Pengertian Cerpen: Struktur, Ciri-Ciri, Berbagai Unsur, dan Contohnya

Cerpen adalah
Sumber Gambar: livemorezone.com

Ngelmu.co – Sebelumnya, Ngelmu sudah membahas soal Puisi. Kali ini, kami akan mengulas tentang cerita pendek, tentu, juga dengan melampirkan contohnya. Cerpen adalah jenis karya sastra yang berbentuk prosa naratif fiktif, begitu singkatnya.

Sumber Gambar: miro.medium.com

Anda pernah mendapat tugas membuat cerpen, atau justru sedang belajar—bahkan sudah terbiasa—menulisnya? Mari diskusi bersama.

Pengertian Cerpen adalah

Cerpen adalah jenis karya sastra yang berbentuk prosa naratif fiktif—fiksi—di mana isinya menceritakan atau menggambarkan kisah suatu tokoh, lengkap dengan konflik, hingga penyelesaiannya; secara ringkas dan padat.

Cerpen adalah cerpen adalah salah satu karya sastra yang berbentuk, atau pada umumnya, isi akan fokus pada satu tokoh dan situasi tertentu, sampai ke puncak masalah (klimaks), serta penyelesaiannya.

Pengertian Cerpen Menurut Para Ahli

Namun, seperti apa pengertian cerpen menurut para ahli? Berikut 4 di antaranya:

Menurut A Bakar Hamid, Pengertian Cerpen adalah

Seharusnya, cerpen dilihat dari kuantitas kata yang digunakan; antara 500-20.000 kata, terdapat plot, satu karakter, dan kesan.

Hans Bague Jassin

Cerita singkat yang harus memiliki bagian penting; perkenalan, pertikaian, dan penyelesaian.

Menurut Nugroho Notosusanto, Pengertian Cerpen adalah

Cerita yang panjangnya berkisar 5.000 kata, atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi. Di mana isinya, fokus pada tokoh utama; lengkap.

Saini KM dan Soemardjo

Cerita fiksi—tidak benar-benar terjadi—tetapi tetap mungkin menjadi nyata, kapan dan di mana saja; relatif singkat.

Struktur Cerpen adalah

Terdapat enam elemen penting dalam sebuah cerpen. Gunanya, membangun teks, hingga membentuk cerita yang utuh. Berikut di antaranya:

Abstrak

Ringkasan—inti—dari cerpen, yang menjadi gambaran awal cerita. Bersifat opsional; kalau tak digunakan pun boleh.

Orientasi

Orientasi, dalam cerita cerpen merupakan hal yang berhubungan dengan waktu, suasana, serta tempat, yang ada dalam cerita pendek.

Komplikasi

Urutan kejadian-kejadian yang dihubungkan, berdasarkan sebab-akibat. Watak atau karakter suatu tokoh dalam cerpen, bisa dilihat pada struktur ini.

Evaluasi

Struktur konflik yang terjadi, dan mengarah kepada klimaks. Di titik ini, mulai ditemukan solusi; penyelesaian atas masalah yang ada.

Resolusi

Resolusi, dalam cerita cerpen adalah bagian di mana penulis, akan menjelaskan solusi atas masalah yang dialami oleh tokoh dalam cerpennya.

Koda

Sedangkan koda, dalam cerita cerpen adalah nilai moril—pelajaran—yang bisa dipetik oleh para pembaca.

Ciri-Ciri Cerpen adalah

Mengenali sebuah karya tulis adalah cerpen atau bukan, sebenarnya cukup mudah; melalui karakteristik. Tetapi berikut ciri-ciri pada umumnya:

  • Jumlah kata dalam satu judul kurang dari 10.000 kata;
  • Isi bersifat fiktif atau fiksi;
  • Hanya terdapat satu alur (tunggal);
  • Jauh lebih singkat dari Novel;
  • Pada umumnya, isi diangkat dari kejadian sehari-hari;
  • Biasanya, menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh pembaca;
  • Bentuk penokohan sangat sederhana;
  • Dapat meninggalkan kesan dan pesan mendalam.

Maka apabila Anda, menemukan sebuah karya sastra, tapi tak memenuhi beberapa ciri-ciri yang disebutkan, tulisan itu tidak termasuk cerpen.

Unsur-Unsur Cerpen adalah

Cerpen adalah salah satu karya sastra yang berbentuk singkat. Secara umum, terdapat dua unsur penting di dalamnya; intrinsik dan ekstrinsik.

