Opini  

GAR Alumni ITB dalam Politik Hegemoni

GAR ITB Politik Hegemoni

Ngelmu.co – Gerakan Anti-Radikalisme (GAR) Alumni ITB, tidak hanya memusuhi Din Syamsuddin. Sebab, Yayasan Pembina Masjid (YPM) Salman, Ibu Nurhayati Subakat, dan Prof Dr Brian Yuliarto, juga diserang.

Objek serangan GAR itu menjelaskan, apa motif dan tujuan tersembunyi berbagai aksi mereka.

Siapa Objek Serangan GAR?

Sebuah perkenalan singkat barangkali perlu untuk mengetahui lebih jauh figur-figur yang diserang oleh GAR ITB.

Din Syamsuddin

Banyak orang mungkin tidak asing dengan Din [begitu biasanya ia dipanggil teman-teman]. Sepertinya, ia memang dilahirkan sebagai pemimpin.

Sejak umur 12 tahun, ia telah menjadi Ketua Ikatan Pelajar NU di Sumbawa.

Sepuluh tahun kemudian, Din, menjadi Ketua Senat Mahasiswa di IAIN Jakarta.

Ia menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di Amerika Serikat (AS), sembari menjabat Ketua PP Pemuda Muhammadiyah.

Pengalaman dan kepemimpinannya yang sangat mumpuni di organisasi sosial keagamaan, menyebabkan ia direkrut menjadi Ketua Departemen Litbang Golkar–ketika usianya baru 35 tahun.

Lima tahun kemudian, ia diangkat menjadi Dirjen Penempatan Tenaga Kerja di Depnaker RI.

Karier Din, semakin menanjak di tingkat nasional dan internasional. Ia merupakan Presiden ACRP [Asian Committe on Religion for Peace], WCRP [World Conference for Religion for Peace], WPF [World Peace Forum], dan CDCC [Center for Dialogue and Cooperation Among Civilizations].

Semua di atas, belum menyebut apa yang telah orang ketahui tentang Din.

Ia adalah Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, organisasi Islam paling terkemuka di Indonesia, untuk dua periode.

Ia juga pernah menjadi Ketua Umum MUI, sebelum digantikan oleh Ma’ruf Amin.

Dalam hemat saya, tidak ada orang lain secemerlang Din yang berkarier di hampir semua ranah:

Organisasi sosial keagamaan, organisasi politik maupun pemerintahan–di tingkat nasional maupun internasional.

Ia adalah salah satu puncak prestasi Indonesia. Muslim yang saleh.

Bang Imad

Sementara YPM Salman ITB merupakan pengelola Masjid Salman yang legendaris.

Orang Bandung, sangat mengenal Masjid Salman. Sebuah rumah ibadah di hadapan kampus ITB, di jalan Ganesha.

Masjid Salman terkenal, karena arsitekturnya yang unik (tidak ada sokoguru tengah), dan pendidikan kadernya yang hebat.

Masjid itu berdiri atas partisipasi seluruh civitas academica ITB.

Pada tahun 1964, Bung Karno, merestui pendiriannya, sekaligus memberinya nama Salman.

Bunga Karno juga yang menghibahkan tanahnya, serta menyetujui desain arsitekturnya.

Masjid Salman masih harus menunggu delapan tahun untuk diresmikan–sebagai masjid kampus pertama di Indonesia.

Sejak 1972, reputasi Masjid Salman, terus berkembang. Tidak hanya dikenal sebagai tempat sholat yang teduh, tenang, dan nyaman, tetapi juga menjadi pusat pergerakan pikiran pun amal ibadah.

Hal itu dilatarbelakangi oleh peran Masjid Salman, dalam menciptakan kader yang hebat.

Pelopornya adalah Imaduddin Abdurrahman (Bang Imad) yang sangat dikenal, karena merintis Latihan Mujahid Dakwah (LMD), dan kuliah tauhidnya.

