Berita  

12 Poin Hasil Ijtima Ulama MUI: Kripto, Permendikbud, Hingga RUU Minol

Hasil Ijtima Ulama MUI

Ngelmu.co – Ijtima Ulama ke-7 Majelis Ulama Indonesia (MUI), menghasilkan 12 poin kesepakatan.

Berkaitan dengan mata uang virtual cryptocurrency alias kripto, Permendikbud Ristek 30/2021, hingga RUU Minol.

Selaku Ketua Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni’am Sholeh pun membacakan hasil kesepakatan para ulama se-Indonesia.

1. Hukum Kripto Sebagai Mata Uang

Para ulama menyetujui bahwa hukum penggunaan kripto–yang tidak memenuhi sil’ah secara syar’i–sebagai mata uang adalah haram.

“Penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang, hukumnya haram,” tutur Ni’am di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Kamis (11/11) kemarin.

Ia juga menyampaikan beberapa alasan lebih lanjut, yakni karena kripto mengandung gharar dan dharar.

Sekaligus bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 Tahun 2015.

“Cryptocurrency sebagai komoditas atau aset digital, tidak sah diperjualbelikan.”

“Karena mengandung gharar, dharar, qimar, dan tidak memenuhi syarat sil’ah secara syar’i,” jelas Ni’am.

2. Cabut Permendikbud Ristek 30/2021

Ijtima ulama juga menyoroti frasa ‘tanpa persetujuan korban’ dalam Permendikbud Ristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).

“Meminta kepada pemerintah, agar mencabut atau setidak-tidaknya mengevaluasi atau merevisi Permendikbud Ristek 30/2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi.”

“Dengan mematuhi prosedur pembentukan peraturan, sebagaimana ketentuan UU 12/2011 yang telah diubah dengan UU 15/2019.”

“Materi muatannya, wajib sejalan dengan syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundangan-Undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.”

3. Soal Nikah Online

MUI yang juga membahas aturan nikah online, menyepakati bahwa tidak sah menikah, jika tak memenuhi syarat sah ijab kabul.

“Akad nikah secara online hukumnya tidak sah, jika tidak memenuhi salah satu syarat sah ijab kabul akad pernikahan.”

“Yakni dilaksanakan secara ittihadu al-majlis [berada dalam satu majelis], dengan lafaz yang sharih [jelas], dan ittishal [bersambung antara ijab dan kabul secara langsung].”

Jika calon mempelai pria dan wali tidak bisa berada dalam satu tempat secara fisik, lanjut Ni’am, maka ijab kabul dapat dilakukan dengan cara mewakilkan.

Sementara jika para pihak tidak dapat hadir dan/atau tidak mau mewakilkan, maka pelaksanaan akad nikah secara online bisa berlangsung dengan beberapa syarat.

Seperti adanya ittihadul majlis, lafaz yang jelas dan tersambung antara ijab dan kabul secara langsung. Dengan catatan:

  • Wali nikah, calon pengantin pria, dan dua orang saksi dipastikan terhubung melalui jejaring virtual meliputi suara dan gambar;
  • Harus dalam waktu yang sama; dan
  • Terdapat jaminan kepastian tentang benarnya keberadaan para pihak.

4. Hukum Pinjaman Online Riba

Pinjaman online yang mengandung riba, kata Ni’am, juga hukumnya haram, sama dengan yang berlaku pada pinjaman offline.

“Layanan pinjaman, baik offline maupun online, yang mengandung riba, hukumnya haram. Meskipun dilakukan atas dasar kerelaan.”

Ia pun mengimbau umat muslim, agar memilih jasa layanan keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah.

“Umat Islam hendaknya memilih jasa layanan keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah.”

5. Hukum Melecehkan Agama

Hasil ijtima ulama berikutnya adalah kesepakatan bahwa menghina ataupun melecehkan agama, hukumnya haram.

Ni’am pun menjelaskan kriteria penodaan agama yang dimaksud.

“Menghina, menghujat, melecehkan, dan bentuk-bentuk perbuatan lain yang merendahkan agama, keyakinan, dan simbol-simbol dan/atau syiar agama yang disakralkan oleh agama, hukumnya haram.”

Ni’am menjelaskan, bahwa kriteria serta batasan tindakan yang termasuk dalam kategori perbuatan penodaan dan penistaan agama Islam adalah:

  • Menghina,
  • Menghujat,
  • Melecehkan, dan
  • Berbagai bentuk perbuatan lain yang merendahkan:

a. Allah Subhanahu wa Ta’ala;
b. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam;
c. Kitab Suci Al-Qur’an;
d. Ibadah mahdlah seperti sholat, puasa, zakat, dan haji;
e. Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam;
f. Simbol-simbol dan/atau syiar agama yang disakralkan seperti Ka’bah, masjid, dan azan.

Pembuatan gambar, poster, karikatur juga termasuk kategori penistaan agama.

Begitu pula dengan pernyataan serta ucapan di muka umum dan media yang menghina agama.

