Opini  

Jangan Lupakan Umat Islam, PKS!

 

Sebelum kalian, kader PKS, membusungkan dada – dan itu terlarang – kenanglah jasa ulama di balik fenomena kejutan perolehan suara pasangan Asyik di Pilkada Jabar. Tak perlu disebutkan, kita tahu ada beberapa ulama dan da’i kondang yang tegas-tegas meng-endorse pasangan yang diusung Gerindra, PKS dan PAN tersebut. Kalau kalian masih menyimpan videonya, tonton sekali lagi. Sebelum membanggakan mesin partai yang katanya efektif itu.

Fenomena menarik juga terjadi di pilkada lain. Di sebuah grup Facebook yang dihuni warganet suku Minang, ada yang rajin mengkampanyekan pasangan Emzami-Desri untuk pilkada kota Padang. Pasangan ini diusung oleh Partai Golkar, PDI Perjuangan, PPP, Hanura, Gerindra, Nasdem, PKB, PPP dan Partai Demokrat. Namun alih-alih mendapat dukungan dari anggota grup, yang dituai adalah banjir dukungan kepada pasangan lawannya, yaitu Mahyeldi-Hendri yang diusung oleh PKS dan PAN. Alasannya, selain karena terihat jelas perubahan positif selama Buya – begitu sapaan Mahyeldi Ansharullah – memimpin Padang 5 tahun terakhir, juga karena pasangan Emzami-Desri diusung oleh “partai pendukung penista agama”.

Rupanya di Padang pun sudah menyebar “wabah” anti partai pendukung penista agama yang memang bergaung dari media sosial. Wabah yang juga melanda Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan berbagai tempat di Indonesia. Netizen muslim yang kritis itu sedang dendam-dendamnya akibat ekses pilkada Jakarta. Meski pasangan muslim yang akhirnya memenangkan Jakarta, tetapi mereka terlanjur marah kepada sejumlah partai pengusung Ahok, narapidana kasus penistaan agama.

Mendeklarasikan sebagai partai Islam, apalagi partai dakwah, maka penerimaan umat menjadi parameter kesuksesan. Kekuasaan yang diraih dari dukungan umat menjadi lebih berharga daripada memenangkan sebuah kontestasi demokrasi namun menyisakan cibiran aktivis muslim. Bahkan walau tidak berhasil menang, tetapi umat Islam mendukung, sejatinya telah sukses dalam ukuran dakwah.

Memang umat Islam di Indonesia ini mayoritas. Tapi hanya sebagian saja yang punya komitmen dan mendukung diperjuangkannya nilai Islam pada aturan formal. Masih banyak umat Islam yang tercemar pikiran sekuler.

Sebagai partai politik yang bertekad menyiarkan dakwah, maka ada dua ukuran keberhasilan. Pertama kekuasan politik, kedua tershibghohnya masyarakat dalam dakwah Islam. Yang paling bernilai di mata Allah tentu yang terakhir.

Umat muslim idealnya menjadi captive market sebuah partai berazaskan Islam. Tapi mereka punya kebebasan memilih. Tak serta merta mereka terpikat dengan sebuah partai berslogan Islam. Mereka bisa jatuh cinta, bisa juga kecewa. Tidak ribet standard yang mereka pakai untuk menilai: yaitu konsistensi dan kesungguhan dalam memperjuangkan kepentingan umat.

PKS telah diterima oleh umat Islam ketika pemilu tahun 2004 lalu. Konsistensi yang ditunjukkan oleh Hidayat Nur Wahid yang menolak mobil dinas baru saat awal menjabat sebagai ketua MPR, itu mendapat apresiasi yang luas dari aktivis muslim dan masyarakat.

Tetapi, maaf, saya melihat seiring dengan isu bermewah-mewahannya segelintir pejabat dari PKS (yang kontraditif dengan kesederhanaan HNW), yang isu itu diamplifikasi pula oleh sekelompok kader yang membentuk wadah bernama Forum Kader Peduli, masyarakat dan aktivis Islam pun terpengaruh pula. Hingga pemilu 2014 kemarin, nama PKS banyak dikeluhkan terkait juga dengan manuvernya yang dianggap terlalu neko-neko dan komunikasi politik yang tidak begitu baik.