LMD Salman telah mencetak ribuan da’í dan pemimpin, selain menjadi model pelatihan bagi seluruh aktivis masjid di dalam pun luar kampus.

Dosen lulusan AS itu, juga membuka mata mahasiswa ITB, akan arti penting sains dan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Ia, mengajak para mahasiswa binaannya untuk mewujudkan Islam, secara nyata dalam kehidupan. Melalui pengembangan sains dan ilmu pengetahuan.

Pemikiran Bang Imad, tentu beresonansi kuat di kampus sains dan teknologi ITB.

Menurutnya, sains bukan hanya mendorong orang mengenali hukum alam, tetapi juga mendidik orang untuk jujur dan berani.

Bang Imad, terkenal atas ucapannya bahwa, “Amerika lebih Islami daripada Indonesia.”

Dari kelas-kelas tauhidnya, lahir banyak tokoh bangsa. Di antaranya Hatta Rajasa, dan Alhilal Hamdi.

Di luar mereka, ada ribuan kader Salman yang telah berkontribusi di lapangan–sangat luas.

Mulai dari penelitian sains nuklir, politik, sampai penggerak UKM di akar rumput.

Alhasil, Masjid Salman adalah masjid model gerakan dakwah kampus di Indonesia.

Nurhayati Subakat

Pemilik brand Wardah–produk komestik nasional terbesar saat ini. Seperti halnya Din, ibu Nur, merangkaki kariernya dari bawah.

Ia lulusan Departemen Farmasi ITB, dan atas prestasinya pada tahun 2019 lalu, ITB menganugerahkan beliau gelar Doktor Kehormatan.

Ibu Nur, memulai bisnis kosmetik halalnya ketika usia 35 tahun, dengan memproduksi sampo yang ketika itu hanya ditemani seorang asisten rumah tangga.

Bisnisnya sekarang, telah jauh berkembang. Selain Wardah, perusahaan yang ia dirikan adalah PT Paragon Technology and Innovation.

Perusahaan itu juga mengembangkan merek Putri, Make-Over, Emina, dan IX.

Dengan Paragon, Ibu Nur, sekarang telah menghidupi lebih dari 12.000 pegawai, menguasai 30 persen pangsa pasar kosmetik dalam negeri [dengan 95 juta unit dari 1.000-an item produk per tahun].

Seorang Muslimah yang taat, Ibu Nur, mengatakan bahwa motivasinya membangun bisinis adalah untuk ‘menolong orang’.

Ia membesarkan perusahaan, agar bisa mempekerjakan orang lebih banyak.

Ibu Nur, menunjukkan kesalehannya dengan selalu mengingat Tuhan–ketika membangun strategi perusahaannya, ia menambahkan ‘P’ kelima, yakni Pertolongan Tuhan.

Hal tersebut ia masukan ke formula marketing mix 4P yang terkenal itu.

Keyakinannya pada agama, menjadikan Ibu Nur seorang dermawan. Ia, menyumbang Rp40 miliar untuk COVID-19, dan RP52 miliar untuk Dana Abadi ITB.

“Hidup adalah untuk menyebarkan kebaikan,” katanya.

Brian Yuliarto

Adapun Prof Dr Brian Yuliarto adalah dosen muda ITB yang sangat berprestasi.

Ia meraih gelar profesor pada usia 43 tahun, dan termasuk guru besar termuda di ITB.

Brian, hanya perlu waktu enam tahun untuk menamatkan pendidikan S2 dan S3-nya di Universitas Tokyo–perguruan tinggi terkemuka di Jepang.

Ia, telah melakukan puluhan penelitian dan menghasilkan puluhan artikel ilmiah yang mengukuhkan dirinya sebagai ilmuwan teknologi nano terkemuka di Indonesia.

ITB, berulangkali menahbiskan dirinya sebagai Dosen Berprestasi. Prof Brian juga seorang Muslim yang saleh.

‘Target’ GAR ITB Punya Ciri yang Sama

Dari gambaran di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa keempat pihak yang menjadi target GAR ITB, memiliki ciri yang sama.