Unsur Intrinsik Cerpen adalah

Unsur pembentuk yang berasal dari dalam cerpen itu sendiri. Beberapa hal yang termasuk di dalam unsur ini adalah:

  • Tema, gagasan utama;
  • Alur atau plot, jalan cerita;
  • Latar atau setting, berhubungan dengan tempat, waktu, dan suasana;
  • Tokoh, pelaku;
  • Penokohan, pemberian sifat dan watak tokoh;
  • Sudut pandang, cara padang penulis cerpen dalam melihat peristiwa;
  • Gaya bahasa, cara penulis menyampaikan cerita. Misalnya, menggunakan diksi dan majas;
  • Amanat atau pesan (moral) yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca pun pendengar.
Unsur Ekstrinsik Cerpen adalah

Unsur pembentuk yang berasal dari luar. Beberapa yang termasuk di dalam unsur ini adalah:

  • Latar belakang masyarakat, hal-hal yang memengaruhi alur cerita, misalnya ideologi, kondisi politik, sosial, hingga ekonomi masyarakat;
  • Latar belakang pengarang, hal-hal yang berhubungan dengan pemahaman serta motivasi penulis dalam membuat tulisan, misalnya aliran sastra, kondisi psikologis, hingga biografi;
  • Nilai yang terkandung dalam cerita, seperti agama, sosial, budaya, hingga moral.

Contoh Cerpen adalah

Sumber Gambar: ca-times.brightspotcdn.com

Contoh cerpen adalah, karangan Yulina Trihaningsih.

Surat untuk Bunda

Saat aku mengingat Bunda, maka aku akan menulis surat untuknya. Dengan begitu, rindu yang menjeratku, akan mengurai perlahan, dan surat itu akan menjadikan kenanganku kekal; dalam ingatan.

Namun, saat Ayah mengingat Bunda, Ayah akan duduk termenung memandang langit malam yang hitam. Sendiri di halaman belakang, sementara angin dingin menyelusup membekukan tulang.

Ah, sudah berapa tahun kenangan itu membeku? Bunda, tidak pernah bertambah tua di kepalaku.

Namun, kerut di wajah Ayah, bertambah rapat. Rambut putih pun menghiasi kepalanya, cepat. Aku, menjulang tanpa bisa dicegah.

Bukan lagi anak kecil 11 tahun yang meributkan mainan yang kuinginkan. Semua orang bilang, walau Bunda sudah tiada, tapi ia menjelma dalam diriku.

Senyum di bibir yang penuh dengan lesung di pipi. Mata bulat cerah dengan alis tebal rapi. Hingga membuat siapa saja yang memandangku, tersenyum haru. Bahkan menitikkan air mata.

“Itu karena mereka teringat Bunda. Kamu sangat mirip dengannya,” kata Ayah, menjelaskan sambil tersenyum lembut.

Aku menatap Ayah. Menemukan sosok lelaki kesepian yang memendam rindu pada kekasihnya. Lima tahun sudah kami saling mengisi ruang kosong di hati. Namun, tidak bisa benar-benar terisi.

Seperti saat kau dahaga, dan hanya menemukan setetes embun. Ruang kosong itu tetap ada. Tidak bisa hilang.

Kelanjutan Contoh Cerpen adalah

Malam ini, aku menulis surat yang ke-137, untuk Bunda. Apakah aku jarang mengingat Bunda? Oh, aku mengingatnya sepanjang waktu. Hanya saja, kebanyakan surat itu kutulis pada udara.

Angin yang akan langsung membawanya pergi, menyampaikan langsung pada Bunda. Yah, begitulah setidaknya yang kuharapkan.

Dear, Bunda…

Sedang apa Bunda sekarang? Aku sedang kangen sekali pada Bunda. Aku tahu, Ayah juga merasakan yang sama, karena sudah tiga malam berturut-turut, Ayah duduk di bangku Bunda, di halaman belakang.

Rasanya, Ayah menyendiri semakin lama sekarang. Kadang hingga satu jam. Kadang, bahkan aku tidak tahu jam berapa akhirnya Ayah masuk ke dalam rumah.

Bunda, aku harus bagaimana? Bahkan aku merasa perlu bertanya pada Mika, tentang hal yang menggangguku akhir-akhir ini.

Tadi siang di kantin, kami ngobrol cukup lama. Terkadang, kalau pikirannya sedang lurus, Mika adalah pendengar dan pemberi saran yang baik.

Aku bertanya, berapa lama cowok bisa tahan mencintai satu gadis saja? Tampaknya Mika, tidak siap dengan pertanyaanku itu.

