Berita  

Gagal Bayar Utang Rp564 Triliun, Harga Saham BUMN Cina Babak Belur

Utang Obligasi China

Ngelmu.co – Perusahaan negara (BUMN) Cina, gagal membayar obligasi senilai 40 miliar yuan [US$6,1 miliar], antara Januari dan Oktober 2020. Angka tersebut setara dengan Rp564 triliun [kurs Rp14.100].

Hal ini pun mengguncangkan pasar utang Cina. Mengakibatkan harga obligasi anjlok, suku bunga melonjak.

Tak hanya di situ, permasalahan meluas dan membuat harga saham BUMN Cina, babak belur.

Selain dapat menghancurkan ekonomi negara, permasalahan utang pelat merah Cina, juga berpotensi memperlambat upaya pemulihan mereka dari pandemi COVID-19.

BUMN Cina, kian terbelit utang dalam beberapa pekan terakhir.

Bahkan, perusahaan raksasa Brilliance Auto Group–partner BMW China–pembuat chip ponsel Tsinghua Unigroup, dan Yongcheng Coal & Electricity, mengaku bangkrut karena gagal membayar pinjaman mereka bulan lalu.

Kabar ini pun memunculkan kekhawatiran akan merenggangnya pemerintah Cina dan BUMN.

Sebab, kedekatan keduanya, biasanya membuat mereka menjadi ‘taruhan’ yang aman di masa-masa sulit.

Namun, jika pemerintah Cina, tak lagi mendukung BUMN, otomatis mereka akan menjadi instrumen investasi yang semakin berisiko.

Begitu pun kesuksesan BUMN Cina, menjadi kritis bagi kestabilan sistem keuangan negara.

Meskipun berkontribusi kurang dari 1/3 PDB negara, tetapi mereka memiliki lebih dari setengah total utang yang dikeluarkan, di Cina.

Baca Juga: Kesalahan Cina di Awal Pandemi Terungkap dari Bocornya Dokumen

Berdasarkan data People’s Bank of China, dan juga perusahaan pialang China Huachuang Securities, BUMN, memegang sekitar 90 persen dari obligasi korporasi negara.

“Kredibilitas jaminan pemerintah telah menjadi benteng terpenting melawan krisis keuangan sejauh ini,” ujar Direktur Riset Pasar Cina di Rhodium Group Logan Wright.

“Sekarang kami melihat tanda-tanda bahwa kredibilitas ini terkikis,” sambungnya, mengutip CNN Business, Kamis (10/12).

Cina, dalam sejarahnya, tidak mau membiarkan perusahaan negara gagal bayar.

Partai Komunis Cina, bahkan menikmati kontrol ketat atas sebagian besar ekonomi, termasuk bisnis.

Mereka pun percaya, bahwa mempertahankan hubungan antara perusahaan-perusahaan itu dengan pemerintah, penting.

Tetapi sekarang, tampaknya Cina, bersedia membiarkan beberapa di antaranya bangkrut.

Lebih lanjut, maraknya gagal bayar utang dan obligasi korporasi, juga akan mengakibatkan sistem keuangan rentan dan membuat pendekatan itu berisiko.

“Meskipun pihak berwenang menginginkan disiplin pasar untuk perusahaan yang lebih berisiko, mereka tidak dapat mengetahui seberapa besar risiko kredit dapat menyebabkan penularan yang lebih luas.”

“Tidak ada yang bisa mengetahui garis ini dengan jelas, mengingat tidak ada preseden untuk risiko ini dalam sistem keuangan Cina.”

Demikian tulis Wright, dalam catatan penelitian baru-baru ini.