Jangan Pernah Menyepelekan Perbuatan Baik

Ngelmu.co – Jangan pernah menyepelekan perbuatan baik, sekecil dan seringan apa pun. Sebab ruangan dan tempat di mana kita pernah menebar kebaikan, akan merekam semuanya, dan menyimpannya sebagai memori.

Memori ini awet dan hidup. Bagi mereka yang datang kemudian hari di tempat itu, akan merasakan kebaikan yang pernah hadir di tempat itu, meski ia tidak tahu persis penyebabnya. Ini bukan mitos, pun bukan syirik yang kadang secara serampangan di hadapkan dengan konsep tauhid.

Fisika kuantum membuktikan bahwa benda mati itu tidak ada. Pada tingkat terkecil, hakikat yang ada adalah gelombang. Kita pun gelombang, dan karena itu semua benda yang ada di semesta, saling terhubung dan berinteraksi.

Jangan menganggap enteng marah yang pernah Anda pamerkan. Jangan pula sepelekan sikap takabbur yang pernah Anda perlihatkan.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang sahabatnya masuk ke dalam perkampungan bangsa Tsamud, umat Nabi Saleh, di Hijr, 300 kilometer utara Madinah, saat berjalan menuju kawasan Tabuk, tahun 9 H.

Selanjutnya, beliau menyuruh sahabatnya menumpahkan air sumur bangsa Tsamud yang telah mereka ambil. Bahkan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh sahabatnya bersedih dan menangis di tempat itu.

Ini adalah terapi untuk kawasan yang dahulunya sesak oleh memori sikap pongah serta durhaka terhadap Allah dan Nabi-Nya.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membersihkan memori negatif yang menggantang dan terpatri awet pada setiap potongan debu di tempat itu, dengan menghadirkan rasa takut dan cemas.

Untuk itu, beliau menyuruh sahabatnya menangis di kampung bangsa Tsamud. Kita semuanya saling terhubung dan saling mempengaruhi. Jangan pernah lengah terhadap kualitas perbuatan dan sikap kita.

Kapan dan di manapun, tebarlah kebaikan itu. Sebab alam semesta merekamnya, dan akan menghadirkannya kembali pada saat kita membutuhkannya. Pun demikian keburukan serta kejahatan, serapi apa pun kita menyembunyikannya, ia ‘kan memunculkan dirinya, pada saat yang tidak kita duga.

Oleh: Surya Darma