Ia mengerutkan keningnya lama, dan kemudian balik menanyakan pertanyaan yang bagiku konyol sekali.

“Gebetan termasuk, enggak?”

“Gebetan enggak termasuk! Pernah enggak, sih, kamu betul-betul mencintai seseorang? Kalau kamu cinta, tidak akan ada ruang untuk orang lain di hati kamu, ‘kan?”

Mika memperhatikan wajahku serius, untuk sesaat, aku seperti bisa melihat matanya menyiratkan sesuatu. Tapi ia buru-buru menoleh ke samping, sambil tertawa keras. Ia menertawakanku, Bunda!

“Aku enggak nyangka kamu bisa se-filosofis ini. Kamu sakit, Brin?”

Aku menggeleng keras. Rasanya malu membahas tentang Ayah dengan Mika. Namun, aku masih tetap memerlukan pendapatnya sebagai cowok.

“Sudah jelas kamu belum pernah jatuh cinta, Mika. Sayangnya, aku memerlukan pendapat ahli.”

Aku sedikit menyesal bertanya padanya. Kadang, Mika itu seperti anak kecil. Lebih kekanakan dari aku, bahkan. Tapi dia sahabatku, karena itu, aku percaya padanya.

Lalu aku bertanya lagi, berapa lama cowok bisa setia pada kenangan?

“Kalau kamu bertanya padaku, jawabanku, ‘Aku enggak peduli pada masa lalu. Aku hidup di masa sekarang, dan enggak punya waktu meratap yang sudah lewat. Gebetanku yang dulu-dulu, ke laut aja, deh!’.”

Melihatku yang diam, Mika terlihat penasaran, “Eh, tapi, sebenarnya ada apa, sih, Brin?”

Aku hanya bisa mengembuskan napas, keras.

“Aku ingin tahu, berapa lama lagi Ayah sanggup mencintai Bunda.”

Maaf Bunda, aku sama sekali tidak berharap Ayah akan melupakan Bunda. Aku juga tidak bisa membayangkan ada wanita lain di samping Ayah, selain Bunda.

Mika tersenyum lucu. Terkadang, ia terlihat cukup tampan dengan mimiknya itu.

“Mengapa kamu ingin tahu?”

Aku menatap Mika dengan kening berkerut, “Karena Ayah terlihat sangat kesepian. Sampai-sampai aku sering memergoki Ayah, berbicara sendiri pada foto Bunda, di halaman belakang. Kadang, aku takut Ayah akan jadi gila karena merindukan Bunda.”

Mengertikah sekarang, Bunda? Andai Bunda dapat melihat wajah Ayah sekarang. Aku sungguh ingin Ayah bahagia.

Lalu, surat itu kumasukkan ke dalam laci meja belajarku.

***

Ayah terlihat serius dan tenang. Sesekali ia mereguk cappuccino di hadapannya, lalu kembali menatapku. Aku balas menatap Ayah, menerka apa yang dipikirkannya.

Sudah 10 menit kami duduk di kafe ini tanpa berbicara sepatah kata pun, dan aku adalah tipe orang yang cukup sabar untuk menunggu.

“Bagaimana sekolahmu? Banyak tugas akhir-akhir ini?”

Aku mengedik, “Biasa saja. Sekolah adalah sekutu tugas dan makalah.”

Ayah tersenyum kecil, merapikan posisi kacamatanya yang agak turun. Sejujurnya, Ayah itu ganteng luar biasa. Tidak terhitung lirikan mata wanita ke arahnya, yang kupergoki, saat kami jalan bersama.

“Seringkah kamu mengingat Bunda, Brin?”

Aku menatap Ayah cepat. Entah mengapa, aku merasa sedikit tegang dan berdebar.

“Setiap saat, Ayah.”

“Ayah juga,” gumamnya, seperti sedang melamun.

Kalau ada yang ingin Ayah bicarakan padaku sekarang, aku sungguh berharap Ayah segera melakukannya.

“Hmm. Ayah ingin minta pendapatmu,” ia mengangkat wajah.

“Ayah rasa, Ayah tertarik pada seorang wanita.”

Aku mencengkeram pinggiran kursi yang kududuki erat. Walau rasanya pembicaraan ini sudah bisa kuperkirakan sejak lama, tetapi rasanya aneh mengetahui.

Aku seperti mendapatkan satu pukulan di dada. Bayangan wajah Bunda, menari-nari di pelupuk mataku. Memikirkannya akan tersingkir oleh wanita lain, sedikit membuatku tidak rela.

