Berita  

Jawaban Berbagai Pihak Usai Pemerintah Minta Dikritik

Jokowi Pemerintah Minta Dikritik

Ngelmu.co – Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar masyarakat lebih aktif lagi dalam menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung pun mengaku, bahwa pemerintah siap menerima kritik keras.

Berbagai Pihak Menjawab

Publik menjawab permintaan tersebut dengan kekhawatiran.

Sebab, bukan rahasia lagi jika ada pihak yang melayangkan kritik, justru mendapat ‘serangan’ dari buzzer.

YLBHI

Ketua YLBHI Asfinawati, mengaku sulit untuk tidak mengkaitkan buzzer sebagai pendukung pemerintah.

“Kan pemerintah selalu bilang [buzzer] itu bukan dari mereka, tapi kalau kita lihat sulit, untuk menepis tidak adanya relasi,” tuturnya, mengutip Detik, Selasa (9/2).

“Baik itu relasi dari mereka yang mendukung Pak Jokowi ketika mencalonkan diri, atau dari yang lain-lain,” sambung Asfin.

Ia juga menilai, seharusnya pemerintah dapat mengendalikan oknum buzzer tersebut.

“Ya, menurut saya, pada akhirnya pasti tidak bisa 100 persen dikontrol,” kata Asfin.

“Tapi sebagian besar, sebetulnya bisa dikendalikan oleh pemerintah, baik dalam lembaga yang ada di bawah dia, maupun orang-orang yang menjadi pendukungnya.”

Dewan Pers

Dewan Pers juga ikut berkomentar soal fenomena ini. Pihaknya menilai buzzer, dapat membahayakan kebebasan pers.

“Kehadiran dari para pendengung [buzzer] itu menjadi membahayakan bagi kebebasan pers.”

Demikian kata Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Arif Zulkifli, Selasa (9/2).

Buzzer, lanjutnya, pada praktiknya tidak mengkritik berita yang disiarkan, melainkan melancarkan serangan kepada pers itu sendiri.

“Salah satu syarat kritik yang sehat adalah pengkritik itu tidak boleh anonim. Jadi harus jelas, siapa yang mengkritik,” tegas Arif.

“Kalau tidak clear siapa para pendengung ini, ini akun-akun anonim begitu, maka tidak bisa dipertanggungjawabkan,” jelasnya.

Ada juga beberapa kasus, serangan dari para buzzer kepada jurnalis yang membuat berita.

Hal ini, kata Arif, bertujuan untuk menurunkan kredibilitas dari media yang bersangkutan, bukan mendebat konten yang dirilis.

“Mereka tidak melakukan itu [debat terkait konten pers], tetapi berusaha menciderai kredibilitas dari si wartawan,” kata Arif.

“Saya mengatakan, ini sebagai upaya killing the messenger. Jadi, pembawa pesannya yang berusaha dipersoalkan.”

Buya Syafii Maarif

Cendikiawan Muslim, Buya Ahmad Syafii Maarif pun menilai, seharusnya pemerintah tetap memberi ruang bagi lawan politiknya untuk menyampaikan kritik.

Tetapi dalam memelihara budaya kritis tersebut, tidak perlu ada buzzer.

“Dalam situasi yang sangat berat ini, antara pemerintah dan pihak sebelah, semestinya mampu membangun budaya politik yang lebih arif,” kata Buya Syafii, Rabu (10/2).

“Saling berbagi, sekalipun sikap kritikal tetap dipelihara. Tidak perlu main ‘buzzer-buzerr-an’ yang bisa menambah panasnya situasi,” sambungnya.

Sudjiwo Tedjo

Budayawan Sujiwo Tejo menilai, niat warga mengkritik pemerintah bisa surut, jika serangan buzzer terus meresahkan.

“Masyarakat tadinya sudah aktif menyampaikan kritik ke government [pemerintah], tapi langsung diserang oleh buzzer,” ujarnya, Selasa (9/2).

“Kritik berupa pikiran dan sikap, di balik dengan serangan pribadi yang sering tanpa bukti. Plus makian-makian,” sambung Sujiwo Tejo.

Ia pun menilai, hal itu mengakibatkan banyak masyarakat yang menjadi malas mengritik.

“Bukan karena takut buzzer, tapi risih saja dengan kata-kata mereka yang tak senonoh,” jelasnya.

Sementara merespons Presiden Jokowi yang mengajak masyarakat aktif mengkritik, membuatnya menyimpulkan hal itu sebagai bukti.

Bahwa buzzer yang selama ini ada, bukan milik Istana. Namun, jika pemerintah benar-benar ingin masyarakat aktif mengkritik, pemerintah harus bisa segera menertibkan buzzer.

“Tapi buzzer pihak penumpang gelap yang justru ingin menjatuhkan Pak Jokowi, yang ingin membuat citra buruk Pak Jokowi bahwa antikritik,” bebernya.

