Opini  

Jangan Sampai Kita Kewalahan Seperti Italia karena Telanjur Menyepelekan Keadaan

Jangan Sampai Kewalahan karena Menyepelekan

Ngelmu.co – Selasa (17/3) kemarin, Italia resmi lockdown seluruh negara. Pemerintahnya sudah sangat cepat mengambil keputusan, tetapi karena rakyatnya ‘bandel’, situasi terus memburuk.

Apa yang sebenarnya terjadi di sana? Apa yang bisa kita jadikan contoh agar tidak terulang di sini, di Indonesia?

Rangkuman ini berasal dari tulisan orang Italia di Reddit. Dipersingkat dan dilengkapi data, agar lebih mudah dipahami.

TAHAP 1

Kasus pertama diumumkan, “Ah, itu cuma flu, apa pentingnya pakai masker? Orang-orang ini cuma lebay. Saya ‘kan sehat, gak bakal ketularan. Gak perlu panik.”

TAHAP 2

Jumlah positif Corona mulai signifikan, 75 orang. Per tanggal 22 Februari, beberapa kota kecil mulai di-karantina.

“Ah, cuma beberapa yang kena, yang mati pun orang-orang tua saja, yang memang sudah punya penyakit. Hidup seperti biasa saja-lah, pacaran, nongkrong bareng teman, jalan-jalan ke mal tetep lanjut.”

TAHAP 3

Jumlah kasus meningkat dengan cepat. Berlipat ganda dalam satu hari. Kematian bertambah. Pada 7 maret, 5.067 kasus positif, zona merah diberlakukan.

Wilayah yang di-karantina hampir 25 persen, dari luas Italia. Sekolah dan universitas tutup, tapi tempat kerja, bar, resoran, dan lain-lain masih dibuka.

Lalu, sekitar 10 ribu orang kabur dari zona merah, sebelum resmi di-berlakukan. Nantinya, ini akan memperburuk situasi.

Sementara itu, 75 persen wilayah lain, masih menganggap enteng Corona. Anjuran mencuci tangan ada di mana-mana, tapi sekadar anjuran dan tak banyak yang melakukan.

TAHAP 4

Jumlah kasus sangat meningkat. Sekolah dan universitas ditutup di mana-mana, setidaknya selama sebulan. Darurat nasional berlaku.

Rumah sakit menambah kapasitas, seluruh kamar dibersihkan untuk memberi ruang bagi pasien virus Corona, tapi tidak ada cukup dokter dan perawat.

Para pensiunan dan mahasiswa kedokteran tingkat akhir dipanggil. Bekerja sebisanya. Dokter dan perawat mulai terinfeksi, lalu menyebarkannya ke keluarga mereka.

Ada terlalu banyak kasus pneumonia, terlalu banyak pasien yang memerlukan ICU, tapi ruangannya sudah habis. Ventilator habis.

Pada titik ini, seperti kondisi dalam perang: dokter harus memilih siapa yang akan diobati berdasarkan peluang bertahan hidup.

Itu berarti, pasien lanjut usia dan punya penyakit bawaan seperti hipertensi atau stroke, tidak masuk prioritas. Orang-orang mati, karena tidak ada ruang lagi.

Dokter menyerah, setiap hari harus membiarkan sampai tiga orang mati, karena tak ada alat dan ruangan. Suster menangis, karena cuma bisa memberikan oksigen pada mereka yang sekarat.

Chaos. Sistem layanan kesehatan runtuh

TAHAP 5

Ingat 10 ribu orang bodoh tak bertanggung jawab yang lari dari zona merah ke seluruh Italia? Iya, mereka menyebarkan corona ke 75 persen wilayah, yang sebelumnya relatif aman.

Pada 9 maret, tercatat 9.172 kasus. Seluruh wilayah negara red zone. Lockdown. Orang-orang hanya dapat pergi bekerja, berbelanja bahan makanan, pergi ke apotek.

Semua bisnis masih dibuka, karena jika tidak, ekonomi akan runtuh, itu kebijakan pemerintah.

Mulai ada ketakutan. Orang-orang mulai memakai masker dan sarung tangan, tapi tetap saja ada anak-anak muda yang merasa jagoan.

Mereka pergi ke restoran ramai-ramai, hangout bersama, minum-minum, dan sebagainya.

TAHAP 6

Dua hari kemudian, pemerintah Italia berubah pikiran. Semua bisnis harus tutup: bar, restoran, pusat perbelanjaan, semua jenis toko, dan lain-lain, kecuali supermarket dan apotek.

Penyebabnya, karena dalam sehari yang positif bertambah 2.313 kasus, hingga total mencapai 12.423 penderita.

Penduduk yang mau keluar rumah harus mendapat surat izin dari pos pemeriksaan polisi yang disebar di berbagai lingkungan.

Sementara bagi yang melanggar, akan dikenakan denda 3,3jt. Sedangkan pasien positif yang tidak mau mengarantinakan diri, bakal dituntut dengan pasal pembunuhan. Di mana hukumannya 1-12 tahun penjara.

Baca Juga: JK Sebut Indonesia Harus Lockdown Jika Tak Ingin Senasib dengan Iran, Korsel, dan Italia

Dengan pemerintah yang mengambil kebijakan secepat dan setegas itu saja, Italia masih tetap menjadi negara dengan fatality rate Corona tertinggi di dunia. 7,3 persen. Bandingkan dengan Cina yang cuma 3,4 persen.

Ahad (15/3) lalu, Italia kembali mencatatkan rekor jumlah kematian, sebanyak 368 dalam satu hari. Jadi, totalnya sudah ada 1.809 orang meninggal. Tertinggi kedua setelah Cina.

Sebagai gambaran, luas Italia itu kurang lebih dua kalinya Pulau Jawa. Penduduknya hanya 64 juta, sementara penduduk Jawa? 150 juta.

Di Italia, 22 Februari lalu, jumlah positif Corona 75 orang, 22 hari kemudian, tepatnya Ahad (15/3), naik drastis menjadi 24.747 jiwa.

Di Indonesia, Ahad (15/3) ada 117 positif Corona. Entah berapa banyak jumlahnya 22 hari lagi, kalau semua masih berjalan seperti ini.

Pemerintah yang kurang cepat dan tegas, kita semua yang masih bandel dan menganggap remeh. Kita hanya bisa berharap yang terbaik, sambil mewaspadai yang terburuk.

Yuk, mulai dari diri sendiri. Jaga kebersihan, lalu isolasi diri dan keluarga. Tidak keluar rumah, kecuali sangat penting. Bahkan batasi mengunjungi keluarga yang sudah sepuh, karena merekalah yang paling rentan dengan Corona.

“Tapi ‘kan saya enggak kerja kantoran. Kalau enggak kerja, enggak makan, enggak hidup?”

Tapi Pak, kalau terpapar Corona, juga bahaya buat hidup Bapak dan keluarga.

Ini saatnya memulai solidaritas, yang mampu harus mulai membantu yang tidak mampu.

Di Cina, pemerintah menyediakan makanan untuk mereka yang mengisolasi diri. Semoga pemerintah kita pun mulai menyiapkan ini.

Sebab ini adalah bentuk usaha dan doa kita. Memaksimalkan ikhtiar sebagai bentuk penyempurnaan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Semoga badai Corona ini segera berlalu.

Hanya kepada-Mu kami berserah.

Oleh: Satria Hadi Lubis