Wajah Ayah tetap terlihat tenang, menanti jawabanku. Hanya saja, butir-butir keringat di dahinya pada ruangan sedingin ini, meyakinkanku, kalau Ayah pun sesungguhnya gugup.

Aku teringat surat terakhirku pada Bunda. Mungkinkah ini jawaban atas segala kekhawatiranku? Bahwa kehadiran seorang wanita lain dalam hidup Ayah, akan mampu mengembalikan kebahagiaannya yang terenggut saat Bunda tiada.

Ayah tersenyum melihatku yang terdiam dan seperti tidak berminat untuk bersuara.

“Kamu tahu, Brin, sampai kapanpun tidak ada yang bisa menggeser posisi Bunda di hati Ayah. Ayah teramat mencintainya. Kalaupun saat ini Ayah menyukai wanita lain, bukan berarti Ayah akan menghapus Bunda dari kehidupan Ayah.”

Ayah terdiam sebentar.

“Ayah tahu, Ayah tidak akan pernah bisa mengisi kekosongan tempat Bunda dalam kehidupanmu, dan sungguh menyakitkan bagi Ayah, mengetahui kamu menyimpan sendiri segala kisah dan dukamu.”

“Ayah pikir, kamu pun memerlukan tempat untuk berbagi. Seseorang yang nyata dalam hidup ini, yang dapat masuk dan lebur dalam rasamu.”

Aku tertegun. Mengerjapkan mata, menahan bulir air yang mendesak turun. Entah bagaimana, keterusterangan Ayah menyentuhku.

Aku sayang padanya. Sangat sayang. Bahkan, dalam setiap keputusan yang akan diambilnya, tetap diriku yang menjadi pertimbangan.

Jauh di lubuk hatiku, aku tahu apa yang Ayah katakan adalah benar. Aku tahu, hanya karena Ayah begitu menghargaiku, maka ia meminta pendapatku akan hal ini.

Walau ia sesungguhnya, tidak memerlukan izinku untuk mencintai wanita lain. Aku sendiri saksinya, betapa kenangan Bunda, abadi selama lima tahun ini.

Hidup dalam hari-hari Ayah dengan caranya sendiri. Sama sepertiku yang mengabadikan kenangan Bunda, dengan surat-surat yang kutulis.

Aku pikir, setiap orang memiliki caranya sendiri untuk melarung kesedihan. Maka aku pun tersenyum lembut pada Ayah.

“Aku ingin bertemu wanita itu, Ayah.”

Bisa kulihat kilat bening di mata Ayah saat ia berucap lirih, “Terima kasih, Sayang.”

Contoh Cerpen adalah Masih Berlanjut…

Tidak sabar rasanya bertemu Mika di sekolah. Berita besar ini tidak sanggup kusimpan sendiri. Cowok itu ada di kelas. Asyik membaca Sherlock Holmes.

“Aku punya berita besar,” bisikku di hadapannya. Mika menengadah dari buku yang dibacanya.

“Biar kutebak, hmm, pasti tentang ayahmu. Ia, akhirnya, sudah bertemu wanita yang tepat untuk menjadi ibu putrinya.”

Aku menahan napas.

“Dari mana kamu tahu?”

Mika mengangkat bahu, “Kamu sangat mudah dibaca, Brin.”

Aku duduk di hadapannya sambil menopang daguku dengan dua telapak tanganku.

“Jadi, bagaimana rasanya?” Mika menatapku.

Aku mendesah, “Tidak seperti yang kubayangkan. Lega. Sekaligus takut.”

Sesaat, hanya ada kebisuan di antara kami.

“Menurutmu, ibu tiri itu seperti apa?” tanyaku menerawang.

Sedetik kemudian kudengar tawa keras Mika.

“Oh, jadi semua kegilaan ini tentang dongeng ibu tiri yang kejam?”

Aku meliriknya sedikit kesal, “Memangnya aku anak kecil? Tetap saja, seorang asing yang harus kamu panggil ibu bisa menjadi mimpi burukmu.”

“Itu karena kamu memikirkannya seperti itu. Berpikir positif saja. Aku yakin, ayahmu tidak akan salah memilih, dan kamu harus tahu, tidak ada yang tidak akan jatuh cinta padamu, Brin. Kamu, manis.”

Mendadak aku berdebar mendengar kata-kata Mika. Menjadi temannya sejak SMP, belum pernah sekali pun ia memuji aku. Walau aku tahu, ia gemar bercanda.

Namun, entah mengapa, aku bisa merasakan ketulusan dari kalimat terakhirnya tadi.

“Brin, aku jadi ingat pertanyaanmu tentang berapa lama cowok bisa tahan mencintai satu gadis saja.”