  • Mereka adalah tokoh Muslim dan lembaga Islam terkemuka;
  • Puncak-puncak prestasi Muslim dan Muslimah di dunia politik, pendidikan, amal, akademik, dan bisnis. Prestasi mereka telah menginspirasi jutaan orang;
  • Mereka adalah representasi dari kebangkitan Islam yang menampilkan Muslim dan Muslimah dengan citra rasional, modern, tetapi penuh belas kasih dan independen.

Namun, lebih dari semuanya, mereka adalah Muslim dan Muslimah yang saleh–dalam arti, selalu mendasarkan pikiran dan tindakannya kepada ajaran Islam.

Lantas, Siapa GAR?

Saya memiliki banyak teman di GAR ITB, baik yang tergabung dalam grup WhatsApp-nya, atau yang menjadi penandatangan dukungan pada surat-surat mereka.

Tetapi GAR, tentu saja lebih dari sekadar penjumlahan sifat dan watak orang-orang yang saya kenal pribadi.

Dalam hemat saya, GAR adalah produk dari apa yang disebut Gramsci sebagai Perang Posisi yaitu perjuangan politik dan ideologi untuk memperebutkan kedudukan hegemoni di Indonesia.

Perang posisi itu, berada di bawah permukaan dan merepresentasikan konflik eternal kaum sekuler vs kaum agama di Indonesia.

Perang tersebut sengit, penuh trik, tipudaya, framing, dan banyak menggunakan proxy.

Tetapi saya tidak akan membahas lebih jauh tentang hal ini. Saya menunda pembahasannya, supaya kita tidak kehilangan fokus terhadap isu GAR ini.

GAR ITB memperkenalkan dirinya sebagai Gerakan Anti-Radikalisme, yaitu organisasi dari sejumlah alumni ITB yang ingin membersihkan kampus dari radikalisme.

Dari nama dan misinya, kita bisa menyimpulkan bahwa semua tindakan dan kebijakan GAR, mestilah berkaitan dengan upaya deradikalisasi.

Kita melihat bahwa dalam semua kegiatan GAR, mulai dari:

  • Menentukan target, menganalisa, dan mencari pembenaran atas tuduhannya;
  • Mencari dukungan tandatangan;
  • Membuat surat resmi;
  • Beraudiensi dengan para pejabat untuk memperoleh dukungan dan sebagainya, hanya terkait kepada empat nama:
  1. YPM Salman,
  2. Din Syamsuddin,
  3. Nurhayati Subakat, dan
  4. Brian Yuliarto.

Mudah bagi kita, kemudian menduga bahwa keempat nama yang diserang oleh GAR itu, mestilah pihak yang mereka indikasikan radikal [atau setidaknya membantu menyebarkan radikalisme di ITB].

Kalau bukan begitu, nama dan misi mereka menjadi hal yang sia-sia belaka.

Alasan yang dikemukakan GAR, tidak penting kita bahas, karena pertama, semua alasan yang mereka kemukakan adalah alasan trivial [sepele, tidak substantif, remeh].

Alasan semacam itu, hanya dihargai oleh pemerintah absolutis, di mana, “Anda dihukum bukan karena tidak menggunakan seragam merah, tetapi karena ada noda hitam di kerahnya.”

Baca Juga: KAPPAK, “Kami Tak Bilang GAR ITB Islamofobia, tapi Kami Melihatnya Seperti Itu

Lalu, alasan terkait pemakzulan Din khususnya, membuat saya sangat malu.

Sebab, sebagai mantan aktivis ITB, saya tahu bahwa semua aktivis yang melawan Orde Baru saat itu, berkomitmen memperjuangkan demokrasi.

Sekarang, setelah reformasi, GAR justru menggunakan bahasa Bakorstanas untuk memakzulkan Din.

Apakah di ITB, reformasi sudah tidak berarti?

