Opini  

Demi Hijab Terusir dari Negara

Demi Hijab Terusir dari Negara

Saya menerima banyak DM (Direct Message) setelah mengunggah tulisan Fatma Kavakci Abushanab kemarin (4/8). Sosok penerjemah yang dipilih Presiden Erdogan untuk mendampinginya di KTT NATO yang dilangsungkan di Brussel itu sepertinya sangat menginspirasi.

Wajah cantik, senyum penuh percaya diri yang menunjukkan kecerdasannya, dan yang penting hijab yang menutup auratnya. Prestasinya memang luar biasa!

Berkat Perjuangan Sang Ibu

Kalaulah ia sekarang bisa leluasa mengenakan hijab, bahkan bertemu dengan para pemimpin dunia, sedikit banyak itu berkat perjuangan ibunya, Prof Merve Kavakci.

2 Mei 1999, dua puluh dua tahun lalu…

“Keluar! Di sini (parlemen) bukan tempat untuk menantang negara. Bawa wanita itu ke jalur,” perintah garang itu keluar dari mulut Perdana Menteri sekaligus Ketua DSP, Bulent Ecevit, yang disampaikannya dari atas podium saat berpidato memberikan sambutan.

Merve Kavakci yang kala itu baru berusia 31 tahun lalu digelandang polisi dan disoraki para deputi Partai Kiri Demokratik (DSP) dengan kata-kata, “Keluar. Ini negara sekuler. Hidup sekuler. Keluar!”

Ia tak gentar. Tak sedikit pun raut ketakutan terlihat di wajah cantiknya. Dengan mantap ia melangkah meninggalkan gedung terhormat itu.

Ia tak jadi dilantik. Sekalipun saat itu Partai Fazilet yang menyokongnya meraup 24% suara pemilu kota dan 15.5% pemilu nasional. Dua tahun kemudian partai itu pun dibubarkan pemerintah, sekalipun memiliki 100 kursi.

Harus Angkat Kaki dari Turki

Tak cukup diusir di hari pelantikannya, Merve muda juga harus angkat kaki dari Turki, tanah tumpah darah yang dicintainya. Kewarganegaraannya dicabut. Dengan tegar ia memutuskan pergi ke Amerika.

Amerika bukan negeri yang asing baginya. Sebelas tahun sebelumnya, ia melanjutkan studi ke negeri itu setelah tak lagi diizinkan menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Kedokteran Universitas Ankara. Lagi-lagi gegara hijab yang dikenakannya.

Pada waktu itu hijab menjadi barang terlarang untuk dikenakan di semua institusi pemerintah dan pendidikan di Turki.

“Apa mungkin saya melepaskan kehormatan saya?” begitulah ucap hafidzah Al-Qur’an ini dengan mantap.

Di Amerika, ia mendapat gelar sarjana di bidang ilmu rekayasa perangkat lunak dari University of Texas, Dallas. Lalu mendapat gelar master dari Harvard University. Dan PhD ilmu politik dari Howard University. Ia diangkat menjadi professor di almamaternya Horward University dan George Washington University.

Urat takut seakan sudah putus dari dalam dirinya. Sekalipun kehidupannya sebagai akademisi sudah sangat mapan, namun ia tetap melanjutkan perjuangan.

Pengadilan HAM Memenangkan Gugatannya

Hingga akhirnya, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa memenangkan gugatannya dan menyatakan pengusiran atas dirinya dari parlemen merupakan pelanggaran HAM.

Sejak saat itu ia berkeliling dunia untuk mendukung hak-hak perempuan mengenakan hijabnya. Namanya masuk dalam daftar 500 Muslim paling berpengaruh di dunia. Allahu akbar!

Ia diundang untuk menyampaikan isi pikirannya dan pembelaannya atas hijab yang dikenakannya di lembaga-lembaga terhormat, seperti Parlemen Inggris dan Parlemen Agama-Agama Dunia di Barcelona.

Ia juga diundang sebagai dosen tamu di berbagai universitas terkemuka seperti Harvard, Yale, Hamburg, Hannover, Dulsburg, hingga Cambridge.

Perjuangan yang dilakukan bersama berbagai elemen lain di Turki membuahkan hasil. Perlahan cahaya Islam kembali menghangatkan bumi Al Fatih.

Mei 2017 melalui keputusan kabinet, hak kewarganegaraannya dikembalikan. Dua bulan kemudian, Juli 2017 ia ditunjuk Presiden Erdogan sebagi Duta Besar Turki untuk Malaysia.

Nama dan perjuangannya kembali berkibar seiring dengan prestasi yang ditorehkan putri tercintanya, Fatma Kavakci Abushanab.

Baca Juga: Turki Undang Putra Aceh Baca Al Quran di Depan erdogan

Seperti kata pepatah “Like Mother Like Daughter”, keduanya memang luar biasa. Seperti itulah seorang Muslimah seharusnya!

Jakarta, 5/8/2021

Oleh: Uttiek