Hingga tampil lah Ahok dengan kasus penistaannya pada Al-Qur’an membuat umat Islam yang bergelora ghirohnya menemukan kembali PKS sebagai representasi pejuang politik yang bisa diharapkan. Dan itu berimbas pada pilkada berikutnya di Jabar, Padang, dll. Meski terselip juga kekecewaan karena PKS berkoalisi dengan partai pendukung penista agama di beberapa daerah.

Agar Terus Diterima Umat

Semoga pada pemilu tahun 2019 nanti masih ada penerimaan baik kepada PKS oleh umat Islam. Maka beberapa hal ini perlu diperhatikan oleh para pengurus dan kadernya.

1. Konsistensi telah disebutkan tadi. Yang namanya partai Islam, maka harus benar-benar memperjuangkan aturan-aturan yang sesuai dengan ajaran Islam agar teradopsi dalam hukum di Indonesia. Agar selaras dengan azas yang dianut. Umat butuh bukti akan itu.

2. Kemudian, menjadi penyakit kronis di tubuh bangsa ini, adalah perilaku korupsi yang mewabahi pejabat hingga masyarakat kecil. Islam pun mengharamkan hal tersebut. Maka menjadi kontras bila partai dakwah malah terjerumus dalam sikap yang dibenci masyarakat.

Karena itu sebisa mungkin PKS harus meminimalisir kadernya tersangkut korupsi. Jargon “bersih dan peduli” pernah membuat masyarakat jatuh cinta. Tapi sekalinya ada kasus, masyarakat kecewa luar biasa.

Kini PKS sudah tidak bisa lagi mengklaim bersih total dari korupsi. Yang dibanggakan adalah jumlah kasus yang sedikit. Pertahankan angka yang kecil itu, jangan sampai suatu saat tidak ada lagi yang bisa dibanggakan.

3. Selain korupsi, kesederhanaan juga menjadi daya pikat tersendiri. Memang Utsman bin Affan r.a. adalah khalifah yang kaya raya. Tetapi sosok yang diidamkan oleh masyarakat adalah seperti khalifah Umar bin Khattab r.a. yang begitu merakyat. Kalau mau dipaksakan mencontoh Utsman, ingat, beliau memimpin di masyarakat yang sudah makmur kala itu, setelah Kisra ditaklukkan. Sedangkan di Indonesia masyarakatnya banyak yang berada di bawah garis kemiskinan. Pejabat yang mempertontonkan kemewahan akan menyakiti hati masyarakat dan tak dapat diterima.

Maka partai Islam harus menyumbang kepada negara pejabat publik yang zuhud dan tak bermewah-mewahan.

4. Komunikasi dan silaturahim bisa menepis syubhat/keraguan kepada PKS. Umat yang diberi kesempatan mengutarakan aspirasinya langsung bisa tumbuh rasa memiliki di hati mereka. Karena itu sering-seringlah berdialog dengan para ulama dan aktivis Islam. Sampaikan apa yang telah diperjuangkan di parlemen. Jangan sampai umat tidak tahu bagaimana berjibakunya anggota legislatif di parlemen membendung keinginan kelompok penyuka jenis agar perilaku mereka disahkan oleh undang-undang.

“Silakan capaian politik yang kami dapat dimanfaatkan oleh ormas Islam,” begitu kata mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ketika melakukan kunjungan silaturahim ke Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), pada 29 September 2010 lalu. Kalimat seperti ini harus disampaikan lebih luas lagi.

Jangan Berpaling dari Umat

Capaian tahun 2004 lalu sebenarnya sudah luar biasa bagi pendatang baru. Namun tetap ada keinginan di hati kader agar bisa meraup suara lebih banyak lagi di pemilu berikutnya. Sah sah saja. Di sisi lain, umat Islam yang tak terpengaruh pemikiran sekuler dirasa masih kalah jumlahnya.

