Berita  

Erick Thohir Beberkan Alasan Pemerintah Prioritaskan Vaksin Cina

Erick Thohir Vaksin China Sinovac
Menteri BUMN Erick Thohir, mengikuti rapat kerja dengan Komisi VI DPR di ruang rapat Komisi VI DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/1). Sindo News, Arif Julianto.

Ngelmu.co – Meski banyak vaksin buatan negara lain, tetapi untuk program vaksinasi di Indonesia, pemerintah memprioritaskan vaksin COVID-19 dari Sinovac, Cina. Menteri BUMN [Badan Usaha Milik Negara] Erick Thohir, pun membeberkan alasannya.

“Nah, kenapa juga dua negara tujuan saat itu yaitu UEA dan Cina?,” ujarnya, dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, mengutip Detik, Rabu (20/1).

“Karena memang sejak awal, ketika kita mengontak para pembuat vaksin dari negara Eropa dan Amerika, responsnya sangat rendah,” jelas Erick.

Selain mendahulukan pengadaan vaksin produksi Negeri Tirai Bambu, pemerintah memang turut mendekati Uni Emirat Arab (UEA).

Erick juga menjelaskan, respons yang kurang bagus dari negara-negara lain yang memproduksi vaksin COVID-19.

Saat Indonesia mulai mencari vaksin untuk kebutuhan dalam negeri, lanjutnya, hanya Cina dan UEA yang responsif.

“Itu ada bukti black and white yang kita bisa paparkan,” kata Erick.

“Karena itu, kita melihat hubungan dagang kita dengan Cina dan UEA, cukup bagus,” imbuhnya.

Baca Juga: Respons PDIP Usai Ribka Tjiptaning Tolak Vaksin COVID-19

Pada kesempatan yang sama, Ketua Pelaksana KPC-PEN [Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional itu juga membeberkan kesiapan Indonesia, memproduksi vaksin.

PT Bio Farma (Persero), kata Erick, akan segera mendapatkan sertifikat untuk memproduksi 250 juta vaksin virus Corona.

BPOM [Badan Pengawas Obat dan Makanan] yang akan mengeluarkan izin tersebut.

Di mana tahap pertama, Bio Farma, telah mendapatkan sertifikasi untuk memproduksi 100 juta vaksin.

“Kita juga tidak menutup mata kerja sama dengan BPOM,” ujar Erick.

“Apa pun produksi yang kita lakukan, harus juga standar Indonesia. Alhamdulillah, kita sudah mendapatkan sertifikasi dari BPOM untuk 100 juta pertama,” ungkapnya.

Sementara sertifikat untuk memproduksi 150 juta vaksin berikutnya, akan keluar pada Maret mendatang.

“Untuk 150 juta berikutnya, kita harapkan nanti di kloter Maret 2021, kita mendapatkan sertifikat tambahan dari BPOM,” kata Erick.

“Sehingga 250 juta kapasitas untuk vaksin yang diproduksi Bio Farma, sudah mempunyai sertifikat,” bebernya.

Nantinya, lanjut Erick, 250 juta vaksin yang Bio Farma produksi, akan diberikan untuk 125 juta penduduk Indonesia.

“Jadi, kalau 250 juta, buat 125 juta orang, kalau [disuntikkan] dua kali,” jelasnya.

“Dan tadi teknologinya sudah ditingkatkan, kalau yang tadinya hanya virus yang dimatikan, sekarang juga teknologi baru sudah bisa dilakukan secara bertahap, di Bio Farma,” pungkas Erick.

Baca Juga: Kata Wamenag soal Vaksin Sinovac, “Tak Perlu Ragu, Halalan Thayyiban”

Sejauh ini, Bio Farma telah menyelesaikan produksi tiga juta vaksin COVID-19 [menggunakan bahan baku yang diimpor dari Sinovac, Cina].

“Sampai hari ini, saya dapat laporan terakhir, ada tiga juta dosis yang sudah selesai diproduksi dan proses quality control,” kata Direktur Utama Bio Farma, Honesti Basyir, saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI.

“Untuk nanti bisa dikirimkan ke BPOM, untuk mendapatkan load release. Baru bisa didistribusikan, kalau sudah mendapatkan lot release dari BPOM,” imbuhnya, Rabu (20/1).

Terlepas dari itu, pada Selasa (12/1) lalu, Indonesia telah mengimpor bahan baku vaksin COVID-19, sebanyak 15 juta.

“Dari total 140 juta supply, kita terhadap bulk ini, 15 juta dosis sudah datang, 12 Januari lalu, menggunakan Garuda,” jelas Basyir.

“Dan kita sudah mulai melakukan produksinya dari tanggal 14 Januari. Jadi, dalam sepekan, ada tiga batch proses produksi kita, satu batch itu kira-kira satu juta dosis,” paparnya.

Basyir, memperkirakan untuk 140 juta bulk vaksin, akan tiba seluruhnya di Indonesia, dalam satu semester ini.

Pihaknya juga berupaya mempercepat pengadaan vaksin, “Kedatangan berikutnya 140 juta dosis, akan datang dalam waktu satu semester.”

“Jadi, kita lakukan percepatan, karena rencana awalnya selama 10 bulan, dari 14 juta dosis itu,” sambung Basyir.

“Tapi kita yakinkan untuk bisa percepat, karena kebutuhan kita untuk program vaksinasi juga cukup tinggi,” tutupnya.