Intip Sejarah BMKG Hingga KPK, Usai Megawati Sebut ‘Saya yang Buat’

Megawati yang Buat BMKG BNPB BNN KPK

BNN

Bagaimana dengan sejarah pembentukan Badan Narkotika Nasional (BNN)?

Mengutip bnn.go.id, Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) Indonesia ini bertugas di bidang pencegahan.

Termasuk pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor, serta bahan adiktif lainnya.

Terkecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. Kepala yang memimpin BNN adalah orang yang bertanggung jawab langsung dengan Presiden.

Penanggulangan bahaya narkotika dan kelembagaannya di Indonesia, aktif sejak 1971.

Tepatnya, setelah keluar Inpres [Instruksi Presiden] Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Bakin [Badan Koordinasi Intelijen Nasional].

Tujuannya untuk menanggulangi enam permasalahan nasional yang menonjol, yakni:

  1. Penanggulangan penyalahgunaan narkoba;
  2. Penanggulangan penyelundupan;
  3. Pemberantasan uang palsu;
  4. Penanggulangan kenakalan remaja;
  5. Penanggulangan subversi; dan
  6. Pengawasan orang asing.

Berdasarkan Inpres 6/1971 juga, Kepala Bakin, membentuk Bakolak Inpres Tahun 1971.

Salah satu tugas dan fungsinya adalah menanggulangi bahaya narkoba.

Bakolak Inpres merupakan sebuah badan koordinasi kecil yang beranggotakan wakil dari berbagai departemen, seperti:

  • Kesehatan;
  • Sosial;
  • Luar Negeri;
  • Kejaksaan Agung, dan lain-lain.

Mereka berada di bawah komando, dan bertanggung jawab kepada Kepala BAKIN.

Badan tersebut juga tidak mempunyai wewenang operasional, sekaligus tak dapat alokasi anggaran sendiri dari ABPN [disediakan berdasarkan kebijakan internal Bakin].

Saat itu, narkoba masih dinilai sebagai permasalahan kecil di Indonesia.

Pemerintah Orde Baru juga yakin dan terus memandang, bahwa permasalahan narkoba di Indonesia, tidak akan berkembang.

Pasalnya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila, dan agamis.

Pandangan itu juga yang membuat pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia, lengah, terhadap ancaman bahaya narkoba.

Sampai ketika permasalahan narkoba meledak–bersamaan dengan krisis mata uang regional–pertengahan tahun 1997, Indonesia, seakan tidak siap menghadapinya.

Berbeda dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand, yang sejak tahun 1970, telah konsisten memerangi bahaya narkoba.

Permasalahan narkoba cenderung meningkat, terus-menerus. Maka pemerintah dan DPR pun mengesahkan UU 5/1997 tentang Psikotropika, dan UU 22/1997 tentang Narkotika.

Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, pemerintah–di bawah kepemimpinan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur)–membentuk BKNN [Badan Koordinasi Narkotika Nasional].

Dalam Keppres Nomor 116 Tahun 1999, BKNN merupakan badan koordinasi penanggulangan narkoba–beranggotakan 25 Instansi Pemerintah terkait.

Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) secara ex-officio, mengetuai BKNN.

Sampai tahun 2002, BKNN, tidak mempunyai personel serta alokasi anggaran sendiri.

Sebab, anggaran BKNN, diperoleh dan dialokasikan dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri).

Itu mengapa, akibatnya, BKNN tidak dapat melaksanakan tugas serta fungsinya dengan maksimal.

Sebagai badan koordinasi, BKNN juga dirasa tidak memadai lagi untuk menghadapi ancaman bahaya narkoba yang semakin serius.

Maka Keppres 17/2002, mengganti BKNN dengan Badan Narkotika Nasional (BNN).

Sebagai lembaga forum dengan tugas mengoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait [ditambah kewenangan operasional], BNN punya tugas dan fungsi:

  • Mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba; dan
  • Mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba.

BNN yang baru mendapat alokasi anggaran dari APBN per 2003, terus berupaya meningkatkan kinerjanya bersama-sama BNP dan BNK.

Namun, karena tanpa struktur kelembagaan yang memilki jalur komando tegas [hanya bersifat koordinatif–kesamaan fungsional semata], maka BNN, dinilai tidak dapat bekerja optimal.

Sekaligus tidak akan mampu menghadapi permasalahan narkoba yang terus meningkat, bahkan semakin serius.

Pemegang otoritas pun segera menerbitkan PP 83/2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi (BNP), dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK).

Mereka memiliki kewenangan operasional melalui kewenangan Anggota BNN–terkait dalam satuan tugas.

Di mana BNN, BNP, dan BNKab/Kota merupakan mitra kerja pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

Masing-masing bertanggung jawab kepada presiden, gubernur dan bupati/wali kota.

Masing-masing, yakni BNP dan BN Kab/Kota, juga tidak mempunyai hubungan struktural-vertikal dengan BNN.

Merespons perkembangan permasalahan narkoba yang terus meningkat dan semakin serius, MPR RI, bergerak.

Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum MPR RI Tahun 2002, merekomendasikan agar DPR RI dan Presiden, melakukan perubahan atas UU 22/1997 tentang Narkotika.

Pemerintah dan DPR RI pun mengesahkan serta mengundangkan UU 35/2009 tentang Narkotika–sebagai perubahan atas UU 22/1997.

Berdasarkan UU 35/2009 itu, BNN, punya kewenangan penyelidikan dan penyidikan atas tindak pidana narkotika serta prekursor narkotika.

Saat ini, BNN memperjuangkan cara untuk memiskinkan para bandar atau pengedar narkoba.

Pasalnya, pada beberapa kasus penjualan narkoba [disinyalir dan terbukti] digunakan untuk pendanaan teroris (Narco Terrorism).

Langkah ini juga demi menghindari kegiatan penjualan narkoba untuk biaya politik (Narco for Politic).