Berita  

Di Webinar Bersama Menteri Pertanian, Presiden PKS Tekankan Pentingnya Konsep Kedaulatan Pangan

Presiden PKS Konsep Kedaulatan Pangan
Foto: Ilustrasi/Antara

Ngelmu.co – Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu, menekankan pentingnya konsep kedaulatan pangan saat membahas kenaikan harga daging sapi di pasaran–dalam webinar bersama Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Sabtu (20/2).

Pentingnya Konsep Kedaulatan Pangan

Ia menilai pentingnya realisasi, bukan hanya soal ketahanan pangan, tetapi juga pada konsep kedaulatan pangan itu sendiri.

“Konsep kedaulatan pangan lebih kepada kemandirian, kesinambungan, pertahanan dan keamanan,” tutur Syaikhu.

Sementara ketahanan pangan, lebih fokus pada ketersediaan, keterjangkauan, dan aksesibilitas.

Lebih lanjut, Syaikhu, membahas sektor strategis pangan yang dimensi bukan hanya dilihat dari aspek pertanian, kesehatan, atau ekonomi.

Namun, pangan juga bagian dari dimensi ketahanan national (national resilience).

“Pangan bisa menjadi instrumen diplomasi, dan senjata politik, untuk menekan kepentingan dan kedaulatan suatu negara,” kata Syaikhu.

Ketergantungan pangan yang tinggi, lanjutnya, akan semakin melemahkan ketahanan Indonesia–sebagai bangsa.

Risikonya juga bukan hanya soal ekonomi. Sebab, dengan kenaikan harga–inflasi–juga akan berdampak pada stabilitas politik, hingga keamanan national.

“Oleh karena itu, saya perintahkan DPP dan Fraksi PKS di DPR RI dan MPR RI untuk mengawal agenda kedaulatan pangan ini,” ungkap Syaikhu.

“Sebagai salah satu agenda strategis dan prioritas yang harus diperjuangkan,” imbuhnya tegas.

Ketahanan Pangan Saja Tidak Cukup

Ia kembali menekankan, bahwa ketahanan pangan memang baik, tetapi tidak cukup.

“Good is the enemy of great,” ujarnya, mengutip pernyataan seorang ahli kepemimpinan di Amerika Serikat (AS), Jim Collins.

“Kalau kita hanya merasa cukup dengan ketahanan pangan, maka kita tidak akan pernah menjadi bangsa yang berdaulat secara pangan,” sambung Syaikhu.

Dalam webinar tersebut, ia, juga mengulas bagaimana para pedagang daging sapi yang sempat mogok berjualan, awal tahun 2021.

“Para pedagang daging sapi di Jakarta, sempat mogok jualan dari 21-24 Januari 2021,” kata Syaikhu.

Di mana menurut Ikatan Pedagang Pasar Tradisional (IKAPPI), aksi mogok massal itu merupakan cara mereka protes.

Pasalnya, kenaikan harga daging sapi, jelas merugikan mereka–dengan tingginya harga beli daging sapi di tingkat eceran.

“Ini menggerus margin mereka, sehingga mereka jual rugi ke konsumen,” tutur Syaikhu.

Naiknya Harga Daging Sapi

Pusat Harga Pangan Strategis National (PHPSN), juga menyampaikan bahwa rata-rata harga daging sapi [September 2020-Januari 2021], meningkat 0,8 persen.

Dari Rp118.000, menjadi Rp119.000 per kilogram. Sedangkan pada Februari ini, rata-rata kembali meningkat ke angka Rp123.000 per kilogram.

“Peningkatan yang cukup signifikan adalah harga daging sapi di Jakarta dan Jawa Barat,” kata Syaikhu.

Pada September 2020-Januari 2021, harga daging sapi di Jakarta, rata-rata meningkat 2,3 persen–dari Rp126.000, menjadi Rp129.000 per kilogram.

Bahkan, di bulan Februari, angkanya, rata-rata sudah mencapai Rp130.000 per kilogram.