“Pembuatan konten dalam bentuk pernyataan, ujaran kebencian, dan video yang di-publish ke publik melalui media cetak, media sosial, media elektronik, dan media publik lainnya.”

6. Pilkada

Ijtima ulama kali ini juga membahas isu pemilu dan pilkada.

Pihaknya menilai, pilkada lebih banyak menimbulkan mafsadah [kerusakan] akibat perbuatan buruk yang melanggar hukum.

“Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang berlaku saat ini dinilai lebih besar mafsadahnya, daripada maslahatnya.”

Ni’am juga menyebutkan beberapa mafsadah yang ditimbulkan. Salah satunya, mempertajam konflik horizontal di tengah masyarakat.

Disharmoni juga menjadi dampak dari pilkada yang mengancam integrasi nasional, merusak moral, akibat adanya politik uang.

Baca Juga:

7. RUU Minol

Itjima Ulama ke-7 MUI juga meminta DPR dan pemerintah, segera mengesahkan RUU Minol [Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol] menjadi undang-undang.

MUI menekankan bahwa minuman beralkohol, merugikan masyarakat.

“RUU Minol yang telah sejalan dengan Fatwa MUI 11/2009 [tentang hukum alkohol] dan Fatwa MUI 10/2018 [tentang produk makanan dan minuman yang mengandung alkohol atau etanol], agar segera disahkan menjadi UU.”

Negara, lanjut Ni’am, harus hadir untuk mengatur minuman beralkohol, sesuai amanat konstitusi.

Harus juga melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh Tanah Air.

“Negara harus menerbitkan regulasi. Mulai dari pencegahan, pengurangan risiko, daya tanggap, serta upaya pemulihan akibat minuman beralkohol.”

“Berlandaskan ajaran agama, bahwa semua agama melarang minuman beralkohol.”

“Islam dalam Al-Qur’an surat Al-Ma’idah ayat 90, dan hadis-hadis Nabi, serta kaedah ushuliyah, serta fatwa MUI.”

“Menegaskan bahwa khamar, alkohol, minuman dan makanan beralkohol adalah haram,” jelas Ni’am.

8. Stigma Negatif Jihad dan Khilafah

MUI juga menyampaikan pandangan tentang jihad dan khilafah.

Pihaknya menolak jika jihad dimaknai semata-mata sebagai perang, dan khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan.

“MUI menggunakan manhaj wasathiyah [berkeadilan dan berkeseimbangan] dalam memahami makna jihad dan khilafah.”

“Oleh karena itu, MUI menolak pandangan yang dengan sengaja mengaburkan makna jihad dan khilafah, yang menyatakan bahwa jihad dan khilafah bukan bagian dari Islam,” tegas Ni’am.

Jihad, sambungnya, adalah salah satu inti ajaran dalam Islam, guna meninggikan kalimat Allah–hal yang telah difatwakan oleh MUI.

“Dalam situasi damai, implementasi makna jihad dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, dilakukan dengan cara upaya yang bersungguh-sungguh dan berkelanjutan.”

“Untuk menjaga dan meninggikan agama Allah, dengan melakukan berbagai aktivitas kebaikan.”

“Dalam situasi perang, jihad bermakna kewajiban muslim untuk mengangkat senjata, guna mempertahankan kedaulatan negara,” papar Ni’am.

9. Aturan Toa Masjid

MUI juga membahas aturan mengenai volume toa masjid yang digunakan untuk azan.

Pihaknya menjelaskan bahwa sebelumnya, pemerintah telah mengatur hal tersebut.

“Dalam masalah ini, Kemenag telah menerbitkan aturan sejak tahun 1978, untuk dipedomani setiap muslim. Khususnya para pengurus masjid atau musholla.”

“Agar lebih kontekstual, perlu disegarkan kembali, seiring dengan dinamika masyarakat.”

Lalu, MUI juga merekomendasikan adanya sosialisasi serta pembinaan kepada umat Islam.

Pihaknya menyarakankan sosialisasi dilakukan terhadap pengurus masjid dan masyarakat umum [tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid, musholla, yang lebih maslahah].

“MUI juga merekomendasikan pemerintah memfasilitasi infrastruktur masjid dan musholla, sebagai penyempurna kegiatan syiar keagamaan.”

10. Masa Jabatan Presiden

Ijtima Ulama ke-7 MUI juga menyepakati bahwa masa jabatan presiden, hanya dua periode.

“Pembatasan masa jabatan kepemimpinan, maksimum dua kali, sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.”

“Wajib untuk diikuti, guna mewujudkan kemaslahatan serta mencegah mafsadah,” kata Ni’am.

Pemilu, imbuhnya, juga harus dilaksanakan dengan langsung, bebas, jujur, adil, dan rahasia, serta bebas dari oligarki juga dinasti politik.

Sementara poin ke-11, berkaitan dengan aturan pajak bea cukai, dan yang ke-12 adalah aturan transplantasi rahim.

Mengenai dua poin terakhir ini, Ni’am menyampaikan bahwa pihaknya, masih melakukan finalisasi keterangan.