Opini  

Gigantisme PDIP

Jokowi hampir saja membuat Megawati Soekarnoputri tersedak. Bermula dari permintaan presiden terpilih itu kepada Megawati untuk kembali menjadi ketua umum PDI-P pada periode 2015-2020. Merespons permohonan Jokowi itu, Megawati nyaris saja menelan biji salak.

“Enggak tahu ya ini (Jokowi) tiba-tiba inspirasinya apa sehingga memang saya kaget juga. Kebetulan saya lagi makan salak, hampir saja ketelan bijinya,” seloroh Megawati, seusai menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV PDI-P di Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (20/9/2014).

Kisah itu tiba-tiba melintas di benak saya setelah kabar tak sedap datang berturut-turut dari PDIP. Usai berita kadernya menggeruduk kantor Radar Bogor, lalu tersiar tertangkap tangannya kader PDIP oleh KPK.  Gigantisme adalah istilah yang tepat memotret semua enomena tersebut.

Gigantisme diambil dari terminologi kesehatan. Ini adalah kondisi seseorang yang kelebihan pertumbuhan, dengan tinggi dan besar yang di atas normal. Gigantisme disebabkan oleh kelebihan jumlah hormon pertumbuhan. Tidak terdapat definisi tinggi yang merujukan orang sebagai “raksasa”.

Dalam dunia politik, seingat saya, istilah ini kali pertama diperkenalkan Eep Saefulloh Fatah, yang pada saat itu mengamati pergerakan Partai Golkar sejak Orde Baru. Menurut Eep, gigantisme merupakan gejala partai politik, terutama partai besar, yang dibentuk oleh sel-sel penyakit. Bak raksasa yang tegap namun mengidap berbagai penyakit, bisa berupa kanker stadium atas, flu, malaria, hingga demam berdarah. Apalah daya raksasa yang sakit-sakitan?

Melihat wajah PDIP saat ini, partai penguasa itu juga sedang mengidap gigantisme. Sebagai The Ruling Party, PDIP tentu saja menjelma jadi partai besar. Menang dalam pemilu 2014, lalu calon presidennya juga sukses menduduki kursi RI-1 adalah bukti tak terbantahkan. Ditambah dengan persebaran kader dan struktur di seantero negeri, menjadikan partai berlambang moncong putih ini bagai raksasa.

Tapi sayangnya, berbagai penyakit menggerogoti PDIP. Kian menjadi-jadi sejak berkuasa pada 2014. Setidaknya ada tiga penyakit yang sedang menjangkitinya.

Pertama, perilaku korupsi yang dilakukan para kadernya yang menjadi pejabat publik. Dalam sepekan terakhir, berita penangkapan tangan atau OTT KPK bahkan dialami oleh PDIP yakni Bupati Buton Selatan Agus Feisal Hidayat dan Bupati Purbalingga Tasdi.

Jejak korupsi kader PDIP tak berhenti disitu. Dalam sebuah infografis yang dilansir situs berita terkenal, PDIP berada di posisi dua besar bersama Partai Golkar dalam urusan korupsi.

Kedua, aksi premanisme. Kelakuan ini beberapa kali dilakukan terutama saat memprotes pemberitaan media massa. Stasiun televisi TV One pernah mengalaminya. Terkini, kantor Redaksi Radar Bogor yang mendapat mimpi buruk.

Tak setuju dengan berita berjudul “Ongkang-ongkang Kaki dapat Rp 100 Juta”, kader PDIP menggeruduk kantor tersebut. Aksi menjurus premanisme terjadi.

Ketiga, figuritas. Ketergantungan PDIP kepada sosok Megawati semakin tinggi. Kondisi ini tentu saja mengkhawatirkan. Sebuah partai modern tak boleh menggantungkan diri semacam ini karena bisa menghambat sistem dan mekanisme organisasi.

Khusus masalah ini, tak hanya PDIP yang mengalaminya. Mayoritas partai di Tanah Air juga bernasib serupa. Dan sejauh ini, tampaknya baru PKS yang tak tergantung pada nama besar.

Ketiga penyakit ini jika dibiarkan akan sangat berbahaya. Ibarat virus, dia akan menjalar dan menggerogoti tubuh PDIP hingga akhirnya membuat partai menuju ke titik nadirnya.

Di sisi lain, kondisi ini juga sangat merugikan bangsa ini mengingat keberadaan PDIP sebagai partai penguasa yang sedikit banyaknya menentukan hijau atau merahnya wajah Indonesia.

Biji salak telah “selamat” tak tertelan. Tapi kita khawatir bangsa ini tertelan sejarah akibat gigantisme PDIP yang tak segera diobati.

Semoga Ibu Mega bisa mengatasinya…

Erwyn Kurniawan