James Riady Sempat Akui Meikarta Tak Punya Izin

Ngelmu.co – Lippo Group saat ini harus menelan pil pahit. Pil pahit itu dicekoki oleh ulah proyek Meikarta. Namun, sebenarnya polemik Meikarta telah terjadi lama, bahkan dari tahun lalu.

Pada 12 September 2017, bak petir di siang bolong, Chairman Lippo Group James Riady secara tidak diduga mengakui bahwa proyek Meikarta belum mengantungi izin Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Bahkan James menyatakan permintaan maaf di tengah deru pembangunan dan pemasaran proyek Meikarta yang tak pernah berhenti sebelum OTT KPK itu.

“Mohon maaf kalau ada kekurangan, semua akan dilengkapi. Fokusnya adalah bagaimana memikirkan 11 juta defisit rumah (angka backlog 7,6 juta, red),” ujar James kepada awak media usai talkshow BTN Golden Property Awards di Hotel Raffles Jakarta, Senin (11/9/2017), dikutip dari Nusantara.

Baca juga: Luhut: Meikarta Kok Sampai Begitu

James berharap seluruh pihak baik pemerintah maupun masyarakat menyadari bahwa masalah yang sebenarnya yang paling utama dihadapi adalah terkait kebutuhan dasar akan perumahan, bukan izin Meikarta.

Dengan percaya diri, James pun mencontohkan hunian di Meikarta yang harganya sekitar Rp7 juta per meter persegi. Dengan nilai jual per unit mulai Rp120 juta, seharusnya harga ini bisa dijangkau para pekerja khususnya masyarakat berpenghasilan rendah

Walaupun James menyatakan bahwa permasalahan utama adalah kebutuhan akan hunian, namun pengakuan James jika Meikarta belum mengantungi izin Amdal dan IMB merupakan sebuah pengakuan yang jujur sekaligus mengklarifikasi ketidakjelasan izin proyek Meikarta selama ini.

Proyek Meikarta yang yang merupakan proyek ilegal karena belum mengantungi Amdal maupun IMB, sayangnya di sisi lain iklan Meikarta gencar di sejumlah media cetak mainstream setiap hari 5 halaman full colour bahkan beberapa pejabat pemerintahan juga seperti mendukung tetap berjalannya proyek Meikarta tersebut.

Baca juga: Konsumen Meikarta Gelisah Usai KPK Tangkap Bos Lippo

Bahkan di sejumlah televisi iklan Meikarta tak pernah henti, ditambah iklan di media online, baliho-baliho di banyak jalan raya, serta marketingnya begitu agresif di sejumlah mall. Kabarnya sampai akhir tahun 2017 dana untuk iklan itu sudah disediakan sebesar Rp2,7 triliun.

Lippo Group begitu percaya diri dan royal dalam memasarkan Meikarta. Sebab, disinyalir pengembang raksasa itu sudah mengantungi dana tunai sebesar Rp278 triliun untuk pengembangan proyek seluas 500 hektare tersebut.

Pengakuan James jika Meikarta belum mengantungi izin bukan tanpa sebab. Walaupun sebelumnya, Lippo Group dengan gagah perkasa tak mengacuhkan permintaah Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar saat itu agar proyek itu dihentikan sampai perizinan rampung.

Setiap himbauan, larangan, perintah penghentian dari pemerintah Jawa Barat saat itu seperti diacuhkan Lippo Group. Himbauan, larangan dan perintah penghentian proyek malah dijawab dengan guyuran iklan di media massa.

Ternyata saat itu, Lippo Group merunduk dan secara terbuka mengakui kesalahannya sehingga harus meminta maaf, setelah diundang diskusi terbuka oleh Ombudsman pada Jumat (8/9/2017) lalu. Adapun kesalahan itu adalah membangun dan memasarkan produk sebelum memiliki izin Amdal dan IMB.

Saat itu, Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih menilai iklan Meikarta begitu bombastis namun melanggar aturan, alias ilegal. Alamsyah mengatakan bahwa iklan yang disiarkan oleh Lippo merupakan bagian dari pemasaran yang merupakan pelanggaran dari Undang-undang Nomor 20/2011 tentang Rumah Susun.

Padahal dalam Pasal 42 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2011 disebutkan, pemasaran dapat dilakukan jika pengembang telah memiliki kepastian peruntukan ruang, hak atas tanah, status penguasaan rumah susun, perizinan pembangunan rumah susun, serta jaminan pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin.

Sementara itu, Direktur Informasi Publik Meikarta Danang Kemayan Jati mengakui studi Amdal memang belum terbit. Dengan begitu, secara otomatis, IMB pun belum dipegang. Namun, kata Danang, sebenarnya lahan Meikarta seluas 84,6 dari total 500 hektare sudah dibebaskan sepenuhnya.

