Dijegal Sejumlah Menteri, Anies Banjir Pembelaan

Menteri Jegal Anies

Ngelmu.co – Bermula dari surat Gubernur Anies Baswedan, ke Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Nagih utang! Ada Rp5,1 triliun, Dana Bagi Hasil (DBH) penerimaan pajak Pemprov DKI di Kemenkeu. Gak cair-cair.

Dalam kesempatan teleconference dengan wakil presiden, Anies, menyinggung soal dana ini.

Meminta bantuan wapres untuk mendorong Menkeu, agar hak Pemprov DKI tersebut, bisa segera dicairkan.

Pemprov DKI butuh dana itu untuk mengatasi COVID-19, dan dampak ekonominya. Urgent!

Esoknya, teleconference Anies dan wapres, viral. Kok bisa? Tak biasanya Anies, buka perbincangan pribadi ke publik.

Apalagi menyinggung soal dana, di mana Menkeu, ikut disebut-sebut. Ini pembicaraan internal pemerintahan.

Selama ini, Anies, tak suka kegaduhan. Apalagi buka front di publik, sama sekali ini bukan watak Anies.

Ia tipe pemimpin yang lebih suka kerja silent. Senyap, tapi hasil bisa dirasakan rakyat. Itulah Anies yang selama ini dikenal publik.

Cek sana sini, akhirnya dapat informasi.

Pertama, inisiatif teleconference berasal dari wapres. Bukan dari Anies.

Kedua, pihak yang mempublish video tersebut adalah tim dari wapres.

Langkah wapres benar. Ini menunjukkan bahwa selama pandemi COVID-19, wapres terus bekerja.

Koordinasi dengan sejumlah kepala daerah adalah bagian dari bukti kerja itu.

Publik juga berhak tahu, apa yang dikerjakan wapres. Selain hak untuk dapat info terkait perkembangan penanganan COVID-19.

Beberapa pekan kemudian, Sri Mulyani, tampil ke publik. Menyoal bansos DKI.

Katanya, Pemprov DKI gak punya dana. Gak sanggup memberikan bantuan untuk 1,1 juta warga terdampak COVID-19.

Baca Juga: Warga DKI Lebih Puas Penanganan COVID-19 Pemprov Dibanding Pusat

Sri Mulyani, tak sendirian. Menteri Sosial; Juliari P Batubara, dan Menteri PMK; Muhadjir Effendy, juga ikut menyerang Anies. Objeknya sama, soal bansos.

Kepada pihak lain, Mensos bilang, “Saya kira gak usah ribut-ribut soal data, semuanya bisa diselesaikan secara kekeluargaan, secara gotong royong,” seperti dilansir Kompas, Sabtu (2/5).

Tapi kepada Anies, Mensos, justru mempersoalkan data itu. Kok beda sikap ya?

Kenapa yang di-soal hanya Anies? Gak kepala daerah lainnya? Emang kepala daerah yang lain, beres soal anggaran, data, dan pembagian bansosnya?

“Rasanya kental politis,” kata Wakil Ketua DPRD DKI F-PAN, Zita Anjani.

“Justru, Pak Anies, minta di-cover dari pusat karena ingin warganya sejahtera,” tegasnya lagi.

Ditagih gak bayar, malah cari-cari kesalahan! Kira-kira seperti itu logika yang ada di kepala rakyat.

“Kalau gak bisa lunasin utang, minta maaf dong. Bukan malah cari-cari kesalahan.”

Rupanya, rakyat punya cara berpikir sendiri. Beda dengan cara berpikir para menteri itu.

Dana DBH Pemprov DKI 2019 sebesar Rp5,1 triliun, dan kuartal II tahun ini sebesar Rp2,4 triliun. Total, Rp7,5, triliun. Baru dicairkan oleh Kemenkeu, Rp2,56 triliun.

“Sri Mulyani, seharusnya tak sekadar mengkritik Pemprov DKI,” kata Anggota DPRD DKI F-Partai Demokrat, Mujiyono.

“Tetapi segera membayar DBH penerimaan pajak yang merupakan bagian dari Pemprov DKI,” sambungnya.

“Sri Mulyani, sakiti hati warga Ibu Kota,” begitu kata Wakil ketua DPRD F-Partai Gerindra, M Taupik.

Sengak!

“Pernyataan Sri Mulyani tersebut, 100 persen tidak sesuai fakta, alias hoaks,” tegasnya menyayangkan pernyataan Menkeu tersebut.

Tidak hanya M Taupik, Arbi Sanit, dan sejumlah tokoh juga menyesalkan sikap para menteri itu.

Dianggap tak punya anggaran, Pemprov DKI siapkan dana Rp5 triliun untuk menangani COVID-19 dan dampak ekonominya.

Di antaranya, berupa bantuan yang ‘sudah dibagikan’ ke warga DKI sebelum PSBB diberlakukan.

Jadi, sebelum ada PSBB, dan sebelum pemerintah pusat turun, warga DKI sudah dapat bantuan dari Pemprov.

“Ada double penerimaan. Warga terima dari pemerintah daerah, terima juga dari pemerintah pusat. Harusnya tidak double,” kata pihak Kemensos.

“Apa masalahnya kalau warga terima double?” tanya M Taupik.

“Toh tidak dalam waktu dan pekan yang sama,” protesnya.

Jadi, tidak hanya hotel bintang lima untuk tenaga medis saja yang di-soal, warga DKI terima bantuan double, juga ada pihak yang menyoal.

Terlepas siapa yang benar dan siapa yang salah, mestinya urusan macam ini, bisa di-komunikasikan dan di-diskusikan secara internal.

Kenapa tidak teleconference saja via zoom berempat? Tiga menteri, ajak Anies diskusi. Tapi kenapa justru dijadikan konsumsi publik?

Wajar, jika banyak pihak kemudian mengartikan ini sebagai bentuk penjegalan terhadap Anies, untuk 2024.

“Rakyat kelaparan kok diseret-seret ke urusan politik 2024? Gak elok,” seru M Taupik.

“Jangan sampai perseteruan politik mengganggu perut rakyat,” imbuhnya.

Rasionalitas ini otomatis muncul di benak rakyat, mengingat sering terjadinya serangan yang dianggap mendiskreditkan posisi Anies.

Ini berlangsung sejak pidato pertama Anies, pasca pelantikan 2017 lalu. Tak berhenti hingga sekarang.

Sudah tiga tahun berjalan. Apalagi publik membaca bahwa serangan kepada Anies, bersifat terstruktur dan sistematis.

Keadaan inilah yang justru membuat gelombang empati publik kepada Anies, semakin besar.

Ketika semua bentuk serangan itu tak pernah di-respons secara reaktif, Anies, berhasil mengambil hati rakyat.

Serangan akhirnya menjadi kredit poin buat Anies.

Anies, lebih memilih fokus kerja di tengah banjirnya serangan tersebut. Ini langkah tepat. Meski tak perlu mendengungkan kata ‘Kerja… Kerja… Kerja…’

Selama hasil kerja bisa dirasakan oleh rakyat, maka akan jadi investasi sosial dan politik yang efektif.

Akhirnya, siapapun yang mencoba menyerang Anies, akan berhadapan secara otomatis dengan para pendukung dan simpatisannya.

Fakta ini bisa dilihat di media massa dan media sosial.

Anies, punya relawan dan buzzer lepas yang berlimpah, di setiap sudut kota.

Mereka tak saling mengenal satu dengan yang lain. Sebab, mereka tak dibayar, dan tak ada koordinator-nya, seperti buzzer pada umumnya.

Jakarta, 9 Mei 2020

Oleh: Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa, Tony Rosyid