Opini  

Disrupsi, Kita dan Pilpres 2019

 

Kabarnya saat ini dunia dilanda disrupsi, sebuah era yang ditandai bukan saja oleh perubahan, namun juga pergeseran hampir seluruh tatanan kehidupan secara mendasar. Disrupsi menyerang nyaris seluruh aspek yang sebelumnya diterima sebagai keniscayaan yang mapan. Yang terjadi bukan lagi pergantian pelakon atau perubahan lakon, melainkan lenyapnya panggung, yang kemudian digantikan oleh panggung baru. Konon pula, Revolusi Industri 4.0, yang dimotori oleh revolusi digital, adalah biang keladi di balik gonjang-ganjing disrupsi tersebut.

Sementara pakar kemudian menyifati kondisi saat ini sebagai VUCA, akronim dari volatile, uncertain, complex, dan ambigu. Dunia dan kehidupan di dalamnya seolah melompat-lompat secara acak, sehingga sangat sulit dibaca dan dipahami, apalagi diprediksi dan dikendalikan. Fenomena yang terlihat di permukaan adalah terkaparnya sekian banyak raksasa bisnis, redup dan matinya sejumlah industri, dan hilangnya serenceng profesi.

Perang bisnis bukan lagi adu canggih marketing strategy, melainkan konfrontasi business model. Maka kita melihat hancurnya para raksasa ritel konvensional dihajar peritel online, rontoknya bank di tangan para penggiat fintech, anjloknya okupansi jaringan-jaringan hotel berbintang gara-gara hadirnya aplikasi berbagi tempat menginap, atau gulung tikarnya banyak moda transportasi konvensional karena maraknya aplikasi transportasi digital.

Disrupsi tidak berhenti sampai perang antar-entitas bisnis. Para pelaku bisnis Tiongkok berkolaborasi, bahu-membahu dengan pemerintah mereka dalam melancarkan sejumlah manuver yang sangat ekspansif. Hasilnya tak tanggung-tanggung: negara-negara di berbagai kawasan dipaksa bertekuk lutut. Sejumlah industri strategis di negara-negara tersebut gulung tikar, karena tak kuat bersaing dengan produk China yang membanjiri pasar mereka. Tak sedikit negara yang terperosok ke dalam jebakan hutang yang merampas kedaulatan ekonomi mereka. Bahkan Amerika sang adidaya pun dibuat meradang.

Tetangga kita, Singapura, adalah salah satu negara yang sangat serius merespon disrupsi. Misalnya, mereka melihat bahwa pertumbuhan e-commerce yang eksponensial mengancam eksistensi bisnis ritel yang merupakan salah satu pilar penting perekonomian mereka. Banyak gerai branded product yang sebelumnya menjadi incaran para pelancong, terancam tutup, karena konsumen lebih memilih berbelanja di toko-toko online. Pemerintah Singapura tak mau rakyatnya jadi korban. Untuk itu, dana yang sangat besar dialokasikan guna melatih ulang lebih dari seratus ribu pekerja sektor ritel agar siap beralih ke sektor-sektor lain yang tidak terdisrupsi. Singapura juga merombak kurikulum pendidikan tingginya agar mampu mencetak lulusan yang memiliki disruptive mindset dan mampu berinovasi.

Lalu apa yang membuat sebuah bangsa bisa meniti gelombang disrupsi dengan selamat? Secara sosiologis jawabannya adalah kemampuan bangsa tersebut untuk melakukan tindakan kolektif. Fondasinya adalah solidnya kohesi sosial yang terjalin di antara anggota-anggota masyarakat, sehingga mereka bisa memfokuskan segenap daya untuk menghadirkan jawaban yang jitu terhadap tantangan disrupsi. Dalam konteks kehidupan bernegara, kokohnya kohesi sosial juga terefleksi dalam bentuk kuatnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, sehingga berbagai langkah dan kebijakannya, yang tidak populis sekalipun, didukung publik secara luas. Sebaliknya, kohesi sosial yang rapuh membuat anak-anak bangsa disibukkan oleh manuver-manuver yang saling melemahkan, meniadakan, bahkan menghancurkan.

Kohesi sosial yang kuat menuntut solidnya jalinan kohesi struktural, dan kokohnya bangunan kohesi ideasional. Dalam sebuah entitas yang memiliki kohesi struktural yang solid, para anggotanya saling terhubung satu sama lain secara intens, setara dan berkesinambungan, atas dasar rasa saling percaya. Dengan demikian, kecil kemungkinan ada satu atau beberapa pihak yang mendominasi, apalagi mensubordinasi dan kemudian mengeksploitasi pihak-pihak lain.

Relasi tersebut bekerja dalam ruang-ruang publik yang terbuka, di mana gagasan dan ragam kebermanfaatan lain dipertukarkan dengan jujur dan suka cita. Untuk sampai pada titik itu, perlu hadir kecerdasan kolektif dan jamaah akal sehat, sehingga upaya paling halus untuk menelikung kebenaran pun bisa dideteksi sejak di hulunya. Monopoli pikiran dan hegemoni kebenaran sudah ditumpas sejak di tahap itikad dan gejala.