Aku mendongak menatap Mika.

“Sudah lima tahun aku mencintai gadis yang sama.”

Aku membelalakkan mata. Wow, ini berita besar!

“Siapa dia, Mika?” kejarku penasaran.

Mika mengalihkan pandangannya ke jendela, “Kamu.”

***

Malam ini, aku menulis surat yang ke-138 untuk Bunda.

Dear, Bunda…

Apakah cinta bisa sesakit ini? Mengapa saat aku mulai bisa merasakan sedikit saja manis dalam hariku, begitu cepatnya ia berubah menjadi getir?

Hari ini, Ayah mengajakku bertemu seseorang. Pasti Ayah sudah memberi tahu Bunda, ‘kan?

Aku sungguh berharap Ayah bisa bahagia. Aku berdoa wanita itu dapat mencintai Ayah dan aku, seperti Bunda.

Maka, saat aku duduk di dalam ruang kafe, tempat pertemuan kami, pikiranku sudah banyak berkelana membayangkan sosok wanita itu.

Apakah ia seseorang yang banyak bicara? Mungkinkah ia secantik Bunda? Apakah ia memiliki kesukaan yang sama dengan kami? Akankah ia, menyukaiku?

Tuhan tidak lama membuatku penasaran.

Wanita itu hadir dalam sosok yang tidak jauh dari bayanganku. Tinggi kami hampir sama. Ia terlihat anggun dan lembut. Murah senyum, walau tidak terlalu banyak bicara.

Baru kuketahui, ia adalah teman SMA Ayah, dulu. Ia pun janda. Suaminya meninggal tujuh tahun yang lalu, akibat kecelakaan lalu lintas.

Semuanya sempurna, kecuali satu hal. Mika adalah anaknya. Mungkin selama ini, aku tidak pernah menyadari, bahwa Mika telah menumbuhkan perasaan manis dalam hatiku.

Mungkin aku tidak akan pernah menyadari, kalau saja ia tidak mengakui perasaannya itu padaku.

Kini, seperti ada yang tercerabut paksa dari tubuhku. Meninggalkan luka yang perih, dan air mata yang tidak bisa berhenti mengalir.

Lalu, surat itu kumasukkan ke dalam laci meja belajarku, dan aku pun menangis sambil membenamkan wajahku di meja yang keras.

***

Mika menghampiriku yang sedang duduk di ayunan kayu, di bawah pohon mangga, di halaman depan. Ia berdiri diam di hadapanku.

“Kamu sudah tahu sebelumnya, ‘kan?” tuduhku padanya.

Mika tersenyum, “Maafkan aku, Brin.”

Aku memalingkan wajahku, “Rasanya, sulit menerimamu sebagai saudaraku.”

“Seandainya kamu tahu yang bergejolak di hatiku.”

Kata-kata Mika, malah membuatku semakin merana. Kutatap ia dengan putus asa.

“Hei, bergembiralah! Menjadi adikku tidak seburuk itu. Aku kakak yang baik, dan akan selalu menyayangimu.”

Bulir air mataku tidak lagi bisa kubendung.

“Aku harus bagaimana, Mika?”

Mika diam tidak menjawab. Hanya matanya yang mencoba menghiburku.

“Bukankah ini lebih baik, Brin? Aku milikmu selamanya. Kau boleh menggangguku dan merecokiku sepuasmu. Sampai kamu sendiri bosan, dan memilih meninggalkanku.”

Aku mengayunkan tubuhku kencang. Angin menerbangkan rambutku, air mataku, dan kuharap juga kesedihanku.

Setelah beberapa saat, ayunan itu berhenti sendiri. Kutatap Mika dengan senyum tulus, “Yah, kau benar. Menjadi adikmu tidaklah seburuk itu.”

“Aku tahu,” balasnya tersenyum.

“Aku harus pergi sekarang. Tapi kamu bisa menulis surat untukku. Seperti yang selama ini kamu lakukan kepada Bunda.”

Kesedihanku mengurai. Mika benar. Banyak cara untuk melarung kesedihan. Aku termenung. Dua tahun sudah berlalu sejak Mika, masuk rumah sakit dan tidak pernah keluar lagi dengan berdiri.

Selama ini, ia tetap setia menemaniku, walau hanya dalam pikiranku. Rasanya, sudah tiba waktuku berziarah ke makamnya.

Itulah penjelasan Ngelmu, mengenai pengertian, struktur, ciri-ciri, unsur-unsur, hingga contohnya. Semoga bermanfaat, ya.