Sementara di Jawa Barat, kenaikan harga daging sapi [dengan periode yang sama] rata-rata mencapai 3,3 persen–dari Rp121.000, menjadi Rp125.000 per kilogram.

“Harga beli daging sapi di pasar tradisional, dikabarkan meningkat lebih tinggi,” beber Syaikhu.

“Kompas, misalnya, mengabarkan bahwa para pedagang eceran di Jakarta, mengaku ada kenaikan lonjakan harga selama tiga, empat bulan terakhir,” imbuhnya.

Margin Penjualan Menipis

Para pedagang mengaku harga beli daging naik yang semula Rp80.000, menjadi Rp120.000 per kilogram.

Pedagang retail juga menjadi semakin terhimpit, karena harga jual yang telah ditetapkan adalah Rp120.000 per kilogram.

“Margin penjualan sangat tipis, dan sangat merugikan pedagang kecil,” kata Syaikhu.

“Opsi pedagang untuk menaikkan harga jual tidak realistis, mengingat kondisi daya beli masyarakat sedang terpukul karena pandemi COVID-19,” sambungnya.

Kenaikan harga daging sapi bukan hanya merugikan pedagang kecil, tetapi juga masyarakat sebagai konsumen.

“Oleh karena itu, kita harus mengurai dan membedah masalah ini dengan komprehensif. Apa akar masalahnya,” tegas Syaikhu.

Ia pun menyoroti bagian produksi, “Saya kira akarnya di sini.”

Sebab, rata-rata pertumbuhan produksi daging sapi dalam negeri per tahun [periode 2010-2019], hanya tumbuh 1.41 persen.

Sedangkan pada periode yang sama, konsumsi per kapita daging sapi tumbuh 2,04 persen.

“Hal ini menyebabkan adanya defisit kebutuhan stock produksi sapi, mencapai 0,63 persen, per tahun,” ujar Syaikhu.

Apakah Tepat Menutupi Defisit dengan Impor?

Sebagai informasi, selama ini, defisit per tahun itu ditutupi dengan kebijakan impor.

Di mana Indonesia, memilih Australia sebagai negara utama untuk kerja sama dalam memenuhi kebutuhan daging sapi.

“Fakta inilah yang menjelaskan, mengapa impor daging sapi Indonesia, selalu meningkat cukup signifikan setiap tahunnya,” ungkap Syaikhu.

Jika di tahun 2015, impor daging sapi sebanyak 237.160 ton, angka itu melonjak tajam pada 2019, yakni menjadi 711.480 ton.

“Ada kenaikan volume impor daging sapi sebesar tiga kali lipat,” kata Syaikhu.

Itulah mengapa ia menilai, salah satu penyebab naiknya harga daging sapi akhir-akhir ini adalah karena Indonesia sangat tergantung dengan impor [terutama dari Australia].

Bukan tidak mungkin juga saat Australia mengambil kebijakan mengurangi ekspor sapi dan daging sapinya, akan berdampak kepada impor Indonesia.

“Harga sapi dan daging sapi impor Australia naik, dengan volume impor yang berkurang,” imbau Syaikhu.

Berkurangnya volume impor itu juga akan mendorong kenaikan harga sapi lokal, tetapi tidak diikuti dengan meningkatnya permintaan.

Mengingat daya beli masyarakat juga masih ‘terpenjara’, karena pandemi COVID-19 belum nampak ujungnya.

Ketergantungan Indonesia, akan impor sapi dan daging sapi juga masih akan terus berlanjut–selama kapasitas produksi daging lokal belum mencukupi kebutuhan.

“Tentu kita tidak bisa mengerem laju konsumsi masyarakat terhadap daging sapi,” jelas Syaikhu.

“Bahkan, kalau bisa laju konsumsi masyarakat terhadap daging sapi, kita dorong untuk terus meningkat,” imbuhnya.

Itu mengapa Syaikhu, menegaskan bahwa yang perlu dibenahi adalah sisi hulu, yakni produksi daging sapi lokal.

Dengan merealisasikan konsep kedaulatan pangan, bukan hanya sekadar ketahanan pangan.