Berita  

Harapan Swasembada Garam Sejak 2015 Belum Terjawab Hingga 2021

Jokowi Swasembada Garam Impor Garam
Presiden Joko Widodo saat mengunjungi tambak-tambak garam di Desa Nunkurus, Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur, 21 Agustus 2019.

Ngelmu.co – Demi mewujudkan kemandirian ekonomi, pemerintah merumuskan peta jalan swasembada garam nasional. Di mana salah satu targetnya adalah agar Indonesia, terbebas dari impor garam.

Demikian mengutip laman resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan, kkp.go.id.

Harapan Swasembada Garam

Sayangnya, harapan swasembada garam sejak 2015 lalu itu, belum juga terjawab hingga 2021.

Namun, pernyataan senada masih terdengar di tahun 2019 lalu, sebagaimana mengutip laman plaman presidenri.go.id.

Presiden Jokowi, saat menyambangi tambak garam di Nusa Tenggara Timur (NTT), menyebut bahwa swasembada garam dapat berjalan secara bertahap.

“Saya ke sini, hanya ingin memastikan bahwa program untuk urusan garam ini sudah dimulai,” tuturnya, Rabu (21/8/2019).

“Karena kita tahu, impor garam kita 3,7 juta [metrik] ton, sementara yang bisa diproduksi dalam negeri baru 1,1 juta ton. Masih jauh sekali,” sambung Jokowi.

Pada kesempatan itu, ia bahkan menyebut, beberapa jenis garam produksi tambak lokal, jauh lebih berkualitas daripada garam impor.

“Tadi saya ditunjukkan beberapa perbandingan garam yang diambil dari luar dibawa ke sini,” kata Jokowi.

“Yang dari Madura, yang dari Surabaya, dan dari Australia. Memang hasilnya di sini lebih bagus,” imbuhnya.

“Lebih putih, bisa masuk ke garam industri, dan kalau diolah lagi, bisa juga menjadi garam konsumsi,” lanjutnya lagi.

Lantas, Mengapa Masih Impor?

Pada Oktober 2020 lalu, Presiden Jokowi, menyampaikan beberapa faktor yang menyebabkan melesetnya target swasembada garam.

Pengambilan keputusan impor, tuturnya, tak lain karena produksi garam dalam negeri masih rendah.

Belum juga ada upaya penyelesaian yang dilakukan untuk menaikkannya.

“Masih rendah produksi garam nasional kita, sehingga yang kemudian dicari paling gampang yaitu impor garam,” kata Jokowi,

“Dari dulu begitu terus, dan tidak pernah ada penyelesaian,” sambungnya, ketika membuka rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Senin (5/10/2020).

Pada kesempatan itu, Jokowi juga menjabarkan total kebutuhan garam nasional di tahun 2020 yang mencapai 4.000.000 ton per tahun.

Namun, produksi dalam negeri hanya mampu mencapai setengahnya.

Itu mengapa Jokowi, meminta agar masalah tersebut diperbaiki secara tuntas, bukan hanya selesai dengan kebijakan impor.

Ia memerintahkan para menteri untuk melakukan pembenahan besar-besaran pada produksi garam nasional.

“Saya kira ini langkah-langkah perbaikan, harus… harus kita kerjakan. Mulai pembenahan besar-besaran pada supply chain, mulai hulu sampai hilir,” tegas Jokowi.

Keputusan Impor Garam

Swasembada belum terwujud. Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Sakti Wahyu Trenggono, mengatakan bahwa pemerintah telah memutuskan impor garam.

Saat ini, mereka sedang menghitung berapa besar jumlah yang dibutuhkan.

“Impor garam sudah diputuskan melalui rapat Menko (Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi),” kata Trenggono, mengutip Antara, Ahad (14/3) kemarin.

Pihaknya, saat ini masih menunggu data kebutuhan garam di Indonesia, untuk mengetahui jumlah kekurangan yang kemudian akan diimpor.

Impor garam, lanjut Trenggono, juga sesuai neraca perdagangan. Sehingga kebutuhan dalam negeri dapat terpenuhi.

