Berita  

IPB Sebut Ada 12 Potensi Risiko dalam Implementasi UU Cipta Kerja

IPB 12 Potensi Risiko Implementasi UU Cipta Kerja
Ilustrasi/Sindo News

Ngelmu.co – Kemenko [Kementerian Koordinator] Bidang Perekonomian, telah menjabarkan rencana pemberlakuan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja–dalam waktu dekat.

“Dari sisi ekonomi, kita juga punya pendorong atau game changer yaitu pemberlakuan UU Cipta Kerja [Ciptaker] yang bulan ini sudah mulai diberlakukan semuanya, terutama peraturan-peraturan pelaksanaannya.”

Demikian kata Sekretaris Kemenko Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso (Susi), dalam diskusi bertajuk, ‘Daya Ungkit untuk Ekonomi Bangkit‘, mengutip kanal YouTube Kemkominfo TV, Selasa (16/2) lalu.

IPB University Temukan 12 Potensi Risiko

Di tengah pro kontra soal UU Ciptaker inilah, Institut Pertanian Bogor (IPB) University, menyampaikan pandangan mereka [sesuai kompetensi akademis dan skala prioritas bidang agromaritim].

Pihaknya mengaku menemukan, 12 potensi risiko yang dapat muncul pada implementasi UU Ciptaker.

Khususnya berkaitan dengan dampak terhadap lingkungan, petani, nelayan kecil, hingga masyarakat adat.

Sebagaimana disampaikan Kepala LPPM [Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat] IPB University, Ernan Rustiadi.

Ia menjelaskan, 34 pakar yang tergabung dalam Tim Kajian IPB merupakan pihak yang menemukan ke-12 potensi risiko itu–pada kajian kritis terhadap konten UU Ciptaker.

Menelaah Secara Objektif

Menurut Ernan, terbitnya UU Ciptaker menimbulkan dampak terhadap 78 UU asal.

Dari jumlah tersebut, IPB University pun fokus menganalisis 30 UU yang berkaitan dengan sumber daya alam (SDA).

“Konten dari 30 UU tersebut, kami sandingkan dengan konten dari UU CK [Ciptaker], dan kami analisis,” jelas Ernan, mengutip ipb.ac.id, Kamis (18/2).

Pada kajian itu, Tim Kajian IPB juga menelaah secara objektif, baik berbagai sisi positif pun potensi risiko, dan dampaknya terhadap lingkungan, petani, nelayan, serta masyarakat adat.

“Hasil kajian tersebut, kami dokumentasikan dalam bentuk buku setebal 107 halaman,” kata Ernan.

“Kami fokus menganalisis subjek dan objek, yakni bidang-bidang dengan lingkungan di semua bab,” imbuhnya.

“Kami juga melakukan sintesa dan dokumentasi kebijakan,” lanjutnya lagi.

Baca Juga: Akui Kekeliruan UU Ciptaker, Mensesneg: Teknis Administratif, Tak Pengaruh Terhadap Implementasi

Kajian tinjauan krisis oleh IPB University ini, menurut Ernan, berangkat dari rasa tanggung jawab moral.

Sebagai lembaga pendidikan yang berkompeten di bidang agromaritim, pihaknya merasa terpanggil untuk memberikan suatu pandangan kritis.

Pada April 2020 lalu, IPB University juga telah memberikan masukan tinjauan kritis untuk bidang pertanian.

Kepala Pusat Kajian Agraria IPB University, Rina Mardiana yang juga anggota Tim Kajian IPB, menambahkan hasil tinjauan kritis dari pihaknya.

Berikut temuan 12 potensi risiko yang dapat muncul dalam implementasi UU Ciptaker:

1. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Bias Kota

IPB University, melihat pada UU asal yang terdampak, ada pasal-pasal terkait dengan desa yang dihapus.

Lalu, penataan ruang kawasan desa, diatur dalam aturan turunannya, yakni peraturan pelaksana.

