Corona, Black Death, dan Keimanan

Corona, Black Death, dan Keimanan

Ngelmu.co – Sepucuk surat sampai di tangan Khalifah Umar bin Khattab. Pengirimnya Abu Ubaidah bin Al Jarrah, seorang sahabat yang menjadi tameng Rasulullah di Perang Uhud. Umar, kemudian membacanya.

“Wahai Amirul Mukminin, aku telah memahami keperluan Anda. Tetapi aku sedang berada di tengah-tengah kaum Muslimin yang sedang ditimpa malapetaka, di Syam ini. Dan tidak patut aku menyelamatkan diri sendiri. Aku tidak mau meninggalkan mereka, sampai Allah menjatuhkan takdir-Nya atas diriku dan mereka. Bila surat ini telah sampai di tangan Anda, bebaskanlah aku dari perintah Anda, dan izinkanlah aku tetap tinggal di sini,” (Al-Basya, 2005: 7).

Usai membacanya, Umar tak kuasa menahan tangis. Air matanya tumpah. Membayangkan apa yang sedang dihadapi Abu Ubaidah dan kaum Muslim.

Abu Ubaidah menulis surat tersebut di Syam (Palestina), pada 17 Hijriyah (sekitar 639 M).

Di negeri baru tersebut, sedang berlangsung wabah penyakit (tha’un), tepatnya di Amwas.

Para sejarawan Muslim klasik, hampir tidak ada yang melewatkan peristiwa ini, ketika menulis kepemimpinan Khalifah Umar. Sebab, musibah tersebut teramat dahsyat.

Tercatat, sekitar 25.000 sampai 30.000 orang meninggal. Abu Ubaidah menjadi salah satu korbannya.

Dia wafat, tak lama usai Umar menerima suratnya. Bersama Abu Ubaidah, meninggal pula Mu’adz bin Jabal.

Tha’un merupakan penyakit kulit mematikan. Sejenis penyakit kusta atau lepra.

Berasal dari virus yang mulanya menyerang hewan ternak. Akan muncul borok pada kulit orang yang terjangkit.

Abu Ubaidah menulis surat itu, karena teringat dengan pesan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Saat masih hidup, beliau berpesan kepada para sahabat, jika ada wabah mematikan.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:

“Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu,” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).

Baca Juga: Ari Wibowo soal Banjir, “Tangani dengan Logika, Bukan Kata atau Ayat”

Terbayangkan, bagaimana jika Abu Ubaidah kembali ke Madinah? Bisa jadi, penduduk Madinah terjangkiti.

Orang Madinah menularkannya ke penduduk Mekkah, dan seterusnya. Seluruh Jazirah Arab akan terjangkiti wabah mematikan tersebut.

Penyakit lebih mengerikan terjadi di Eropa, pada abad ke-14 (sekitar 7 abad setelah peristiwa tha’un di Amwas).

Bernama Black Death. Membunuh sedikitnya 75 juta jiwa (bahkan sampai 200 juta).

Orang yang terkena penyakit ini, biasanya karena digigit tikus yang membawa bakteri Yersinia pestis.

Selain itu, hewan yang terinfeksi seperti anjing dan kucing, juga bisa menginfeksi pemiliknya.

Bakteri ini bertahan, karena tingkat rendah beredar di antara populasi tikus tertentu.

Hewan yang terinfeksi, berfungsi sebagai reservoir jangka panjang bagi bakteri.

Bandingkan jumlah korban dari kedua wabah tersebut. Tha’un jauh lebih sedikit dibandingkan Black Death di Eropa.

Pada titik inilah, saya berani menyimpulkan bahwa kacamata iman tidak boleh ditinggalkan saat kita menghadapi wabah penyakit.

Begitu pula saat Virus Corona menyerang sekarang.

Iman kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah salah satu Rukun Iman.

Jika kita beriman, maka kita pun harus mengikuti pesan beliau, ketika sebuah wabah penyakit hadir, yakni dengan melakukan isolasi, agar virus tidak menyebar dan terkendali.

Bukan semata-mata dengan sains. Lalu menanggalkan agama dan keimanan. Seperti yang ramai di Twitter:

WNI positif Corona udah resmi dinyatakan ada di Indonesia. Ga usah mungkir/denial lagi. Hentikan pembodohan publik pake narasi agama, seolah2 Indonesia kebal, seolah muslim kebal. Corona itu ranah kedokteran, bukan agama. Cara mengatasinya mesti pake sains, bukan iman.

 

Erwyn Kurniawan