Berita  

Di Luar DKI, Rasio Kasus Positif COVID-19 Indonesia 94,97 Persen

Positive Rate PCR Indonesia non Jakarta
Foto: Ilustrasi/Kumparan

Menurut rekan Ridha, tes di Indonesia, cenderung dilakukan saat ada keluhan atau gejala.

“Tapi belum banyak menjangkau yang OTG, dan tidak datang ke fasilitas kesehatan,” jelasnya.

Inilah yang kemudian menyebabkan pandemi di Indonesia, masih jauh dari akhir, karena penularan terus terjadi.

Pentingnya Memutus Mata Rantai

Lebih lanjut, Ridha juga menilai, tes PCR, bukan sekadar untuk mengonfirmasi mereka yang bergejala.

“Tetapi juga untuk memutus mata rantai penularan, karena kemampuannya yang terbaik untuk mendeteksi virus di awal terinfeksi setelah terpapar.”

Ridha, juga menyoroti angka rasio kasus positif yang tinggi.

“Bisa dibayangkan, bagaimana fenomena gunung es atas pandemi ini di Indonesia, di luar Jakarta.”

“Bagi saya, dalam konteks pandemi, kita harus fokus pada memutus mata rantai penularan,” kata Ridha.

“Bukan sekadar penanganan medis, atau angka statistik sembuh dan kematian,” sambungnya.

Dampak disrupsi, lanjutnya, gap antara pertumbuhan kasus dan penambahan kapasitas sistem kesehatan, mulai terasa, seperti:

  • Kasus meninggal saat isolasi mandiri;
  • Sulitnya mencari bed rawat inap pun ICU;
  • RS tutup atau tidak menerima pasien baru; hingga
  • Ambulans penuh, termasuk yang mengantar jenazah.

Tingkat Kematian dan Kasus Harian

Pandemic Talks, menyampaikan bahwa Jawa Timur (Jatim), masih berada di posisi teratas–provinsi dengan tingkat kematian tertinggi di Indonesia.

Sementara kasus harian di Indonesia, juga kembali mencapai titik tertingginya, pada Senin (21/6) lalu.

Angkanya mencapai 14.536 kasus, sekaligus menjadikan Indonesia, tertinggi kedua di Asia, setelah India.