Opini  

Ijtima’ Ulama, Panggilan Sejarah dan Bashirah di Masa Genting

 

Tadi malam istri saya memberikan dua jilid buku lama. Judulnya Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara. Saya sempatkan membaca beberapa bagian penting. Lalu berkesimpulan: inilah buku yang tepat menjawab kritikan dari pihak-pihak tertentu terkait Ijtima’ Ulama.

Buku ini membuka tabir gelap sejarah Islam di Tanah Air sejak zaman kerajaan hingga masa reformasi. Peran umat Islam dan ulama selama ini dipinggirkan. Yang populer adalah soal kerajaan Majapahit dan Sriwijaya.

Di masa kedua kerajaan itu, kata para guru kita, nusantara mengalami kejayaan. Sementara ketika menyinggung soal kerajaan Islam, kita hanya tahu soal perpecahan dan konflik. Begitulah pelajaran sejarah yang kita dapatkan di bangku SD hingga SMA.

Padahal sejatinya tidak demikian. Islam telah hadir dan memberikan kontribusi luar biasa dalam sejarah Indonesia. Pada abad ke-9 Masehi misalnya, telah terbentuk kekuasaan politik Islam di Aceh. Abad ke-11 Masehi telah berdiri pula kekuasaan politik Islam di Leran Gresik, Jawa Timur, yang dibangun oleh Fatimah Hibatoellah binti Maimoen jauh sebelum Kerajaan Hindu Majapahit dibangun di Trowulan Mojokerto, Jawa Timur pada tahun 1294.

Seiring kedatangan imperialisme Barat, muncul benih-benih perlawanam dari rahim umat. Perlawanan kekuasaan politik Islam terhadap Barat adalah karena imperialisme mereka yang hendak menjadikan rakyat Indonesia sebagai budak di tanah sendiri.
Lahir perlawanan kekuasaan politik Islam seperti Kesultanan Demak dan Kesultanan Aceh untuk merebut kembali Malaka, yang pada tahun 1512, yang setahun sebelumnya dikuasi oleh penjajah Portugis.

Lalu ada Kesultanan Cirebon oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati 1527, Kesultanan Banten/Mataram oleh Sultan Agung 1613-1645, Sultan Hasanuddin Makasar 1653-1669, Pangeran Diponegoro 1825-1830, Imam Bonjol Sumatera Barat 1821-1837, Si Singamangaradja XII 1872-1907. Mereka bergerak melawan kolonialisme Barat dengan ruh jihad yang berkobar-kobar.

Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dalam buku Pemberontakan Petani Banten 1888 mencatat, di pulau Jawa terdapat sekitar 300 pesantren. Ajaran pesantren telah meniadakan rasa etnoregional dan menjadikan Islam sebagai simbol gerakan nasional. Dengan kata lain, pengaruh ajaran ulama mengubah jiwa sukuisme atau rasisme menjadi nasionalisme.

Tak sampai disini. Sumbangsih ulama dan umat Islam terus membesar jelang kemerdekaan. Ada
Sjarikat Dagang Islam yang oleh para sejarawan Orde Lama dianggap sebagai pelopor Kebangkitan kembali kesadaran Nasional Indonesia. Organisasi ini didirikan oleh Hadji Samanhoedi (1868-1956).

Kemudian ada Oemar Said Tjokroaminoto dengan Sjarikat Islam 1912 yang sebelumnya telah berdiri di Surakarta pada 1906; Sajid Al Fachir bin Abdurrahman Al Masjhoer mencerdaskan umat melalui Djamiat Choir 1905; K.H. Achmad Dahlan dengan Persjarikatan Moehammadijah 1912; K.H. Abdoel Halim dengan Persjarikatan Oelama 1915; K.H.M. Jasin dengan Mathla’ul Anwar; Moehammad Joenoes bersama Hadji Zamzam dengan Persatoean Islam 1923; K.H. Hasjim Asj’ari dengan Nahdlatul Ulama pada 1926.