“Nanti, misalnya kekurangannya berapa, itu baru bisa diimpor, kita menunggu itu,” jelasnya.

“Karena itu sudah masuk dalam Undang-Undang Cipta Kerja,” sambung Trenggono.

Pernyataan Komisi IV DPR

Anggota Komisi IV DPR RI Ono Surono, mengatakan bahwa persoalan garam di Indonesia, tak kunjung selesai karena adanya perbedaan data [antara Kementerian Perdagangan dan KKP].

Menurutnya, pemerintah harus bisa mengetahui kebutuhan yang sesungguhnya. Mana yang dapat dipasok garam lokal, dan mana yang industri.

“Impor ini terkait neraca garam, di mana antara Kementerian Perikanan dan Kementerian Perdagangan, selalu berbeda,” ungkap Ono.

Meski demikian, ia mengaku, akan mengawasi impor garam oleh pemerintah, agar kebijakan tersebut tidak memberatkan para petambak garam.

“Kita akan awasi betul, bagaimana impor garam ini tidak berimbas kepada garam konsumsi yang selama ini cukup dipasok oleh garam lokal,” janji Ono.

Prediksi Kebutuhan Garam Nasional

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memprediksi kebutuhan garam nasional pada tahun 2021, mencapai 4,6 juta ton.

Namun, tidak menutup kemungkinan angka tersebut akan terus meningkat di setiap tahunnya.

“Dari total 4,6 juta ton kebutuhan garam nasional tersebut, sebanyak 2,4 juta ton, atau 53 persen merupakan kebutuhan untuk sektor chlor alkali plant (CAP) yang meliputi industri petrokimia, pulp, dan kertas.”

Demikian kata Direktur Jenderal IKFT [Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil] Kemenperin Muhammad Khayam, mengutip pertanian.sariagri.id, Kamis (11/2) lalu.

Lebih lanjut ia mengatakan, agar garam lokal dapat terserap oleh sektor industri, perlu perbaikan kuantitas, kualitas, kontinuitas pasokan, serta kepastian harga.

Maka itu, pemerintah terus mendorong peningkatan kualitas garam dalam negeri dengan perbaikan metode produksi dan penerapan teknologi [baik pada lahan pun industri pengolah garam].

“BPPT [Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi] di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi, telah mencanangkan beberapa program,” kata Khayam.

“Untuk dapat meningkatkan pemanfaatan garam lokal oleh sektor industri, termasuk industri CAP,” imbuhnya.

“Yaitu dengan rencana pembangunan pilot plan implementasi teknologi garam tanpa lahan, atau garam dari rejected brine PLTU di PLTU Suralaya,” jelasnya lagi.

Sejak 2018 lalu, Kemenperin juga telah memfasilitasi kerja sama antara industri pengolahan garam dengan petani, melalui penandatanganan MoU [Nota Kesepahaman] penyerapan garam lokal.

Menengok Realisasi

Dari target 1,1 juta ton, realisasinya mencapai 95 persen, pada periode Agustus 2019-Juli 2020.

Di tahun 2021 ini, Kemenperin juga telah berkoordinasi dengan KKP, terkait data stok garam lokal.

Sebagian besarnya terdapat di delapan kabupaten–lokasi sentra–yakni:

  1. Cirebon,
  2. Indramayu,
  3. Rembang,
  4. Pati,
  5. Sampang,
  6. Pamekasan,
  7. Sumenep, dan
  8. Bima.

Berdasarkan data KKP tersebut, Kemenperin akan mengawal penyerapan stok garam lokal oleh industri pengolah garam di bawah koordinasi AIPGI [Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia].

“Kami bertekad untuk terus mengoptimalkan penyerapan garam lokal di tahun 2021 ini,” ujar Khayam.

“Serta dapat mencari solusi terbaik dalam memperlancar proses penyerapan garam lokal oleh industri,” pungkasnya.

Bukan Hanya Swasembada Garam, tapi juga Kedelai

Harapan Presiden Jokowi–saat menjabat di periode pertama (2014-2019)–bukan hanya swasembada garam, tetapi juga kedelai.