Apakah kebebasan berbicara di ITB sudah mati?

Sikap GAR itu bahkan jauh lebih buruk daripada Bakorstanas–mereka lebih mirip remaja mentah Pengawal Merah di era Revolusi Kebudayaan Cina Mao [yang menghantamkan palunya ke kepala ayah mereka sendiri].

Kedua, keinginan GAR, bukan mengoreksi keadaan yang dianggapnya salah, tetapi untuk menjatuhkan orang atau lembaga yang menjadi target mereka.

Dalam kasus YPM Salman dan Nurhayati, keduanya, sebetulnya sudah akomodatif.

Pihak Paragon [Nurhayati] telah menyingkirkan logo perusahaan, dan pihak YPM Salman, telah menghapus syarat khusus mahasiswa Muslim.

Toh surat protes? Tetap dikirimkan. GAR, berkukuh karena surat mereka memang tidak bertujuan mengoreksi keadaan sebagaimana mereka sampaikan secara terbuka.

Surat tersebut bertujuan menjatuhkan YPM Salman dan Ibu Nur, serta menyematkan label ‘partisan dan agen radikalisme’ di dada keduanya.

Label itu tidak berguna bagi orang yang berpikiran waras. Namun, label itu sangat berguna untuk peluru bully-bully-an para buzzer di media sosial.

Penutup

GAR, menurut saya adalah orang-orang tua yang tertipu.

Mereka korban dari operasi intelegent yang sedang membangun necessary conditions, bagi dominasi kekuatan sekuler [atas kekuatan Islam saleh yang rasional, moderen, canggih, penuh belas kasih, dan independen].

Kekuatan Islam yang coba dijatuhkan ini adalah generasi baru Islam yang tidak terlibat dalam dilema negara Islam vs negara Pancasila.

Mereka justru merupakan tokoh-tokoh yang bergulat secara kreatif dalam polemik tersebut. Namun, berhasil menemukan solusi-solusi original.

Generasi baru ini mencerminkan kebangkitan Islam, yang diimpikan begitu lama–saat ini, menjadi sasaran untuk dijatuhkan dan dipermalukan.

Kalau hal itu berhasil, maka terbentuklah kondisi di mana Islam, tetap dianggap agama inferior, dan umat Islam, dianggap tidak mampu menyajikan serta memimpin jalan kemajuan.

Harapan saya, GAR bisa mengkoreksi diri. Semasa mahasiswa dulu, saya diajarkan negasi, yaitu semangat untuk menanyakan apa pun yang orang katakan kepada saya.

Semangat itu, hendaknya dihidupkan kembali: untuk apa, untuk siapa, dan mengapa saya harus melakukan hal ini?

Narasi radikalisme yang dipompakan oleh BNPT itu sebetulnya dangkal.

Survei-survei yang mengatakan radikalisme berjangkit di kampus-kampus, itu jauh dari standar akademis.

Begitu banyak celah untuk mempertanyakan kebenaran narasi radikalisme dan deradikalisasi.

Akhirnya, saya ingin menggarisbawahi, pentingnya terus dihidupkan kerinduan kepada kebangkitan Islam.

Di mana-mana, kita melihat pentingnya kesalehan pemimpin, dan di sana, agama memiliki peranan yang besar sekali.

Namun, kita juga tahu, kesalehan tidak bisa berdiri sendiri. Di dalam lingkungan yang dipenuhi ketidak-adilan, kesalehan bisa memudar.

Oleh karena itu, pemimpin baru Islam, mesti bisa menjawab tantangan menciptakan sistem baru yang lebih berkeadilan.

Last but not least, diskusi ini memunculkan dua pesan untuk generasi baru Islam.

  1. Bentuklah diri kalian dengan kesalehan; dan
  2. Ukir jalan perjuangan kalian untuk menciptakan masyarakat adil.

Catatan: Menyadur [menyusun kembali cerita secara bebas tanpa merusak garis besarnya] tulisan Radhar Tribaskoro.