Buya, Apa yang Engkau Cari?

Buya Mahyeldi
Kebersamaan Buya Mahyeldi Ansharullah dengan sang sopir, Asral Yuwandi, Februari 2015. Foto: Instagram/asralyuwandi

Ngelmu.co – Alhamdulillah, sudah 25 tahun, saya mengenal beliau, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri beliau.

Saya masih ingat awal pertemuan dengan beliau, ketika itu, ada kegiatan pelatihan [daurah] di Pauh.

Tepatnya di Balai Latihan Kerja (BLK) Provinsi Sumatra Barat.

Setelah beberapa hari mengikuti pelatihan, beliau pun menawari saya untuk pulang bersama.

Kebetulan, jalan yang akan beliau lalui, melewati tempat saya tinggal bersama istri, yakni daerah Gunung Pangilun.

Saya pun berbahagia dan berbangga hati, dapat pulang bersama ustaz yang sudah dikenal oleh masyarakat Sumatra Barat (Sumbar).

Tanpa pikir panjang, saya pun menaiki kendaraan yang beliau miliki waktu itu, yakni Toyota Kijang.

Kami di Sumbar, menyebutnya Kijang Petak atau Kijang Camat [jenis kijang yang dipakai oleh kebanyakan camat waktu itu]. Warna mobilnya biru.

Bukan mobil pelat merah atau mobil dinas Pak Camat, tetapi jenisnya disebut orang kijang Pak Camat.

Singkat cerita, duduk-lah saya dengan manis di atas mobil beliau ini, menuju rumah saya, di komplek PMI [Pondok Mertua Indah] Gunung Pangilun.

Bukan komplek perumahan seperti biasanya, alias masih numpang sama mertua. Hehehe.

Selain beliau, ada satu orang ustaz lagi, namanya Ustaz Marfendi Maad–sekarang menjadi Wakil Wali Kota Bukittinggi.

Waktu itu, Pak Wawako, masih menumpang mobil beliau, karena Ustaz Marfendi, belum punya mobil. Apalagi mobil dinas yang harganya sampai miliaran.

Ustaz Marfendi, hanya bisa menumpang kijang camat tadi.

Setelah duduk di atas mobil beliau, ternyata mobil kijang beliau ini tidak ada bangku di tengahnya.

Selain bangku paling belakang, dan dua buah bangku di depan, yakni bangku sopir dan bangku sebelahnya.

Maka itu, karena bangku yang tersisa hanya kursi lipat paling belakang, jadilah saya duduk di bangku belakang tersebut.

Mobil berjalan perlahan, dari BLK Pauh, menuju Ampang, dan barulah ke Gunung Pangilun.

Sesampainya di Ampang, jalan yang dilalui, tidak seperti jalan yang ada sekarang, yang telah diubah oleh beliau, sewaktu menjadi Wali Kota.

Jalan Ampang, masih sempit. Hanya dapat berselisih dengan satu mobil lainnya.

Mobil berjalan pelan dan kencang memasuki daerah Ampang, sambil berbincang, kami sekali-kali tertawa di dalam mobil.

Sampai tiba suatu saat, mobil yang agak kencang, yang dikemudikan beliau tersebut, mengerem mendadak.

Walau bannya tidak berdecit seperti ketika Pajero Sport zaman sekarang di-rem.

Namun, cukup membuat saya yang duduk di bangku belakang, ‘terbang’ ke depan.

Sebab, tidak ada bangku penahan di depan saya. Maka… Gubraakk! Saya pun tersungkur ke depan.

“Ndeeh Ustaz, kok mode ko amuah tibo ambo dilua dari kaco muko ko mah.”

Begitu ucap saya kepada beliau yang sedang asyik menginjak gas mobil kembali, setelah mengerem mendadak tadi.

“Beliau manginjak gas jo rem ko, jo tumik mah,” jawab Ustaz Marfendi sembari tertawa, kepada saya yang sudah kembali duduk.

Setelah kurang lebih tiga kali tersungkur di mobil kijang camat–karena beliau rem mendadak–saya pun sampai di rumah.

Dengan membawa oleh-oleh cerita kepada istri. Tersungkur di atas mobil. Hahaha.

Setelah sekian lama bertemu beliau hanya sesekali, akhirnya pada 2003, pertemuan kami makin intens.

