyertaan pemuatan buku tersebut, di website,” sambungnya.

Hilmar pun tak menampik kesalahan teknis dalam penyusunan kamus.

Baca penjelasan selengkapnya, di sini: Kemendikbud Tarik Kamus Sejarah Tanpa Nama KH Hasyim Asy’ari