Drone Emprit

Ismail Fahmi selaku founder lembaga pemantau media sosial, Drone Emprit, meminta pemerintah menjamin proses penyampaian kritik tersebut.

“Supaya benar-benar dipercaya, ada jaminan, itu harus diikuti oleh kebijakan [policy]. Kalau hanya pernyataan saja, belum kuat,” ujarnya, Selasa (9/2).

“Misalnya, kalau pemerintah tidak lagi menggunakan buzzer, setop, di-declare [dinyatakan] tidak lagi menggunakan [buzzer],” sambung Ismail.

Pada kesempatan itu, pihaknya juga memaparkan pantauan Drone Emprit.

Bahwa buzzer yang kerap direpresentasikan sebagai pendukung pemerintah, masih ada.

Beberapa di antaranya muncul dalam isu bencana banjir.

“Masih ada buzzer ini. Terakhir yang gede itu Permadi Arya. Banjir ini juga ada, tapi tidak sebesar sebelum-sebelumnya,” jelas Ismail.

Alissa Wahid

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, juga meminta pemerintah membangun suasana yang membuat publik tidak takut untuk menyampaikan pendapat.

Awalnya, ia bicara soal fenomena digital mobocracy yang terbilang mengerikan.

Alissa, mencontohkan seorang yang berbeda pendapat, diserang buzzer secara brutal di media sosial.

“Mobocracy itu artinya berkuasa karena mob, contohnya, misalnya kalau mobocracy itu ‘kan contohnya kasus, ada kasus mau diputus hakim, lalu di luar itu,” tuturnya.

“Contoh paling gampang judicial review UU PNPS Tahun 2010 di MK,” sambung Alissa.

“MK akan bersidang, di luar ada demo gede-gedean. Akhirnya keputusan hakim pasti dipengaruhi ribuan orang yang ada di luar. Itu ‘kan artinya mobocracy,” bebernya.

Baca Juga: Jokowi Minta Masyarakat Lebih Aktif Sampaikan Kritik, Publik Menjawab

Alissa juga menceritakan, pengalaman diserang para buzzer yang tak setuju dengan pendapatnya.

Padahal, lanjutnya, apa yang ia sampaikan, semata-mata hak sebagai warga negara–berpendapat [dijamin konstitusi].

“Saya berulang kali, saya pernah diserang oleh pendukungnya Pak Jokowi,” kata Alissa.

“Saya pernah diserang sama pembencinya Pak Jokowi… saya pernah,” sambungnya.

“Pokoknya, apa… ketika saya menyetujui apa yang disampaikan Pak Ahok, orang-orang yang anti-Pak Ahok menyerang saya,” lanjutnya lagi.

“Ketika saya mengkritik Pak Ahok, orang-orang yang pro Pak Ahok menyerang saya, jadi itu digital mobocracy,” jelas Alissa.

Pakar Politik

Pendiri lembaga survei KedaiKOPI, Hendri Satrio, mengatakan, “Kalau menurut saya begini. Apa yang disampaikan pemerintah itu bagus.”

“Tapi harus bisa melakukan beberapa implementasi taktis juga,” imbuhnya.

“Misalnya yang pertama, ambil hak inisiatif pemerintah untuk merevisi UU ITE,” sambung Hendri.

Kedua, lanjutnya, pemerintah menjalankan apa yang Presiden Jokowi minta, pada sidang tahunan MPR, Agustus 2020 lalu.

“Yaitu hukum yang tidak tebang pilih. Jadi artinya, kalau ada buzzer melakukan doxing, serangan-serangan kepada pribadi, kalau memang harus dihukum, ya, dihukum,” tegas Hendri.

Bukan hanya lembaga dan perorangan yang bicara soal ini, partai politik juga ikut berkomentar.

PKS

Fenomena para pengkritik pemerintah berujung serangan buzzer juga menjadi sorotan PKS.

“Itu [buzzer] kanker yang harus diberantas. Merusak ruang publik,” kata Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera, Rabu (10/2).

“Justru membuat persepsi publik pada Pak Jokowi jadi buruk,” imbuhnya.

Maka Mardani berharap, Presiden Jokowi, membaca berbagai survei yang mengulas indeks demokrasi.

“Mestinya Pak Jokowi, membaca beberapa hasil survei yang menyatakan masyarakat kian takut memberi pendapat,” ujarnya.

“Justru indeks demokrasi Indonesia tahun ini turun. Ini jadi alarm bagi kesehatan demokrasi Indonesia,” sambung Mardani.

Ia juga berharap, pemerintah serius atas harapan dikritik keras–salah satunya dengan merevisi UU ITE.

“Jika serius, ayo, lakukan revisi UU ITE, khususnya Pasal 27, 28, dan Pasal 45, yang sering jadi landasan pasal karet.”

PPP

PPP juga meminta agar buzzer tidak diberi ruang, “Buzzer ini pasukan tanpa ideologi.”