Hal ini ia sampaikan, ketika memberi kuliah umum di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Selasa (9/12/2014).

Pemerintahannya menargetkan, dalam tiga tahun, Indonesia dapat swasembada pangan, khususnya untuk pajale (padi, jagung, dan kedelai).

Bicara ketergantungan impor, kata Jokowi, dari ketiga makanan pokok tersebut, swasembada kedelai menjadi yang tersulit.

Namun, pada kesempatan itu, Jokowi mengaku tidak segan memecat Menteri Pertanian, jika target tak terealisasi.

“Saya sudah beri target Menteri Pertanian, tiga tahun, tidak boleh lebih,” tuturnya, mengutip Kompas.

“Hati-hati, tiga tahun belum swasembada, saya ganti menterinya,” sambung Jokowi.

Namun, Mengapa Indonesia Masih Impor Kedelai?

Indonesia telah mengimpor kedelai, sejak keluarnya izin–pasca krisis keuangan–di tahun 1998. Artinya, sudah lebih dari 20 tahun.

Menurut pemerintah, rata-rata kebutuhan kedelai dalam negeri adalah 2-3 juta ton per tahun.

Sedangkan produksi dalam negeri, hanya mampu menyediakan 300.000 ton.

Sehingga kekurangannya mengandalkan impor yang mayoritas berasal dari Amerika Serikat (AS)–memenuhi 90 persen kebutuhan.

Pada awal 2021 lalu, harga kedelai membuat produsen tempe dan tahu geram, hingga sempat menghentikan produksi.

Kenaikan harga bahan baku utama tempe dan tahu itu terjadi, karena mayoritas komoditas berasal dari impor, dan mengikuti perkembangan harga dunia.

Mengutip The Conversation, harga kedelai naik sekitar 30 persen, dari Rp6.000-7.000-an per kilogram, menjadi Rp8.000-9.000.

Baca Juga: Pemerintah Beri Kewenangan Impor Gula Langsung ke Pelaku Usaha, Peneliti: Kasihan Petani

Peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prima Gandhi, menilai produktivitas petani kedelai lokal rendah, karena berbagai macam faktor [cukup rumit untuk dibenahi].

Seperti luas lahan tanam kedelai yang terus berkurang, akibat alih fungsi lahan.

Berdasarkan data terbaru tahun 2018, hanya sekitar 680.000 hektare yang menanam kedelai.

Padahal untuk memenuhi permintaan dalam negeri, butuh setidaknya 2,5 juta hektare.

Lebih lanjut Prima mengatakan, saat panen, petani juga mendapati harga kedelai lokal yang rendah.

Keuntungan mereka semakin tipis, karena tingginya biaya untuk menanam kedelai.

Dengan biaya produksi kedelai Rp6.500 per kilogram, pemerintah mematok harga jual di tingkat petani Rp8.500 per kilogram.

“Hal ini membuat para petani malas, dan tidak mau menanam kedelai lokal. Para petani lebih memilih menanam palawija,” jelas Prima.

Sementara Kepala Riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, pun menilai impor memang dibutuhkan.

“Karena ada kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan,” ujarnya.

“Selain itu, kedelai nasional juga sulit terserap, karena tidak mampu bersaing dengan kedelai impor yang lebih berkualitas baik, dengan harga lebih murah,” sambung Felippa.

Berbagai Persoalan

Petani kedelai lokal harus menghadapi berbagai persoalan yang membuat kedelai produksi mereka tak dapat terserap maksimal oleh pasar.

Persoalan tersebut seperti kualitas dan harga yang tidak bisa bersaing dengan kedelai impor.

Maka Felippa menilai, pemerintah harus bisa meningkatkan produktivitas para petani.

“Tentu saja meningkatkan produktivitas bukan hal mudah, karena itu, pemerintah perlu membina dan mendampingi petani kedelai,” ujarnya.

“Serta investasi dalam bentuk modal. Dengan pembinaan yang intensif, maka produktivitas bisa lebih meningkat,” lanjut Felippa.

Pembinaan yang dimaksud, dapat dilakukan dengan penggunaan benih, pupuk, dan sarana produksi lain yang tepat.