Perjalanan waktu. Di awal 2009, beliau yang dilantik jadi wakil wali kota, mengajak saya untuk bergabung, membantu di Pemkot Padang.

“Baa ka Padang wak, gabuang basamo.”

Saya pun menjawab ketika itu, “Ndak usah-lah, Ustaz, bia ambo di Provinsi (DPW) ko sajo.”

“Oo baitu, yo lah,” respons beliau singkat, di Gedung DPRD Provinsi Sumbar, waktu itu, saat saya diminta menemui beliau di sana.

Sekitar bulan Juni atau Juli 2009, saat beliau menjadi Wawako Padang, saya dapat telepon dari sekretaris pribadi beliau waktu itu, Ustaz Editiawarman.

“Pak, bisa bantu beliau agak sabulan? Karena sopir beliau sadang sakit kecelakaan, kakinyo patah.”

Demikian pemberitahuan sekretaris pribadi beliau, minta bantuan saya, karena sopirnya tidak bisa bertugas menyopiri beliau.

Saya pun berpikir, sudah dua kali beliau minta saya untuk membantu, dulu ketika awal pelantikan, sekarang melalui sespri beliau.

“Enggak apalah, saya bantu, toh cuma sebulan,” batin saya ketika mendengar permintaan sespri wawako tersebut.

Namun, ternyata waktu sebulan yang disampaikan oleh sespri, berlanjut sampai beliau selesai di Kota Padang.

Saya membantu beliau di Pemko Padang dari 2009, sampai 2020.

Banyak hal yang saya jalani bersama beliau. Salah satu yang menarik, saat periode pertama beliau jadi Wali Kota, berpasangan dengan Emzalmi.

Waktu itu, pengadaan kendaraan dinas lapangan yang baru, cuma bisa satu buah, yakni mobil fortuner.

Sementara yang dipakai sebelumnya, mobnas fortuner Wali Kota yang lama.

Menariknya, bukan karena mobil barunya satu, tetapi keputusan yang beliau berikan saat itu.

“Antarkan mobil dinas yang baru ini ke Jakarta, untuk mobilitas di sana, biar yang lama, saya pakai di sini,” tutur Buya.

“Karena kalau mobil baru di sini [Padang], tentu yang bisa memakai hanya saya, tapi kalau di Jakarta, bisa saya dan pak wakil memakai,” imbuhnya.

Begitu perintah beliau pada Kabag Umum, agar membawa mobnas tersebut ke Jakarta.

Sebagai mobil operasional Wako dan Wawako Padang di Jakarta.

Dalam penggunaan mobnas baru tersebut di Jakarta, tidak jarang saya dengar beliau, harus mengalah.

Pasalnya, fortuner dipakai oleh yang lain, pada saat bersamaan. Sehingga beliau harus mengalah, pakai mobil Innova sewaan.

Pada masa beliau jadi Wali Kota Padang periode pertama itu juga, beliau memerintahkan sopir untuk mengantar anak-anak sekolah, pulang ke rumah.

Sebab, mobil angkot mogok massal.

Mobil dinas fortuner Wali Kota yang beliau pakai itulah, yang mengantar anak-anak pulang sekolah waktu itu.

Berebutlah mereka naik mobil dinas Fortuner tersebut. Kapan lagi naik mobil Wali Kota?

Periode kedua jadi Wali Kota, beliau meminta bagian umum untuk mengadakan mobnas yang sesuai anggaran, yakni mobnas Pajero, untuk mobil lapangan.

Namun, setelah menunggu beberapa lama, ternyata pengadaan mobnas Pajero, tidak bisa.

Katanya, tidak keluar si e-katalog yang menjadi acuan untuk pengadaan mobnas wali kota.

Setelah menunggu terlalu lama, akhirnya beliau mengalah untuk pengadaan mobnas, kembali pada merk Toyota Fortuner [seperti pengadaan mobnas wali kota periode pertama].

Perjalanan waktu beliau mengabdi pada masyarakat adalah:

  • Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumatra Barat;
  • Tiga periode di Kota Padang;
  • Satu periode [5 tahun] sebagai Wawako; dan
  • Dua periode [7 tahun] sebagai Wali Kota.

Setahu saya, beliau dapat mobil lelang satu buah, yakni salah satu mobnas Fortuner, ketika beliau menjadi Wali Kota Padang.