Lalu datanglah godaan untuk memperluas ceruk pemilih, menyasar ke kaum nasionalis. Keinginan itu masih bisa diterima. Namun disayangkan bila sampai mengorbankan semangat awal mendirikan partai, yaitu dakwah.

Wacana partai terbuka yang pernah digaungkan, bila maksudnya adalah mengupas cangkang eksklusifitas, tentu itu sejalan dengan semangat dakwah yang merangkul semua pihak. Tapi bila diarahkan untuk meminggirkan jargon partai dakwah, maka itu kemunduran.

Sedikit banyak yang terjadi pada pemilu 2009 dan 2014 seperti pepatah: harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan. Mengharap segmen pemilih nasionalis, tetapi mengorbankan suara umat muslim. Akhirnya seperti ungkapan minang: sikucapang sikucapeh. Satu terbang, satu lepas. Tersisa sedikit di tangan. Meski keadaan sebenarnya adalah jumlah suara PKS cenderung stagnant, tak sampai berkurang jauh.

Lalu bila dirasa suara umat Islam yang komitmen itu kecil, bukan dengan meninggalkan mereka dan melepas baju partai dakwah agar bisa meraup suara lebih besar lagi. Tapi terus galakkan dakwah! Lakukan edukasi kepada umat akan syumuliyatul Islam. Sembari membuktikan bahwa PKS memang pantas dijadikan andalan.

Sebagaimana perusahaan yang memproduksi vitamin C, mengedukasi masyarakat pentingnya vitamin itu untuk tubuh.

Bukankah kita lihat sekarang umat Islam sedang bangkit ghirohnya karena ekses penistaan agama kemarin? Didukung lagi dengan semaraknya pengajian dan kesadaran berislam yang mulai tumbuh di masyarakat. Video kajian di youtube diakses jutaan orang. Da’i da’i muda yang digemari khalayak bermunculan, dan mereka pun menganjurkan jamaahnya untuk memilih pemimpin muslim yang sholeh.

Sesungguhnya ceruk pemilih partai Islam sedang meluas. Karena itu jangan lagi dianggap remeh. Benar-benar layani mereka, dengarkan mereka, buktikan bahwa PKS sedang berjuang untuk mereka.

Fenomena menarik, sekalipun sedang terpuruk, tapi tahun 2014 lalu ada beberapa ustadz salafi yang mengarahkan jamaahnya untuk memilih PKS. Semoga setelah kepercayaan umat pulih kepada PKS, akan lebih besar lagi gaung endorsment dari tokoh Islam.

PR Tersisa

Kiranya tak semua kalangan umat muslim yang menerima PKS. Ada komponen umat yang masih resisten, bukan karena PKS anti sekulerisme. Tapi karena mereka menganggap kader PKS bermadzhab bahkan beraqidah berbeda. Mereka adalah kalangan tradisionalis. Isu yang menonjol adalah tuduhan wahabi.

Walau kini bermajelis syurokan seorang habib, tapi resistensi mereka masih ada. Safari dakwah Habib Salim Segaf Aljufri kepada kelompok ini sudah gencar. Dengar-dengar, pilihan Gus Ipul di pilkada Jatim kemarin karena permintaan para kiai kepada Habib jauh-jauh hari. Sayangnya di dekat masa pendaftaran, PDIP merapat juga ke Gus Ipul membuat posisi PKS terjepit di mata umat.

Silaturahim kepada mereka tak hanya cukup dijalankan Habib Salim. Kader PKS akar rumput pun harus sering-sering bertatap muka sembari bersedekah senyum kepada kiai terdekat. Kalau lah tidak membuat mereka memilih PKS, setidaknya tak memusuhi.

Akhirul kalam, melihat fenomena di tengah umat belakangan saya yakin PKS akan kembali meningkat suaranya di pemilu 2019 besok. Asalkan PKS tidak membuat hal yang mengecewakan dalam waktu dekat ini. Semoga.

Zico Alviandri