Do, Enggak Malu?

Faldo Maldini Mural

Ngelmu.co – Khalayak umum terus membicarakan nama politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Faldo Maldini.

Tepatnya setelah yang bersangkutan menyebut mural yang tak memiliki izin sebagai tindak melawan hukum dan sewenang-wenang.

Dari sekian banyak respons yang muncul, pengguna Twitter @bramadptr, bertanya. “Faldo Maldini, kok, enggak malu, ya?”

Warganet bernama Syaif–yang juga ikut komentar–bahkan bilang, “Lama-lama jijik, ya, lihatnya. Faldo 10 tahun lalu malu enggak, ya, kalau lihat yang sekarang.”

Pernyataan Faldo

Sebenarnya, bagaimana pernyataan lengkap Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Bidang Komunikasi Faldo Maldini, terkait mural?

Berikut yang Ngelmu kutip dari akun Twitter pribadinya, @FaldoMaldini:

Jadi, mural itu, enggak salah. Kalau ada izinnya. Kalau tidak, berarti melawan hukum, berarti sewenang-wenang.

Makanya kami keras.

Ada hak orang lain yang dicederai, bayangkan itu kalau tembok kita, yang tanpa izin kita.

Orang yang mendukung kesewenang-wenangan, harus diingatkan.

Sekali lagi, saya minta maaf, agak keras.

Yang jadi masalah, bukan konten atau kritiknya. Kritik selalu terus dijawab dengan kinerja yang baik.

Tapi ini tindakan yang sewenang-wenang.

Setiap warga negara harus dilindungi dari tindakan yang sewenang-wenang.

Kami sangat berharap, hari ini, kita sama-sama menjaga.

Kritik dan hinaan seperti apa pun, tidak akan mengurangi motivasi untuk menjawab persoalan pandemi yang menghantam seluruh negara di dunia ini.

Kami terus berfokus di situ.

Sebagai politikus yang aktif di media sosial, wajar jika publik menanggapi setiap pernyataan Faldo. Tak terkecuali soal mural ini.

Apa kata mereka?

Sosiolog bencana asal Indonesia di Nanyang Technological University Singapura, Sulfikar Amir, menekankan.

“Kritik, mural, meme, caci maki, sumpah serapah, semuanya tidak ada apa-apanya.”

“Dibanding kekuasaan seseorang yang mengendalikan institusi negara yang menarik pajak dari penghasilanmu, dan dapat menggunakan kekerasan secara legal atas dirimu.”

Aktivis Ravio Patra juga ikut merespons. Namun, ia lebih memilih menyampaikan tanggapan bernada satire.

“Dari sekian banyak pelanggaran hak warga yang tiap hari terjadi di Indonesia ini, angkat topi pada Faldo Maldini dan kawan-kawan [enggak jelas ‘kami’ dalam twit berikut siapa saja].”

“Sudah berani keras, membela hak orang yang temboknya dicederai lewat mural.”

Bagaimana dengan jawaban Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu?

“Di negara ini, apa yang enggak bisa dicari pasal ‘melawan hukum’-nya?”

“Gini aja, Bung Faldo, kasih contoh menyatakan pendapat dan berekspresi yang sah,” tantang Erasmus.

“Gue cariin pasal pidana atau contoh kasusnya. Biar sama-sama belajar hukum Indonesia kita,” imbuhnya. “Jadi tahu, ini argumen kosong.”

“Sebagai acuan, cek saja kasus-kasus aneh di penelitian SAFEnet, ICJR, Elsam Indonesia, LBH Pers, dkk,” jelas Erasmus. “Jangan cari yang sama kasusnya, biar sulit dikit.”

Di sisi lain, pengguna Twitter, Dita Moechtar, juga nampak heran. “Dari sekian banyak yang bisa situ ‘kasih saran’, yang dipilih soal mural?”

“Gak ada keras-kerasnya itu. Lembek total,” sambungnya mengkritisi klaim Faldo, ‘agak keras’.

Politikus Cupu

Sutradara Angga Dwimas Sasongko, awalnya menjawab cuitan Faldo, yang menyebut mural tak berizin sebagai tindak melawan hukum.

“Kalau semua yang bikin mural dikejar polisi, nanti kerja polisi cuma ngurusin mural,” tuturnya.

“Lo coba hitung saja, sekitar rumah lo, ada berapa mural. Keras juga sama mereka dari dulu?” sambungnya bertanya.