Sehingga dengan jumlah sembilan anak, beliau cuma punya dua mobil pribadi.

Pertama, mobil yang beliau beli secara angsuran, yakni Toyota Innova (2012), dan kedua, mobil Toyota Fortuner lelang mobnas BA 1 A.

Itulah mobil pribadi yang beliau miliki untuk anak. Selain menggunakan secara bergantian, dibantu oleh mobnas yang diperuntukan untuk rumah tangga.

Baik ketika menjadi wali kota maupun gubernur.

Ya, mobil URT [urusan rumah tangga] tersebut untuk mengantar ke sekolah, juga untuk ke pasar membeli sayur.

Alhamdulillah, setelah beliau pindah ke provinsi, menjadi orang nomor satu di provinsi ini, Allah, masih memberi amanah saya untuk ‘mengantar’ beliau.

Menuju berbagai pelosok daerah Sumatra Barat, yang luas ini.

Masih tetap dengan gaya sederhana dan apa adanya. Termasuk dalam memilih mobnas.

Tidak ada yang berubah. Salah satunya adalah keinginan beliau untuk memiliki mobnas yang mumpuni, untuk menunjang kinerja beliau, yang selalu memiliki jadwal penuh, dari Subuh hari ke Subuh hari berikutnya.

Tidak jarang orang bertanya, “Apo makan beliau tu, Pak? Indak ado paneknyo doh. Pagi di Padang, jam 10.00 di Bukittinggi, beko jam 13:00 di Pasaman, jam 17:00 lah di Padang lo liak.”

Begitu ujar orang-orang yang menanyakan makanan beliau, sehingga memiliki fisik prima, meski aktivitasnya sangat padat.

Pada awal beliau menjabat sebagai gubernur, untuk mobnas, ada yang menawarkan membeli Toyota Landcruiser.

Namun, karena banyak masukan, akhirnya pembelian mobnas Landcruiser, tidak jadi.

Sebab, mobil tersebut adalah mobil kelas menengah ke atas, dan itu tidak sesuai dengan gaya beliau yang sederhana.

Sambil menunggu pengadaan mobil baru, beliau memakai mobnas gubernur sebelumnya, yakni Fortuner.

Saat awal memakai mobnas Fortuner BA 1 tersebut, remnya blong di daerah Sitinjau Lauik.

Mungkin karena jam terbang yang tinggi, serta kecepatan mencapai 170 km/jam, saat mengaspal di Sumatra Barat.

Beberapa waktu setelah yang pertama, remnya kembali blong, kali ini di daerah Silaiang Kariang.

Mulai dari Silaiang sampai Malibou Anai, baru remnya ada kembali, dengan kondisi rem kocok.

Saat menuju Sumpur Kudus, Tanah Datar, remnya kembali blong untuk ketiga kalinya.

Padahal, perbaikan dilakukan di bengkel resmi Toyota, dan itu terjadi pada rentang waktu satu bulan.

Baca Juga:

Akhirnya, diputuskan untuk meminjam mobnas salah satu kepala dinas di provinsi.

Lebih kurang tiga bulan menggunakan mobnas pinjaman salah satu Kadis tersebut, akhirnya, keluar juga mobnas untuk gubernur pilihan rakyat ini.

Mobnas tersebut biasa saja untuk masyarakat Sumbar saat ini.

Apalagi digunakan untuk mobilitas kegiatan gubernur terhadap rakyat Sumbar. Namanya Pajero.

Namun, perjalanan beliau yang ditemani Pajero–selama kurang lebih dua bulan–nampaknya harus terhenti.

Sebab, ada ‘pihak’ yang lebih membutuhkan Pajero tersebut.

Sekali lagi, beliau harus mengalah untuk ditemani Pajero, menemui masyarakat Sumbar, di berbagai pelosok negeri.

Beliau sadar, bahwa beliau telah menyatakan sepenuhnya mewakafkan diri dan keluarganya, untuk rakyat yang dicintainya.

Bukan untuk kesenangan dan kenyamanan beliau.

Semoga Allah meridhoi beliau. Iya, beliau adalah Gubernur Sumatra Barat Mahyeldi Ansharullah. Barakallahu fik, Buya.

Oleh: Asral Yuwandi, Sopir Gubernur Sumbar