“Yang ada bekerja atas kehendak pemesan. Kehadirannya kontraproduktif, sehingga jangan diberi ruang.”

Demikian kata politikus PPP, Achmad Baidowi (Awiek), Rabu (10/2) kemarin.

Tetapi ia juga berharap, masyarakat mengkritik pemerintah berbasis data.

“Sementara yang terjadi, lebih banyak nyinyir, bukan kritik. Maka kemudian yang nyinyir itu lebih pada politis yang akhirnya menggerakkan buzzer,” kata Awiek.

“Kalau kritik by data, saya kira ndak masalah disampaikan secara terbuka dan bukan buzzer.”

PD

Partai Demokrat bahkan menilai banyak bukti yang menunjukkan jika pemerintah saat ini antikritik.

“Kita semua bisa dengan mudah menemukan banyak bukti, bahwa ini adalah pemerintahan yang antikritik,” kata Wakil Ketua Dewan Pertimbangan PD, Rachland Nashidik, Rabu (10/2).

“Saking banyaknya bukti-bukti itu, sampai kita semua menjadi banal dan menganggapnya biasa,” imbuhnya.

Buzzer, lanjut Rachland, sebenarnya istilah yang netral.

“Yang jadi soal adalah bila buzzer diselenggarakan oleh alat negara,” tuturnya.

“Dilengkapi peralatan sadap, dan beroperasi dengan duit dari pajak rakyat,” sambung Rachland.

“Termasuk untuk menginteli hidup pribadi oposisi, dan mengeksposnya di publi,” lanjutnya lagi.

“Kita semua tahu, bahwa di masa pemerintahan ini, anggapan tentang buzzer itu hidup di alam pikiran publik–meski sulit membuktikannya,” jelas Rachland.

PKB

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PKB, Syaiful Bahri Anshori, juga ikut berkomentar.

“Buzzer-buzzer yang kurang ajar itu harus diselesaikan dulu, gitu lho,” tegasnya, Rabu (10/2).

Sebab, masyarakat, kata Syaiful, menjadi takut karena tidak jarang kritik mereka dianggap menjatuhkan pemerintahan.

“Karena ini, terus terang orang-orang sipil ini merasa takut,” ujarnya.

“Ada orang yang kritik Pak Jokowi, dianggapnya menjatuhkan pemerintahan. Itu harus diselesaikan dulu hal-hal yang seperti itu,” sebut Syaiful.

PAN

Sementara PAN, mengingatkan agar jangan sampai kritik justru berujung kriminalisasi.

“Menurut saya sangat baik. Menerima kritik itu adalah sikap yang menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik, terutama dalam berdemokrasi.”

“Jadi itu dilindungi oleh UU. Kritik yang disampaikan pemerintah itu bisa dijawab dengan baik.”

“Jadi mereka punya hak jawab juga,” tutur Ketua Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay, Rabu (10/2).

Soal buzzer, Saleh, meminta aparat kepolisian melakukan penertiban–terlebih mereka yang menimbulkan kerusuhan.

“Buzzer itu ‘kan diatur dalam UU ITE, ketika buzzer itu melampaui batas dan menimbulkan persengketaan di masyarakat, tentu pemerintah, dalam hal ini kepolisian, bisa proses mereka.”

‘Suara’ Ekonom Senior

Sebelumnya, pada Sabtu (6/2) lalu, ekonom senior, Kwik Kian Gie juga berkicau soal kritik, lewat akun Twitter-nya, @kiangiekwik.

“Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif.”

“Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil,” sambungnya.

“Zaman Pak Harto, saya diberi kolom sangat longgar oleh Kompas. Kritik-kritik tajam, tidak sekalipun ada masalah,” lanjutnya lagi.

Respons KSP

Merespons hal tersebut, pihak Kantor Staf Presiden (KSP), menegaskan bahwa pemerintah tidak antikritik.

“Pertama, pemerintah tidak alergi kritik, setiap hari pemerintah dihujani kritik, baik media mainstream, online, maupun sosial.”

Demikian kata Tenaga Ahli Utama KSP, Donny Gahral Adian, Selasa (9/2).

Dalam pidatonya di Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020 [mengutip kanal YouTube Sekretariat Presiden], Senin (8/2) kemarin, Presiden Jokowi mengatakan:

“Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi, dan para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan.”

Sekretaris Kabinet Pramono Anung pun mengklaim, pemerintah menerima kritikan sebagai bagian dari berdemokrasi.

“Sebagai negara demokrasi, kebebasan pers merupakan tiang utama untuk menjaga demokrasi tetap berlangsung.”

“Bagi pemerintah, kebebasan pers adalah sesuatu yang wajib dijaga.”

“Dan bagi pemerintah kebebasan pers, kritik, saran, masukan, itu seperti jamu, menguatkan pemerintah.”

“Dan kita memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras.”

“Karena dengan kritik itulah, pemerintah akan membangun lebih terarah dan lebih benar.”