2. Resentralisasi Kewenangan Tata Ruang

Di setiap daerah, terdapat aturan daerah mengenai tata ruang, tetapi dalam UU Ciptaker, aturan tersebut dihapus, dan dikendalikan oleh pemerintah pusat.

3. Ancaman degradasi keanekaragaman hayati dan kontaminasi pangan.

4. Ancaman kedaulatan pangan berbasis impor.

5. Sentralisasi perizinan berusaha.

6. Pengarusutamaan investasi dari pada kelestarian lingkungan.

7. Ketidakjelasan definisi subyek dan objek agromaritim.

8. Kerentanan sumber nafkah agraria.

9. Dilema reforma agraria dengan proyek strategis nasional.

10. Peningkatan eskalasi konflik dan ketimpangan agraria.

11. Liberalisasi pemanfaatan sumber daya (nasionalisme).

12. Dampak lanjutan dari pelemahan sanksi.

Bicara soal Impor Pangan

Salah satu anggota tim penyusun analisis kebijakan UU Ciptaker, Dr Rina Mardiana, juga bicara soal kemudahan impor pangan.

Liberalisasi pangan, berpotensi merugikan subjek agromaritim, seperti petani, peternak, petambak, dan nelayan.

Sehingga para subjek agromaritim itu akan berhadapan dengan gempuran impor para importir pangan kelas kakap.

“Kemudian sentralisasi perizinan berusaha, menyebabkan semua izin berada di pusat,” kata Rina.

“Saya tidak dapat membayangkan betapa rumitnya peternak yang merupakan masyarakat hukum adat di pulau kecil, harus memiliki izin dari pusat,” imbuhnya.

Maka dalam upaya menghadirkan UU Ciptaker yang berkeadilan untuk semua pihak [meminimalisir dampak negatif], IPB University, berkomitmen untuk memberikan andil [mengawal pemberlakuan].

“Beberapa rekomendasi dari hasil kajian, saya harap dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang berkeadilan dan pro rakyat kecil,” pungkas Ernan.

Sebelum UU Sah, Kajian Sudah Berjalan

Wakil Rektor bidang Kerja Sama dan Sistem Informasi IPB University, Prof Dr Dodik R Nurrochmat, juga buka suara.

Ia menjelaskan, bahwa kajian tersebut terlah berlangsung cukup lama–bahkan sebelum UU Ciptaker, sah.

Tentu tidak ada kata terlambat, walaupun UU Ciptaker telah sah, dan peraturan pelaksananya juga sudah diundangkan.

“Apa yang kami sampaikan ini baru sebatas pada materi UUCK, karena materi peraturan pelaksananya baru ada kemarin,” kata Dodik.

“Kajian kami ini adalah kajian hidup yang terus berkembang, yang mengevaluasi kesesuaian peraturan pelaksana dengan UUCK,” sambungnya.

“Karena bisa jadi, masalahnya bukan pada undang-undangnya, tapi pada peraturan pelaksananya, tapi tentu, aturan pokoknya itu yang harus kita evaluasi,” lanjutnya lagi.

“Tujuan kritis ini melihat secara seimbang, tapi ada beberapa hal yang kira-kira berpotensi dan berisiko, tentu menjadi catatan kritis kami untuk perbaikan UUCK,” jelas Dodik.

Sebelumnya, Sekretaris Kemenko Perekonomian Susi, mengungkapkan pemerintah telah menuntaskan keseluruhan (54) aturan turunan UU Ciptaker–sesuai tenggat.

Dalam UU Ciptaker, disebutkan, semua aturan turunan itu harus rampung tiga bulan sejak Undang-undang ditetapkan.

“Jadi tenggatnya, 2 Februari 2021, dan kita sudah selesaikan semua aturan turunannya,” kata Susi, di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (18/2).

“Ya, sekarang hanya tinggal proses administratif saja, seperti pengecekan-pengecekan,” pungkasnya.