Opini  

Buleleng adalah Ibukota Kebhinekaan Bangsa Kita

Kebhinekaan

Kebhinekaan Bangsa Kita terlihat di buleleng. Apabila Kita melihat hadirnya sebuah patung ‘mini’ 1,5 meter yang terletak di Jalan Veteran, Singaraja, di depan Sekolah Dasar Negeri 1 Paket Agung. Diapit oleh Kantor Bupati Buleleng, Rumah Jabatan Bupati, dan Gedung DPRD Buleleng. Kenalilah itu patung ayahanda Bung Karno, yakni Raden Soekemi Sosrodihardjo.

Beliau seorang guru Jawa yang datang dengan misi pendidikan ke Buleleng, Bali yang kemudian menikahi Ida Ayu Nyoman Rai. Ibunda Bung Karno kemudian turut serta ke Jawa dan melahirkan Bung Karno. Inilah sebab kenapa Bung Karno memiliki kesan mendalam bagi warga Bali.

Kisah cinta dan pernikahan Raden Soekemi dan Dayu Nyoman Rai tahun 1887 adalah momen bersejarah sekaligus modal sosial perjalanan negara-bangsa ini. Inilah modal menahun Masyarakat di Jawa dan Bali, dan negara-bangsa kita secara umum tidak pernah ampuh diaduk-aduk makhluk-makhluk mutant yang sontoloyo hanya dengan isu remeh-temeh (asli vs pendatang, SARA, dll) yang berpeluang mengoyak kebersamaan, oleh karena pendiri bangsa kita pun adalah buah hati dari kebhinekaan.

Dalam bahasa Saya, apabila Bung Karno adalah satu diantara founding fathers yang selalu menghidup-hidupkan suluh Bhineka Tunggal Ika, maka Buleleng sebagai lahan pertemuan Raden Soekemi dan Dayu Nyoman Rai layak disebut sebagai “ibukota” kebhinekaan bangsa Kita yang menjadi muasal kebhinekaan tersebut mewujud dalam diri Bung Karno.

Itu baru satu diantara ragam kisah dan buah dari ragam agenda yang membuat Buleleng menjadi kisah ibukota kebhinekaan. Tiga kisah lainnya adalah:

Kedua, kisah hubungan internasional. Tanda lain kematangan Buleleng sebagai “ibukota” kebhinekaan sesungguhnya juga terlihat dari peninggalan arkeologis di Labuhan Haji, desa Temukus
berupa makam tokoh Muslim asal China, namanya The Kwin Lie yang dikenal sebagai ‘ulama dengan nama ‘Haji’ Syeikh Abdul Qodir Muhammad. Lokasi tempat ia kerap berdagang dan beraktivitas tersebut juga mendapatkan pengaruh dari kehadirannya dirasakan positif hingga terjadi akulturasi dengan pembubuhan nama (Labuhan) ‘Haji’. Makam ini juga kini dikenal dengan nama Keramat Karangupit.

The Kwin Lie hadir sebagai utusan Cheng Ho sekitar 1430 M, tahun terakhir ekspedisi Laksamana Cheng Ho ke Majapahit pada era Prabu Wikramawardana dan Rani Suhita.

The Kwin Lie menjadi salah satu dari sebagian China Muslim yang diutus sebagai konsul dan enggan pulang kembali ke negerinya. Baik alasan pengembangan bisnis, faktor kenyamanan politik ataupun menjadi lebih betah karena kawin mawin dengan penduduk lokal. Inipula salah satu muasal komunitas China di wilayah pantai, Tanah Tinggi dan ragam tempat lainnya.

Ketiga, kisah ekonomi-perdagangan. Artefak hidup lainnya dari simbol kebhinekaan dalam bentuk akulturasi agama dan adat di Bali tersebut adalah kampung/desa Pegayaman, yang secara de facto telah ada pedagang Bugis-Makasar sejak 1587 M.

Singaraja, ibukota Buleleng memang sejak dulu merupakan sentral niaga karena geostrategis sebagai kota pelabuhan era lama. Banyak bangunan tua, bekas gudang, bekas syah bandar dan lokasi pecinan. Inilah muasal adanya kampung Bugis, Banjar, Jawa, Sasak, Arab, Tinggi (Pecinan). Begitupula kampung Kajangan dan Kampung Bugis yang dihuni sejak ada relasi ekonomi-perdagangan tahun 1587 ataupun para pengungsi menyusul kekalahan Sultan Hasanuddin di perang Makasar 1669.

Keempat, kisah eksistensi dan pertahanan-keamanan. Keberlangsungan kampung Pegayaman juga merupakan dampak perluasan Mataram era Sultan Agung (Raden Mas Rangsang/Prabu Hanyokrokusumo) ke wilayah Jawa Timur (Giri Kedaton, Gresik) tahun 1635/36. Hingga akhirnya memikat Raja Buleleng untuk mengadakan kerjasama pertahanan dan keamanan, waktu itu salah satu tujuan utamanya untuk memperkuat Buleleng dalam menghadapi kerajaan Hindu lain di Bali yang merongrong eksistensi Buleleng. Pasukan Mataram yang dilibatkan seluruhnya Muslim, akhirnya menetap, serta atas kebijaksanaan Raja diberi tanah pelungguhan yang menjadi cikal bakal Muslim Jawa di Buleleng.

Keempat kisah tersebut, baik yang pada mulanya adalah misi guru dan pendidikan; hubungan internasional; ekonomi dan perdagangan; eksistensi dan pertahanan-keamanan; adalah diantara inspirasi agar Kita terus menghidupkan optimisme akan Indonesia, melalui kisah Buleleng.

 

Opini ini di tulis oleh H. Arya Sandhiyudha, Ph.D dalam serial Kebangsaan seri 08.