Paska kemerdekaan, kontribusi ulama dan umat yang paling fenomenal adalah Resolusi Jihad yang dimotori oleh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), pemerintah kolonial Belanda melalui organisasi Netherlands Indies Civil Administration (NICA) berusaha menancapkan kembali misi penjajahannya di Tanah Air dengan membonceng tentara Sekutu.

Melihat gelagat jahat itu,
KH Hasyim Asy’ari bersama ulama-ulama lainnya di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya pada 21- 22 Oktober 1945. Para ulama itu lantas mendeklarasikan perang mempertahankan kemerdekaan sebagai perang suci atau jihad.

Resolusi Jihad isinya antara lain menegaskan bahwa membela Tanah Air hukumnya fardhu ‘ain (kewajiban yang bersifat perorangan) bagi setiap orang Islam di Indonesia. Dalam resolusi itu ditegaskan pula bahwa kaum Muslimin yang berada dalam radius 94 km dari pusat pertempuran wajib ikut berperang melawan Belanda.

“Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari termasuk salah satu faktor penentu berlanjut atau tidaknya kemerdekaan Indonesia,” tulis Gunaji dalam skripsi berjudul Resolusi Jihad NU 1945: Peran Politik dan Militer NU dalam Memper tahan kan Kedaulatan NKRI yang dipublikasikan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta (2009).

Setelah Resolusi Jihad, peran umat Islam dan ulama mengalami pasang surut. Kabar soal perpercahan yang kerap terdengar. Hingga kemudian lahir Aksi Bela Islam 212 dan diikuti 2 tahun berselang dengan Ijtima’ Ulama pada 2018.

Jika dicermati, setiap babakan sejarah yang didalamnya ada peran ulama dan umat Islam, selalu saja saat situasi dan kondisi bangsa dalam keadaan genting. Ketika negara kritis, ulama dan umat hadir, berjuang di garda terdepan.

Dulu, saat masa kerajaan dan sebelum kemerdekaan, kolonialisme dan imperialisme menjadi musuh nyata yang siap mencaplok kekayaan alam Nusantara. Lalu ada Resolusi Jihad yang ditujukan untuk mempertahankan kemerdekaan. Kemudian Aksi Bela Islam 212 ketika penguasa bertindak zalim dan tidak adil kepada umat dan mengancam eksistensi persatuan bangsa.

Terakhir, Ijtima’ Ulama yang merupakan kelanjutan dari semangat menjaga ruh 212, hadir jelang pilpres 2019, saat situasi negara juga genting. Utang yang menumpuk, hukum yang jadi alat kekuasaan, ulama dan umat yang dikriminalisasi juga diadu domba, serta kondisi ekonomi yang membuat rakyat menjerit.

Pada titik inilah akhirnya kita bisa melihat secara objektif lahirnya Ijtima’ Ulama. Tak lain dan tak bukan karena sebuah panggilan sejarah dan bashirah (mata batin ulama) dalam melihat persoalan di sekelilingnya.

Ingat, baru kali ini ulama berijtima’ memberikan rekomendasinya terkait sosok capres dan cawapres. Dalam sejarah pilpres Orde Baru yang tak langsung, dan pilpres selama orde reformasi yang dilaksanakan secara langsung (2004, 2009, 2014), baru kali ini ulama berijtima’ Itu artinya, situasi dan kondisi negeri ini betul-betul dalam keadaan genting.

Lalu, jika masih saja di antara kita yang meragukan dan mendelegitimasi Ijtima’ Ulama, saya sarankan baca buku Api Sejarah. Namun, jika masih tak berubah, jangan salahkan jika mereka yang tidak mengikuti Ijtima’ Ulama akan diangggap bagian dari pihak-pihak yang ingin kondisi negeri ini terus krisis dan genting.

Wallahua’lam bishshowab

Erwyn Kurniawan

Penulis dan Jurnalis