Sebelum lebih lanjut, sikap Faldo, membuat perhatian Angga, terpusat kepada PSI.

“PSI kayaknya adalah partai dengan strategi nyari voters paling enggak jelas,” ujarnya.

“Gue enggak heran kalau habis 2024, Pak Jokowi ditawarin jadi Dewan Pembina, Gibran jadi Ketum,” imbuhnya tertawa.

Setelah itu, barulah Angga, mengunggah sebuah gambar yang memuat penilaian tentang politikus cupu.

“Politisi takut sama mural adalah secupu-cupunya politisi. Masih muda pula,” cuitnya.

“Wah, Bang Angga mendukung perbuatan melawan hukum dong? Pret,” lanjutnya gemas.

“Seni dan seniman terbaik lahir dari jalanan. Berkesenian adalah setangguh-tangguhnya oposisi,” tegas Angga.

“Saya bikinin khusus buat Faldo. Kalau saya pandai buat mural, dinding depan Citos sudah saya gambar, deh!” jelasnya.

Angga juga menyebut langkah Faldo, yang berpindah dari partai satu ke partai lain.

“Lompat-lompat Partai. Harga diri digadai. Pas dapat jabatan, cuma dapat tugas sekelas ngurus mural. Blunder pula. Kasihan amat kredensialmu, Bung!”

Baca Juga:

2013 vs 2021

Pertanyaan, “Do, enggak malu?”, pun kembali terdengar. Bagaimana tidak, ia di tahun 2013, bertolak belakang dengan sosoknya sekarang.

Potret ini nampak jelas dari unggahan salah satu petinggi The Conversation, Ikram Putra.

“Tahun 2013, ia dan kawan-kawan menghambat dan mengganggu perjalanan kereta di Pondok Cina,” beber Ikram.

“Tahun 2021, jempolnya ringan betul bicara soal izin. Soal melawan hukum, dan soal hak orang lain yang dicederai. Hahahaha,” imbuhnya tertawa.

Sesama pengguna Twitter, @fullmoonfolks, pun menjawab cuitan Ikram. “Dulu ‘kan masih mengubah dari rel, sekarang mengubah dari dalam.

Akun @PolJokesID, juga terdengar heran. “Faldo nih enggak belajar dari pengalaman meme ‘King of Lip Service’, ya?”

“Makin rezim bereaksi keras terhadap kritik, bakal makin meluas dan gede kritik lain yang datang,” imbaunya.

“Orang lapar tuh dikasih makan, bukan malah dilarang mengekspresikan kelaparan atau keputusasaannya,” sambungnya lagi.

Anehnya Bikin Geleng Kepala

Putra dari Kiai Abdullah Rifa’i, Ulil Abshar Abdalla, juga menilai pernyataan Faldo soal mural, aneh.

“Kalau birokrat sudah sepuh seumuran Pak Moerdiono dulu bilang begini, bisa dimaklumi-lah,” tuturnya.

“Tapi ini masih muda, kok, ngomong begini, aneh banget,” sambung Ulil.

“Apakah bergabung dengan ‘power quo’, cara cepat untuk menjadi tua?” lanjutnya bertanya.

Di sisi lain, novelis dan esais Okky Madasari, memang tak menyebut nama Faldo. Namun, pembahasannya tak lepas dari mural.

“Ngaku milenial, tapi mentalnya kolonial. Ngaku menjunjung demokrasi, tapi takut meme, takut mural, takut kritik,” sentilnya.

“Merasa politisi muda, tapi ternyata tak lebih dari penjilat penguasa,” sindirnya lagi.

Di mata Okky, muda adalah soal mentalitas, “Bukan soal usia.”

“Percuma kamu melabel diri sebagai politisi muda, partai anak muda, representasi anak muda, kalau justru tak memiliki jiwa muda,” tegasnya.

Terakhir, dan masih soal mural. Salah satu pendiri Kozi Coffee, Ramanda Audia, memberikan penawaran.

“Ada yang mau mural kritik pemerintah? Nih gue sediain space-nya, gratis!” ujarnya.

“Nimpa dinding itu juga enggak apa-apa, atau mau kreatif pakai gambar yang ada, juga silakan, dengan senang hati,” sambungnya.

“Tanggung jawab, gue yang nanggung,” jelas pemilik akun Twitter, @kozirama itu.