Berita  

Desakan Makin Menjadi, Kenapa Belum juga Minta Maaf sih?

Pemerintah Indonesia Minta Maaf Covid
Petugas mengenakan APD, membawa peti mati saat pemakaman korban Covid-19 di Semenyih, Malaysia, Desember 2020. Foto: AP

Namun, RI berbeda dengan Inggris, Jepang, pun Taiwan. Para pejabat di Indonesia, belum menyampaikan permintaan maaf.

Saat ini, pemerintah pusat menangani pandemi dengan membuat kebijakan PPKM [pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat] darurat di Jawa-Bali.

“Saya minta kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk tetap tenang dan waspada.”

“Mematuhi ketentuan-ketentuan yang ada, disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan.”

“Mendukung aparat pemerintah dan relawan, dalam menangani pandemi Covid-19.”

Demikian kata Presiden Jokowi, Kamis, 1 Juli 2021, saat mengumunkan pemberlakuan PPKM darurat.

Begitu juga dengan pejabat lainnya, seperti Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Selaku pemimpin pelaksanaan PPKM darurat Jawa-Bali, ia, menyatakan gelombang lonjakan Covid-19, tidak terprediksi.

“Jujur, kita juga tidak pernah memprediksi, setelah Juni tahun ini, keadaan ini, terjadi lonjakan lagi.”

“Karena inilah yang kita ketahui baru. Jadi, banyak ketidaktahuan kita mengenai Covid ini.”

“Dan ternyata, setelah bulan Juni ini, kenaikannya luar biasa,” kata Luhut, Kamis (1/7).

Pernyataan Luhut ini menimbulkan tanda tanya, karena Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito, sudah menyampaikan prediksi lonjakan kasus, sejak Maret lalu.

Tepatnya saat keterangan pers harian melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Ketika itu, Wiku menjelaskan, berdasarkan pengalaman setahun sebelumnya, kasus akan naik pasca libur Lebaran, juga liburan panjang.

Pertanyaannya, Kenapa sih Tak Minta Maaf?

Menurut pendiri Kedai KOPI [Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia] Hendri Budi Satrio, pejabat Indonesia, tak lekat dengan tradisi meminta maaf atas kegagalan kebijakan.

Hal ini nampak dari berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, yang mayoritas tidak direspons dengan permintaan maaf.

“Mereka [pemerintah] enggak akan minta maaf, karena bukan tabiatnya. Bukan tabiat mereka untuk mengakui kesalahan.”

Begitu kata Hendri yang juga merupakan pengajar komunikasi politik di Universitas Paramadina, mengutip Vice, Jumat (9/7).

“Salah satu karakteristik pemerintahan ini bukan minta maaf,” imbuhnya.

“Orang banyak yang meninggal karena Pemilu [2010] saja enggak minta maaf.”

Demikian lanjut Hendri, merujuk kepada 894 Petugas Pemungutan Suara (PPS) yang wafat [mayoritas diduga kelelahan].

Kegagalan dalam mengantisipasi keadaan, meski jajaran pemerintah telah mengingatkan, rupanya, tidak juga diakui pemerintah pusat.

“Mungkin mereka paham, bahwa meminta maaf itu [mengakui], kalau ada yang salah, ada yang kurang,” kata Hendri.

Kenyataan tersebut juga nampak dari sudut pandang komunikasi politik.

Beberapa tokoh penting dalam kabinet, justru memperlihatkan sikap antikritik.

Luhut, misalnya. Saat jumpa pers awal pekan ini, ia meminta masyarakat untuk tidak komentar macam-macam, karena pemerintah melakukan yang terbaik.

Cara komunikasi Luhut ini, menurut Hendri, bertolak belakang dengan tata krama pun sopan santun yang Presiden Jokowi, agungkan.

“Itu komunikasi arogansi,” kritik Hendri. “Itu arogansi semata. Tidak mau menerima secara terbuka masukan dari masyarakat, dan menganggap apa yang dilakukan sudah benar.”

Minta maaf itu, kata Hendri, untuk menenangkan publik.

“Banyak pemimpin yang minta maaf, enggak dianggap lemah, kok,” tegasnya.

“Justru, ketika Anda minta maaf, Anda dianggap ada sisi di rakyat, Anda lebih memiliki empati kepada rakyat,” sambung Hendri.

“Itu mungkin yang tidak disadari [pemerintah] saat ini,” pungkasnya.