Indeks Demokrasi RI Kalah dari Timor Leste dan Malaysia

Indeks Demokrasi

Ngelmu.co – Indeks demokrasi Republik Indonesia (RI), dinyatakan kalah dari Timor Leste dan Malaysia, usai The Economist Intelligence Unit, merilis data di beberapa negara, untuk tahun 2019. Indonesia menempati peringkat ke-64, dari 167 negara di dunia.

Indeks Demokrasi

Berdasarkan riset tersebut, skor indeks demokrasi Indonesia adalah 6,48, dalam skala 0-10.

Meskipun angka ini terbilang naik jika dibanding tahun 2017 dan 2018, yakni 6,39, tetapi tiga tahun terakhir ini bisa dibilang buruk.

Pasalnya, pada periode 2015, indeks demokrasi Indonesia berada di angka 7,03, sedangkan pada 2016, di angka 6,97.

Skor ini membawa Indonesia ke peringkat 11, kategori negara yang masuk kawasan regional Asia dan Australia.

Indonesia memang berada di atas negara Asia Tenggara lain, seperti Thailand—indeks demokrasi 6,32, peringkat 68 dunia, 12 di regional—dan Singapura, dengan 6,02 (peringkat 75 dunia, 15 di regional).

RI Kalah dari Timor Leste dan Malaysia

Namun, Indonesia justru kalah dari Timor Leste—indeks demokrasi 7,19 (peringkat 41 dunia, 6 di regional), Malaysia, dengan 7,16 (peringkat 43 dunia, 7 di regional), dan Filipina, dengan 6,64 (peringkat 54 dunia, 9 di regional).

Pilpres 2019 hingga isu ancaman demokrasi di Indonesia, turut dibahas dalam analisis The Economist Intelligence Unit.

“Indonesia menggelar pemilihan presiden pada April 2019. Hasilnya, Joko Widodo terpilih lagi sebagai presiden untuk periode kedua,” demikian bunyi analisis The Economist Intelligence Unit, seperti dikutip Kompas, Kamis (23/1).

Demokrasi Indonesia Mengalami Kemunduran, Jika…

Setelah muncul wacana pemilihan langsung dihapus, dan dikembalikan ke MPR, perkembangan demokrasi di Indonesia disebut mulai terancam.

Menurut analisis mereka, jika sistem pemilihan langsung dihapus, artinya demokrasi Indonesia mengalami kemunduran, ke tahun sebelum 2004.

“Anjuran penghapusan pemilihan langsung yang diwacanakan sejumlah politikus, akan membuat Indonesia kembali ke sistem pra-2004, saat presiden dipilih oleh parlemen.

Langkah regresif semacam itu, akan melemahkan sistem pemilihan Indonesia, menggantikan pemilihan kompetitif dan partisipatif saat ini, dengan prosedur yang tidak jelas.

Jokowi menentang langkah itu. Namun, ketika Jokowi sudah tak jadi presiden, bisa jadi wacana itu akan terus didorong,” sebut laporan The Economist Intelligence Unit.

Isu soal penghapusan pemilihan langsung ramai dibicarakan, bersamaan dengan munculnya wacana amandemen UUD 1945 yang akan dilakukan MPR.

Salah satunya, MPR menerima usul dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), agar presiden dan wakil presiden, kembali dipilih oleh MPR.

Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siraj.

Ia mengatakan, usulan pemilihan presiden oleh MPR, disampaikan setelah menimbang mudarat dan manfaat Pilpres langsung.

Baca Juga: Mungkinkah Amandemen UUD 45 Memutuskan Presiden Kembali Dipilih MPR?

Tetapi usul yang menerima berbagai macam penolakan itu, membuat Presiden Jokowi, akhirnya ikut buka suara.

Jokowi, menurut Juru Bicara Kepresidenan, Fadjroel Rachman, menyatakan agar pemilihan presiden tak ada perubahan, yakni melalui pemilihan langsung oleh rakyat.

“Presiden Joko Widodo menegaskan, bahwa pemilihan presiden langsung merupakan bagian dari proses memperoleh pemimpin yang berkualitas,” kata Fadjroel secara tertulis, Jumat (29/11/2019).