Hasilnya, aneka gagasan tercurah dengan lancar untuk kemudian berkontestasi dalam dialog yang hangat. Prosesnya tidak berhenti sampai memahami dan menganalisis, namun berlanjut menyintesisnya menjadi sebuah pikiran baru yang lebih komprehensif dalam menjawab tantangan disrupsi. Jelas, semangatnya bukan mengeksiskan satu pikiran sembari menihilkan yang lain. Ada sebuah keyakinan pada wisdom of the collectivity. Ketika kondisi tersebut terpenuhi, kita akan dibuat tercengang oleh munculnya jutaan gagasan segar yang menggerakkan proses disruptive innovation. Tak mungkin inovasi yang radikal lahir di ruang publik yang tersungkup oleh apatisme dan ketakutan.

Lalu, apakah yang dimaksud dengan kohesi ideasional? Ia adalah imajinasi kolektif tentang sebuah masa depan ideal, sekaligus kesepakatan mengenai seperangkat tata nilai yang menjadi rambu-rambu dalam perjalanan mewujudkannya. Ia pun bisa berbentuk penerimaan dan penghayatan kolektif atas sebuah potensi bahaya yang harus dimitigasi, atau musuh bersama yang perlu dihancurkan.

Sebuah entitas manusia yang diikat oleh kohesi ideasional yang kokoh, memiliki motivasi yang kuat dan antusiasme yang berkobar untuk tetap hidup dan bergerak sebagai satu kesatuan organik. Sebaliknya, negeri-negeri yang kehilangan kohesi ideasional akan hancur berkeping-keping, bahkan jauh sebelum datangnya hantaman disrupsi digital. Uni Sovyet, Yugoslavia dan Cekoslovakia adalah contohnya. Sebaliknya, negeri yang sempat berpisah, seperti Jerman Barat dan Jerman Timur, kemudian bersatu kembali, karena kohesi ideasional tetap bersemayam dalam sanubari kolektif warganya, dan mendorong mereka untuk menghancurkan dinding fisik yang sekian lama memaksa mereka bercerai.

Bisa dipahami jika Kim Jong Un terus-menerus menyuntikkan tambahan dosis represi kepada rakyatnya, yang merupakan ramuan mematikan berbahan baku retorika demagogi dan ancaman siksaan fisik. Sang Tiran paham betul bahwa komunisme sudah tak punya daya magis untuk membangun ikatan ideologis. Sedangkan saudara tuanya, China, memilih jalan berbeda: mengawinkan komunisme dengan kapitalisme negara, demi membangun imaji sebuah adidaya baru.

Di titik inilah keprihatinan mengharu-biru kita. Bangsa ini tidak sedang baik-baik saja. Jika ditilik dengan kriteria kohesi struktural dan kohesi ideasional, jujur, kita sedang sakit parah, dan harus segera masuk ICU agar selamat dari kematian. Para provokator yang menyobek-nyobek jalinan saling percaya di antara komponen-komponen bangsa, bukan saja dibiarkan, tapi juga seolah dipelihara untuk melanggengkan kekuasaan.

Kalaupun ada satu-dua yang dihukum ringan, lebih merupakan upaya penguasa meredam air bah tekanan publik yang terluka rasa keadilannya. Sebaliknya, ulama, akademisi, politisi, bahkan musisi yang memilih berseberangan dengan penguasa, harus bersiap-siap untuk dipersekusi atau dikriminalisasi, atau setidaknya menjadi bulan-bulanan pendukung setia Sang Petahana di media sosial.

Presiden dan para pembantunya pun kerap bertutur minus nalar di ruang publik, sehingga kepercayaan yang sudah tipis kian terkikis. Yang terbaru adalah polemik pembebasan bersyarat Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Kasus ini benar-benar membuka mata publik tentang betapa rapuhnya kohesi antara Presiden dan orang-orang terdekatnya. Publik pun disuguhi lakon Presiden lemah, yang bukan hanya gegabah dalam melangkah, namun juga tidak dipatuhi oleh para pembantunya.

Sementara itu, kohesi ideasional kita juga defisit. Banyak pihak di seputar penguasa memonopoli Pancasila secara membabi-buta, sehingga Pancasila kehilangan ruh sebagai ideologi yang hangat dan terbuka, yang menaungi segenap komponen bangsa. Lebih parah lagi, pemaknaan yang monopolistik tersebut kerap dibenturkan dengan umat Islam yang merupakan mayoritas di negeri ini. Hantu radikalisme kembali dibangkitkan untuk menakut-nakuti mereka yang ingin mengaktualisasikan konsepsi keberagamaannya secara lebih komprehensif di negerinya sendiri. Sementara itu, beragam gagasan dan gerakan yang jelas-jelas bertabrakan dengan Pancasila, seperti komunisme, kapitalisme, liberalisme, dan LGBT, seolah justru diberi ruang untuk tumbuh subur.

Untuk keluar dari karut-marut ini, bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin baru yang kuat dan cerdas. Pemimpin yang punya konsep yang jelas dan tajam tentang bagaimana bahtera besar ini akan dikemudikan agar selamat dari sapuan gelombang disrupsi. Pemimpin yang mampu secara efektif dan konsisten menjalankan peran sebagai solidarity maker dan cultural role model, sehingga menuai rasa percaya dan rasa hormat dari segenap komponen bangsa. Tujuh belas April 2019 nanti saatnya kita berpisah dengan pemimpin yang kerap tak membaca apa yang ditandatanganinya, melihat teks ketika berdebat, dan mengingkari banyak janji politiknya.

31.01.2019

Dr Arief Munandar

Pengamat Politik Islam, Sosiolog Universitas Indonesia