 “Areal 84,6 hektare ini kami sudah punya izin prinsip sampai Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) dengan peruntukkan apartemen, rumah sakit, sekolah dan sebagainya. Kami kirim dokumen Amdal pada Mei 2017,” ujar Danang.

Danang meyatakan bahwa seperti membangun rumah-rumah di Lippo Cikarang, saat akan membangun proyek di Meikarta, Lippo juga mengajukan Amdal di Kabupaten Bekasi. Dalam proses studi tersebut, kondisinya masih normal yakni Lippo diharuskan melengkapi beberapa dokumen.

Danang saat itu menyebutkan bahwa Amdal kawasan sendiri sudah ada. Danang menegaskan bahwa perusahaan sudah mengantongi Amdal kawasan sejak 1984. Saat itu, Amdal yang keluar adalah untuk kawasan industri. Ketika ada perubahan, Lippo, menurut Danang mengikuti aturan dengan mengubah peruntukkan dan mengajukan kembali studi Amdal. Jadi, Amdal untuk bangunan di atas lahannya, seperti apartemen dan rumah sakit untuk proyek Meikarta, masih dalam proses.

Danang mengatakan bahwa studi Amdal ini memakan waktu lama karena membutuhkan sidang rekomendasi dari para ahli, hingga beberapa kali. Biasanya proses Amdal memakan waktu 2-3 bulan, oleh karena itu, jika dokumen Amdal sudah diajukan sejak Mei 2017, Lippo berasumsi paling lama Agustus 2017 studinya sudah selesai.

Lagipula, kata Danang, Lippo sudah mulai bisa membayar IMB setelah 3 bulan proses studi Amdal berjalan. Dengan mempertimbangkan perkembangan proses tersebut, Lippo kemudian memutuskan untuk melakukan soft launching Meikarta pada 17 Agustus. Sayangnya, di ujung proses studi Amdal, muncul rekomendasi dari Pemprov Jawa Barat untuk menghentikan kajian yang dikeluarkan berdasarkan Perda Jawa Barat Nomor 12/2014.

Lantas apa sanksi bagi korporasi yang membangun perumahan tapi tak memiliki izin Amdal dan IMB?

Sanksi tidak dimilikinya AMDAL oleh pelaku usaha tidak diatur secara tegas di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27/1999 tentang Amdal.  Namun di dalam pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32/2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009) dinyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal wajib memiliki izin lingkungan.

Kemudian, ditentukan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib menolak setiap permohonan Izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan Amdal (pasal 37 ayat (2) UU No. 32/2009). Tanpa adanya izin lingkungan terancam dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp3 miliar (pasal 108 UU No. 32/2009).

Jadi tegas dalam aturan, tanpa adanya Amdal tidak mungkin dapat memiliki izin lingkungan sehingga terancam dengan pidana sebagaimana diatur di dalam pasal 108 UU No. 32/2009. Pengaturan mengenai IMB diatur lebih lanjut dalam PP No. 36/2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung (“PP 36/2005”).

Setiap orang atau korporasi yang ingin mendirikan bangunan gedung diwajibkan memiliki IMB yang diberikan oleh pemerintah daerah (Pemda) melalui proses permohonan izin (Pasal 14 ayat [1] dan [2] PP 36/2005).

Lalu, bagaimana jika pemilik rumah atau properti tidak memenuhi kewajiban persyaratan pembangunan seperti tidak memiliki IMB?

Pemilik rumah atau properti tentu saja dapat dikenai sanksi administratif dikenakan sanksi penghentian sementara sampai dengan diperolehnya IMB gedung (Pasal 115 ayat [1] PP 36/2005). Pemilik bangunan gedung yang tidak memiliki IMB gedung dikenakan sanksi perintah pembongkaran (Pasal 115 ayat [2] PP 36/2005). Selain sanksi administratif, pemilik bangunan juga dapat dikenakan sanksi berupa denda paling banyak 10% dari nilai bangunan yang sedang atau telah dibangun (Pasal 45 ayat [2] UUBG).

Lippo Group bukan tak paham akan peraturan di atas, bahkan sangat paham. Sehingga lebih memilih melanggar aturan.

Saat ini, kepongahan Lippo Group tumbang. Meikarta, proyek yang telah begitu banyak melanggar aturan, kini jadi pesakitan KPK. Namun, selanjutnya apakah pemerintahan Jawa Barat saat ini berani untuk membongkar atau menutup Meikarta? Apakah pemerintahan Jawa Barat di bawah kepemimpinan Ridwan Kamil bisa menuntaskan masalah Meikarta ini?