Berita  

Bule Bingung Harga Brompton di Indonesia Melambung: Apa yang Terjadi di Sana?

Bule Bingung Harga Brompton di Indonesia Melambung

Ngelmu.co – Maraknya pesepeda pasca COVID-19 melanda Indonesia, membuat kendaraan roda dua itu laris di pasaran. Pemandangan timpang pun tak bisa diabaikan.

Ketika sebagian besar warga saat ini mengeluh soal ekonomi, beberapa lainnya justru rela membayar mahal, demi bisa membawa pulang sepeda ‘mewah’. Salah satunya Brompton.

Fenomena ini, bahkan sukses membuat warga asing kebingungan. Seperti dikutip Ngelmu, dari akun Twitter, @kismin666oys.

Ia mengunggah soal warga asal Indonesia, yang memborong Brompton, hingga membuat toko yang ada di Jerman, tutup.

“Beli Brompton online. Semua toko di Jerman, ditutup karena banyak orang +62 (Indonesia) yang borong,” tulis Kismin Boys.

Ia juga mengunggah tangkapan layar, berisi tulisan seorang bule, di grup Facebook Brompton Bicycle, yang keheranan.

“Adakah di sini (grup Brompton Bicycle) yang dari Indonesia? Saya penasaran apa yang terjadi di sana,” tulisnya.

“Kenapa kalian mencoba membeli semua Brompton, di seluruh penjuru dunia, dan membayar dengan harga yang gila?” sambung bule yang tak diketahui identitasnya itu.

“Seseorang menawar Brompton Explore, milik saya seharga empat ribu dolar (Rp58,2 juta) pekan lalu,” akuannya.

“Saya melepasnya tanpa keraguan. Teman saya menjual sepeda CHPT3 miliknya seharga enam ribu dolar (Rp87,3 juta),” imbuhnya lagi.

Bule itu pun semakin terkejut, saat salah seorang temannya minta dicarikan 15 unit Brompton baru, dengan mengatakan bahwa uang tak jadi masalah.

“Itu benar-benar gila,” tutup bule tersebut.

Cuitan yang kini sudah di-retweet 10 ribu lebih akun itu pun berhasil menyita perhatian sesama pengguna Twitter.

“Orang Indonesia g*bl*k, lagi pandemi malah banyak gaya. Besok krisis ekonomi resesi pada ngemis jual Brompton-nya. ‘Twitter do your magic’ yah,” tulis @ucing2020.

“Di Switzerland, yang notabene-nya orang kaya gaji paling tinggi aja kaga ada yang pake beginian. Banyak yang masih pake sepeda tring-tring tahun 80-90,” kata @nadya_annette, tertawa.

“Ya karena orang sono mikirnya practical dan fungsional. Point-nya ke bersepeda, bukan ke sepedanya. Kalo orang sini mah, ah syudahlah,” saut @forgraph.